Mohon tunggu...
Ramadhani Wuri Pramesti
Ramadhani Wuri Pramesti Mohon Tunggu... -

Penyuka buku atau apa saja yang bisa dibaca. Membaca buku bukan hanya memperkaya jiwa, lebih dari itu juga membuat BAHAGIA!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebelum Pulang

18 Januari 2014   10:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minggu pagi nan cerah, kiri kanan jalan Kaliurang dipadati mobil mobil bekas berjejer yang sudah selesai dimandikan. Mengkilat terpapar mentari, memikat mata memandang, sembari menunggu peminat untuk segera mengeksekusi dan membawa mereka pulang. Jalanan lengang, motor motor berseliweran namun tidak seramai yang sempat terlintas dipikiran. Tapi jangan salah, mobil volks wagen ini terus melaju tak peduli, entah lengang atau padat tak jua kunjung berhenti.Seorang penumpang bertanya dalam hati, “sebenarnya akan dibawa kemana aku ini?”

Laki laki itu terus saja bernyanyi. Menirukan Andre Hehanusa yang memancar merdu dari digital radio. Tangannya menghentak hentak kecil mengikuti irama. Suaranya tak bisa dibilang enak, tapi juga tidak fals. Nyaris sama seperti ketika dia berbicara live ataupun di telfon. Tak dibuat buat agar terdengar lebih nyaring. Wanita disampingnya mulai ikut bernyanyi, mencoba mengasyikkan diri. Sebenarnya dia resah bingung akan diajak kemana kali ini, namun bibirnya terkatup rapat. Terlalu malu untuk sekedar bertanya.Tiap ada kesempatan matanya mencuri curi wajah tampan disampingnya. Dia masih saja tak mengerti, bagaimana dadanya tetap meledak ledak seperti pertama kali bertatap muka.

Jika didengar dengar, suaranya agak parau di awal. Maklum rasanya sudah lama sejak terakhir kali dia bernyanyi lagu macam begini. Kalau tidak salah, lagu lagu ini mulai hadir saat dia masih SMA.

Boy, 33 tahun. Seorang pengusaha toko elektronik yang berkembang pesat di Jogjakarta. Tapi jika dia tidak bilang umurnya, wanita itu tidak akan tau. Wajah, perawakan dan juga gayanya mengecoh setiap mata. Waktu pertama ketemu ia menerka usianya baru 27 tahun. Wajahnya bersih, tanpa kumis, tanpa jambang. Badannya tidak gemuk atau kurus namun selalu wangi dan rapi.

Tapi bukan itu yang membuat wanita disampingnya ini terkesima. Dia terkesima pada dirinya sendiri, yang begitu saja pasrah jatuh cinta pada pandangan pertama ketika lelaki ini menemuianya sebulan lalu. Sudah.... pertahanan hati untuk menikahi lelaki yang alim, sholeh, sederhana dan tak banyak tingkah, runtuh seketika.

Lihat saja lelaki disamping ini, dengan hem tiga perempat kotak kotak yang keren dipadu jeans hitam, juga akesori gelang monel tanggung, jam tangan mahal serta cincin bermata titanium, tampak jelas bahwa laki laki ini modis. Sangat. Ditambah dengan kaca mata berbingkai biru tua yang melingkari matanya.

Dia lebih tampak playboy daripada ustad.

Sementara wanita itu? Tubuhnya yang kecil ditutupi gamis panjang berwarna cokelat berenda bunga. Jilbabnya usang tak bermotif hampir menutupi setengah badannya. Dia tidak memakai pemulas wajah bahkan hanya untuk menutupi bercak bercak sisa jerawat, apalagi parfum. Pikirannya melayang, betapa mereka nampak bak bumi dan langit. Yang satu begitu necis dan terawat sementara yang lain katrok sekali.

“Apalah yang harus ku katakan nanti ketika pulang ke rumah? Jatuh cinta pada playboy Jogja dan menolak pinangan Gus Wahid anak pak Kyai? Ah tolol!” rintihnya dalam hati.

Terngiang di telinga ketika Umi dengan gembira mengutarakan niatan pak Kyai meminangnya sebagai mantu. Dan ia pun masih ingat betapa berbunga bunga hatinya saat itu. Mimpinya menjadi istri Gus Wahid yang selama ini dalam diam dirajutnya menjadi do’a sebentar lagi akan menjelma menjadi nyata. Dia bahkan langsung sujud syukur, menangisi keberuntungan nasibnya. Well, tapi itu tiga minggu lalu.

Tapi lihatlah sekarang? Dia semobil dengan lelaki yang bukan mahromnya.

Entah sudah berapa kali mereka kesana kemari berdua. Pergi ke Borobudur, Prambanan, Monjali, dan banyak tempat lain yang terpikir pun tidak. Naik mobil, berbonceng motor bahkan hari Minggu kemarin mereka bersepeda ria di benteng Venderburg. tersenyum, tertawa tawa, bercerita ngalor ngidul bak sudah kenal tahunan saja. Astaqfirullah, bagaimana kalau sampai Abi tau?

Bukankah tujuan Rina kesini hanyalah untuk menemani Diani sahabatnya yang terbaring sakit karena kecelakaan. Karena mereka berasal dari desa yang sama dan kedua orang tua Diani sudah sangat tua hingga tidak mungkin mengurus putrinya yang sedang kuliah di Jogja dan mengalami patah tulang, maka Rina lah yang berangkat. Tapi justru ketika Rina merawat Diani yang sakit di kos kosan itulah dia bertemu Mas Ifan. Lelaki ramah dan sopan yang saat itu bersama kawan kawan yang lain datang menjenguk Diani.

“Eh teman teman, kenalin ini temanku dari desa, namanya Riani panggilannya Rina.” Kata Diani memperkenalkannya kepada sahabat sahabatnya yang lain. Diantara delapan teman yang datang dan empat diantaranya lelaki, hanya seorang saja yang mencuri perhatian. Dia tampak lebih matang dibanding yang lain, tak banyak cakap, dan cukup perhatian pada Diani bahkan sampai menonaktifkan hapenya.

Tiba tiba matanya membentur Marlboro yang tersembul dari balik saku baju lelaki itu.

Astaqfirullah! Istiqfarnya dalam hati. Abi tak mungkin setuju punya mantu macam begini.

Sesekali jemari kurus itu menyibak rambutnya, menyiram aroma wangi shampo ke hidung Rani. Ya Robb, laki laki ini sungguh lain sekali. Jauh banget dibanding Andi kakaknya, atau teman teman satu kampusnya di Blitar. Dia keren, wangi, kaya. Apalagi dibandingkan Gus Wahid....

“Mikir apa Rin?” tegur suara disampingnya. Rina tergagap.

“ah ndak mas” katanya buru buru. “em, sebenernya kita ini mau kemana to?” tanyanya spontan.

“Oh kamu mikirin itu” lelaki itu tertawa terkekeh.

“Pernah dengar gua Jepang?” tanyanya kemudian.

“belum” jawab Rina pendek. Kepalanya berkecamuk, mana lagi itu? Dengar aja baru sekarang.

“tempatnya diujung Kaliurang. Pasti Rani suka deh, soalnya tempatnya dingin. Suasananya kaya’ pedesaan."
mobil terus melaju, memutar lagu lagu tahun ‘90an. Bagi Rani radio ini janggal, kenapa sedari tadi hanya memutar lagu lagu lama. Meskipun dia tinggal di desa kecil, dia tahu bahwa lagu lagu ini sudah bukan masanya.

“Aku tuh penggemar ‘90an Ran. Pokoknya apa saja yang bersangkut paut dengan ‘90an aku pasti suka.” Kata mas Ifan dengan aksen Jakarta yang kental tiba tiba seolah bisa menerka arah pikirannya.

“oh gitu ya mas, kenapa itu lagunya kok lagu lawas semua” Rani mengangguk angguk sambil tertawa kecil. “memang ku suka dengar Delta FM karena sering muter lagu lama.” Lanjutnya.

“eh, tapi kalo Rani ga suka boleh diganti lho” kata mas Ifan sembari memencet tombol radio hendak mengganti. Spontan tangan Rani menahannya, “jangan. Jangan mas. Rani suka kok lagu lagunya.” Katanya tiba tiba. Kedua raut wajah itu berubah pias. Menyadari sentuhan spontan yang mengundang nervous di hati masing masing.

Keduanya langsung terdiam. Tidak ada lagi yang bersenandung, menggumam pelan mengikuti irama lagu. Masing masing sibuk menenangkan deru di hati masing masing. Mas Ifan duduk tegak mengemudikan mobilnya. Rani duduk tegak sambil membuang muka ke arah jendela.



Terbuai waktu dalam diam kembali ingatan Rani tentang dua minggu terakhir di Jogja.

“Rani ini anaknya lugu mas, ini pertama kali dia ke Jogja” kata Diani pada mas Ifan saat itu. Mukanya bak tersiram air panas, merah seketika. Mas Ifan hanya tersenyum.

“wah rugi nih kalau sampai Jogja ga kemana mana” kata Mas Ifan ramah. Maka mulailah sejak hari itu tanpa meminta persetujuan dirinya Diani langsung saja minta agar mas Ifan mengajaknya keliling Jogja.

“yah daripada kamu disini gak ngapa ngapain, mendingan jalan jalan enak tho” tukas Diani menggoda. Rani diam, meskipun hatinya berdenyut denyut tak karuan. Tak mungkin lah mengakui dia telah jatuh cinta pada lelaki itu. Konyol sekali. Toh yang dia tau hanya nama, hanya asumsi, asumsi bahwa dia laki laki baik.

Mungkin tidak sepenuhnya asumsinya salah, tapi ada yang sangat membuatnya kecewa. Ketika itu mereka berdua sampai di Alun alun Kidul menjelang maghrib, Rani sudah gelisah minta dicarikan masjid atau musholla terdekat. Mas Ifan agak kebingungan juga dan sempat tanya tukang parkir motor. Apalagi masjid yang didapat tempatnya agak masuk gang sehingga mereka harus berjalan kaki agak jauh.

Untung pada saat iqomah berkumandang Rani sudah selesai berwudhu. Masjid yang dipenuhi orang membuatnya lepas pandang dari mas Ifan dan ia pun mulai khusyu’ beribadah. Ketika orang orang mulai kembali pulang, Rani mulai mencari mas Ifan. Ia mendapati lelaki itu sedang merokok di depan masjid. Pakaiannya tetap kering seperti tak tersaput air wudhu, begitupula dengan tangan dan kakinya.

“sudah sholatnya Rin?”

sampun mas.” Dan mereka kembali berjalan beriringan.

Di tengah jalan tiba tiba Rina bertanya, lidahnya sudah kadung gatal penasaran. “Mas sudah sholat juga kan?” mas Ifan hanya menoleh sekilas “ndak” jawabnya cepat. Bagai guntur di tengah gurun, jawaban itu menggelegar dan menyakitkan. Ada kepedihan yang kemudian tampak dan tak bisa disembunyikan.

“kamu ga papa Rin? Kok tiba tiba pucat” Rina hanya menggeleng lemah. Bagaimana harus menjelaskannya? Betapa dia kecewa bahwa lelaki baik hati ini ternyata tidak sholat. Kan tidak mungkin dia beragama lain karena stiker Basmallah menempel di kaca mobilnya. Begitu pula dia rutin mengucap do’a sebelum bepergian. Tapi mengapa justru tidak sholat?

Malam itu mas Ifan yang lebih banyak bicara. bercerita tentang pekerjaannya, adik adiknya juga kesehariannya. Rani sangat pendiam. saat mereka menyewa sebuah sepeda hias model kura kura, dia patuh mengayuh. saat ditawari gulali, Rani hanya mengangguk lemah. sama halnya ketika mereka makan di kaki lima dekat stasiun Tugu, Rina memilih makanan yang menunya terpampang paling atas. Ia seolah kehilangan tenaga untuk berbuat apa apa.

"Rani kurang sehat ya?" tanya mas Ifan kuatir. dipandangi lamat lamat wajah pucat gadis yang sedang mengunyah makanan di hadapannya.

"kayanya saya meriang mas" jawab Rani pelan. tangkas mas Ifan berdiri dan lekas menuju meja penjual, menyodorkan beberapa helai rupiah.

Rani mengikutinya dengan enggan.

sejak pulang dari situ, perasaan Rani yang awalnya membuncah langsung terendam kecewa. rasa pahit itu berangsur angsur makin terasa setiap menjelang waktu sholat saat dia dan Mas Ifan kebetulan sedang pergi bersama. selalu begitu. mas Ifan menunggunya sholat di depan masjid sementara bibirnya mengulum rokok.


"Nah, kita turun sini yah" kata mas Ifan menggugah lamunan. Rani bersiap membetulkan jilbabnya, mas ifan bercermin dari kaca mobil, menyibak rambut pendeknya dengan jemari.

"emang ya, orang ganteng paling ga mau kelihatan jelek" batin Rani.

"oya Ran, ntar disini ga usa lama lama ya. kita ketemuan sama teman teman di bawah" kata mas Ifan. Rani cuma ber'O' pendek, tapi pikirannya penuh pertanyaan. di bawah? ketemu teman teman?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun