Dua jam perjalanan dari Jakarta menuju Banten, bukanlah perjalanan panjang dan melelahkan, apalagi bagi kami yang terbiasa melintas di jalanan di wilayah timur Indonesia. Jalanan, seringkali melintasi desa, kampung dan hutan serta perbukitan.Â
Sebaliknya, Jakarta-Banten dengan kendaraan darat, melewati jalan aspal dan padatnya lalu lintas jalanan ibukota, tentu bukan sensasi yang mengesankan. Biasa saja, bahkan terasa sedikit membosankan.Â
Begitu juga, pikiran kami terutama saya yang baru pertama kalinya akan menginjakkan kaki di Tanah Jawara, Banten.Â
Di kepala saya, Banten sama saja Jakarta, gedung-gedung menjulang di tengah kota, kepadatan lalu lintas di jalan raya, dan beberapa kesemrawutan di pinggiran kota.Â
Ah, ternyata Banten cukup berbeda dengan Jakarta. Meskipun berjarak tak begitu jauh, Â tapi wajah berbeda begitu rupa. Itu kesan saya, setelah menginjakkan kaki di Kota Serang. Ini Kota Serang, Banten atau Kota Masohi, di Pulau Seram, Maluku ya? Begitu saya bicara dalam hati.Â
Mungkin kenangan di Maluku begitu melekat, sehingga saya membandingkan dalam hati, Kota Serang dengan Kota Masohi di Pulau Seram, Provinsi Maluku. Iya, walaupun memang ada tradisi tutur masyarakat di salah satu satu negeri, di pesisir selatan Pulau Seram, bahwa di masa lalu punya hubungan sejarah dengan Serang, Banten.Â
Di dalam Kitab Negarakertagama juga disebutkan, Pulau Seram dengan sebutan Seran. Soal sejarah selalu saja ada misteri yang tak terungkap, selalu saja ada pertanyaan yang tak terjawab dan selalu saja ada peristiwa dan kisah yang terlupa. Bukankah demikian?Â
Kembali soal Kota Serang, Banten. Aih, saya tak ingin membanding-bandingkan antara Jakarta dengan Banten, yang hanya berjarak 2 jam perjalanan darat yang mulus.Â
Banten, adalah kota dengan aura sakral yang terus melekat, magis dan berkharisma. Aura kejayaan masa lalu
Aura itu terasa sanga melekat dan tiba-tiba menyusup ke dalam ubun-ubun kepala saya. Membuat saya berimajinasi tentang Banten di masa lalu. Para jawara dan debus, seperti menghadang di depan mata.Â
Dalam sejarah, Banten disebut sebagai penguasa maritim, menguasai jaringan perdagangan lada, di wilayah nusantara bagian barat. Kota kyai, santri dan jawara yang masyur. Pusat niaga dan Islamisasi yang ramai dengan gerak niaga dan pendidikan pesantrennya.Â