Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hujan dan Penyesalan

14 Januari 2022   21:00 Diperbarui: 14 Januari 2022   21:07 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Hujan dan Penyesalan. Sumber: Line Today

"Makasih ya mas, doakan kami berjodoh hingga pelaminan" kata sahabatku, seorang perempuan yang kukenal sejak kami menjadi mahasiswa di kampus yang sama. 

Penyesalan. Ya, hanya penyesalan yang tertinggal. Penyesalan yang tak pernah mampu tergantikan oleh perihal apapun. Entah itu penyesalan mereka berdua. Ataupun penyesalanku sendiri. Penyesalanku karena mempertemukan mereka berdua. 

Badai angin memisahkan mereka diantara deru rindu yang terus memburu. Namun tak pernah sampai. Keduanya hilang digulung debu. Perjumpaan yang sia-sia. Dan kabar angin ternyata benar. Perpisahan adalah jalan terbaik, setelah pertemuan terakhir yang mengenaskan. 

Sisa hujan akhir Desember menjemput hujan awal januari yang bisu. Ketika badai menjadi hujan yang menghias pelangi sesudahnya. 

Sepasang kekasih yang dipertemukan oleh hujan. Namun akhirnya dipisahkan pula oleh hujan.  Dibawah rintik hujan Januari, keduanya saling berjanji dan saling pergi. 

"Aku sudah membangun ruang luka, yang tak pernah terlupa, bro" katanya padaku di suatu sore. Sahabat yang tak pernah mengenal bahasa luka, itu akhirnya untuk pertama kali kudengar mengatakan tentang luka. 

"Luka siapa? Lukamu atau luka dia" tanyaku penuh selidik. 

"Luka kami bro" jawabnya singkat. 

Aku tak meneruskan percakapan. Aku cukup tahu, bahasa dia tentang luka mereka adalah pasti adanya. Dia tak pernah berbohong. Tepatnya dia tak bisa berbohong. 

"Kenapa luka?" Akhirnya akupun tetap bertanya. Pertanyaan yang sebenarnya tak ingin kusampaikam ditengah luka yang mendera mereka. 

Sahabatku, lelaki yang kukenal sejak kanak-kanak itu hanya melihatku termangu. Tak ingin menjawab dan tak ingin berkata-kata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun