Aku telah mengumpulkan sekuntum puisi. Tentang cinta mendalam yang tak kunjung tertanam. Lalu tumbang didera hujan.Â
Aku menanam puisi-puisi layu. Yang kutulis dengan pena bertinta air mata. Yang telah berderai sebelum hujan yang tiba tiba-tiba.Â
Aku menulis puisi tentang rindu yang ditimbun waktu. Yang tak kunjung mekar hingga kemarau membakar ilalang.Â
Sekuntum puisiku adalah kalimat-kalimat sekarat. Tentang rindu yang ditikam waktu. Tentang cinta yang didera badai dan hujan. Lalu berantakan. Berserakan di tanah gersang. Mati sebelum tumbuh. Layu sebelum mekar.Â
Sekuntum puisiku adalah kalimat-kalimat utopia. Yang tak pernah tiba di muara. Hingga malam menenggelamkan cakrawala.Â
Sekuntum puisiku hilang, tanpa meninggalkan jejak kata-kata.
***
Mas Han. Manado, 5 Desember 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI