Di balik debu yang beterbangan. Kulihat ingatan yang tak pudar. Kau susuri waktu demi waktu yang kau tata demi harapan. Meski jalan terjal penuh sayatan, tergores di setiap jejak kakimu.
Di jalanan ini, debu mengering di kakimu. Juga lumpur yang lekat di setiap langkah beratmu. Hingga seluruh tubuhmu yang lemah menyiratkan gelisah yang tak terkabarkan. Kau simpan rapi di balik tirai berdebu. Juga sorot matamu yang mulai meredup
Duniamu hanya sejengkal dari ribuan jejak kakimu. Kau yang tertatih tanpa rintih. Kau yang dilupakan tanpa kau balas melupakan. Kau selalu ada demi setiap pinta yang kau titipkan pada setitik embun di pagi hari. Meski basah rumput pagi tak jua mampu membersihkan debu kakimu.
Hari ini beribu kata dan janji kau tebarkan ke angkasa. Dan ribuan jejak langkah disemaikan rimbun taman. Lalu orang-orang menghapus begitu saja. Dan kau tak pernah kembali.
Mereka menunggu di bawah gapura, ingin menyambutmu. Tapi mereka lupa, bahwa jalanan telah lengang dan debu menutupi pandangan. Lalu kau hanya menyampaikan kabar, yang kau titip pada debu yang beterbangan.
Kita masih menatap jalanan lengang. Tanpa kabar berita apa-apa. Hari ini jalanan masih lengang. Yang dekat maupun yang jauh dari pandangan. Kosong, hanya debu yang beterbangan...
***
Mas Han, Jakarta, 21 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H