Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Merpati Tak Pernah Berjanji

12 November 2021   00:16 Diperbarui: 12 November 2021   00:20 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen : Merpati Tak Pernah Berjanji (Depositphotos)

Sepagi ini kau seperti merpati yang mengepakkan sayap menuju cakrawala. Sedang cakrawala pagi ini memang tak bertuan. 

"Pergilah ke sana dan lupakan semua janjimu yang kau titipkan pada sejumput rerumputan di halaman" kataku begitu terbangun di pagi yang belum juga siap menyapa. 

"Aku tak pernah berjanji, aku hanya menitip kata yang tak tahu kapan kata tanya itu menjadi kalimat yang bertitik" jawabmu sambil mengarahkan pandanganmu ke arah tempat senja nanti bergelantungan. 

Kepak sayap mu semakin meliuk. Dan kau tak mau terikat waktu, apalagi janji. Sebab kau adalah merpati yang selalu ingin terbang bebas diantara sungai-sungai dan belantara. 

Hari ini kau titipkan kata tanya. Sejurus dan sedetik kemudian kau tinggalkan cerita yang tak pernah bersambung, apalagi selesai. 

Dan aku hanya termangu membaca kalimat demi kalimat yang meragukan, namun ku selalu saja membubuhinya dengan titik. Tanda aku mengerti dan menganggap usai. 

Kau tinggalkan sangkar yang tak berdinding. Sedang atapnya ku susun dari dedaunan dan jerami yang tak pernah selesai aku anyam. 

Aku selalu saja menunggui kapan kau kembali, meski kau pun tak pernah mengucapkan kata perpisahan. 

Namun kapanpun waktu adalah milikmu. Kapan kau akan terbang, dan kapan kau akan berdiam, menanti. 

Lalu aku? Mungkin aku hanyalah penjaga malam dan siang. Menunggumu kembali ke hadapanku yang selalu tampak sunyi dan kosong. 

Jalanan tak pernah meninggalkan jejak mu. Dan aku hanya memandang lengang. 

Baiklah. Kau memang merpati yang tak pernah berjanji. Lalu mengapa aku selalu berharap kepastian. Dan mengapa pula kau selalu meninggalkan harapan yang tak pernah ku mengerti?

Mungkin kita memang tak pernah ada diantara dua hal. Keraguan dan kepastian. Kita hanya dua mahluk yang saling terbang meninggalkan tempat asalnya. 

Mencari tempat nyaman. Namun hanya menjumpai yang tak pernah berdinding. Dengan atap dedaunan dan jerami yang tak pernah selesai dianyam. 

"Terbang dan menghilanglah sementara, itu lebih baik" katamu dengan kalimat yang tak pernah usai. Sebenarnya. 

"Dan terbang dan menghilanglah selamanya, jika kau tak pernah merasa kehilangan" katamu memancing kalimat jawabanku. 

"Kenapa aku yang mesti terbang dan menghilang?, bukankah akulah penjaga siang dan malam, menunggui kepak sayap menerbangkan mu kembali? " 

Jawabku penuh tanda tanya, seperti juga kata tanya yang kau tinggalkan di jejak langkahku. 

"Terbang dan menghilanglah, jika kau tak pernah memerlukan kehadiranku". Kataku, sambil merapikan kalimat-kalimat yang akan kuberi tanda titik.  Sesaat lagi.

Meski aku ragu, kapan dan dimana tanda titik itu ku bubuhkan di kalimat akhir, yang takkan lagi ada jeda kalimat tanya. Darimu. 

Kau terdiam. Meski kau masih mengepakkan sayapmu dan terbang merendah. Seperti memberi tanda, kau pun ragu, sebab cakrawala yang kau tuju, mulai menghilang. 

Kita adalah dua insan yang saling meragu. Mungkin itu pula kau tak pernah berani berjanji. 

Dan aku tak pernah mampu membangun tempat nyaman yang berdinding dan menganyam dedaunan dan jerami, untuk atap yang membuat kita teduh. Damai.

Kita seperti dua merpati yang saling mencari tempat damai dan nyaman. Namun dalam perseteruan waktu yang tak pernah menyatu. Tak menentu.

Kita tak pernah berjanji dan saling meragu. Saling menitipkan tanda tanda di kalimat-kalimat yang tak pernah usai. 

Namun tiba-tiba aku seperti menghimpun paragraf penutup. Tanpamu, adalah kepastian. Dan kalimat tanya justru aku kembalikan padamu. Bisakah kau menepi dan membiarkanku sendiri? 

Aku ingin membuat dinding bagi sangkar untuk tubuh dan jiwaku sendiri. Tak perlu merpati yang lain. Yang bisa menawarkan janji dan juga kepastian. Tak perlu.

Aku akan menganyam sendiri dedaunan dan jerami untuk sangkar yang beratap dan berdinding. Sejuk dan damai di dalamnya. 

Lalu memandang pendar cahaya di balik jendela. Melihatnya di tepi cakrawala, yang mengantar kepak sayap merpati, datang kembali. Di pagi yang lain ataupun senja berikutnya. 

***

Salam hangat...

Mas Han, Tamako, Kep Sangihe, 11 November 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun