Jarno lupa, ia hanya lelaki lemah dan kalah oleh hati dan jiwanya sendiri. Wanita yang katanya simbol bumi, dianggapnya sebagai wanita lemah. Padahal ia hanya melihat dengan hatinya belaka.Â
Ia korbankan dirinya untuk wanita-wanita yang tak dikenalnya. Ia terbawa perasaan yang dibangun oleh hatinya yang lemah, jiwanya yang rapuh.Â
Padahal sebagai lelaki ia cukup menjadi matahari bagi keluarganya, anak dan istri yang sangat dikenal dan dicintainya. Itu baru hidup berkualitas.Â
Jarno, lelaki kalah dan saya labeli dia sebagai lelaki bucin. Budak cinta. Kataku padanya dengan nada jengkel. Walaupun mestinya saya tak perlu peduli. Bodo amat.Â
Tapi aneh, Jarno bisa bilang bahwa ia bukan bucin. Ia hanya peduli yang teramat sangat. Hatinya seperti terpanggil karena iba terhadap dunia kedua wanita Bukan Sepia itu.Â
Entahlah. Bodo amat.Â
Sampai akhirnya, di suatu pagi, saya membaca koran yang dilemparkan loper koran di depan pintu kos.Â
Saya melihat foto Jarno di halaman depan. Seorang lelaki yang diborgol kedua jempol tangannya. Dan di depannya terhidang bubuk putih dalam kantung-kantung plastik.Â
Jarno? Entahlah. Bodo amat. Jarno, biarkan saja. Dia sudah kalah.Â
***
Cerpen ini fiktif belaka. Tidak ada kejadian yang sebenarnya. Semua rekayasa cerita belaka alias fiktif. Tidak ada nama dan kejadian yang sesungguhnya.Â