Hujan malam ini, menarik ingatanku pada malam di sepuluh tahun lalu. Saat semua hujan yang ku lalui tak menyisakan ingatan. Kecuali hujan malam ini. Hujan yang menggoreskan catatan masa lalu. Suara rintik yang sama di atas sebuah cungkup kenangan. Suara hujan yang memanggilku untuk keluar ke jalanan. Saat jalanan telah menjadi sungai tanpa muara.Â
Catatan demi catatan hujan ku kumpulkan di memori kepala yang dipenuhi banyak kenangan tanpa ingatan. Ah, tepatnya kenangan yang tak ingin kuingat. Tapi hujan malam ini, memaksaku mengingat sepuluh tahun lalu. Ketika kau berlari di tengah hujan, malam itu. Â Diantara derai hujan dari kedua matamu.Â
Yang tak bisa ku tandai bedanya, dengan hujan dari langit. Sebab semua membasahi pelataran rumahku yang tanpa beranda itu. Aku menunggumu di depan pintu. Dan aku pun basah oleh hujan dari langit dan juga hujan dari kedua matamu. Lalu kau keringkan hujanmu dengan baju lusuh yang ku gantungkan di pundakku. Meski pundakku, telah berapa lamanya, tak lagi menjadi tempatmu bersandar.Â
Ya, malam itu kau berlari di tengah hujan, dengan membawa derai hujanmu sendiri. Kau memelukku di tengah hujan, juga di tengah malam yang tak pernah kau inginkan. Tapi kau katakan, malam itu kau tak tahu lagi kemana tempat berlari. Kecuali ke rumahku, yang telah lama kau jauhkan dari pelarianmu.Â
Aku ingat, kau selalu saja berlari. Sedang aku hanya mampu melihat punggungmu yang berguncang. Saat kau sembunyikan semua luka, yang tak pernah kutahu penyebabnya. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama kau tinggalkan. Kau memasuki rumahku. Rumah dengan ruang tamu sederhana dengan sofa lama yang masih kau hapal warna dan aroma usangnya.Â
"Apakah sofamu ini tak pernah diduduki orang lain?" Katamu tiba-tiba dengan gurat wajah penuh pertanyaan yang seperti tak ingin kujawab.Â
"Iya, sofa ini tak pernah diduduki orang lain, bahkan aku sendiri tak pernah duduk disini" Jawabku dengan penuh lapang dada. Hmmm...atau setidaknya aku berusaha lapang dada.Â
Sebab setelah mu, aku tak pernah berkeinginan menerima tamu, dan aku pun tak pernah ingin duduk di ruangan ini. Seperti dulu, ketika sore menjelang senja kau seduh kopi pekat yang hangat untukku. Kopi yang terakhir kalinya pernah kau seduh, seperti saat kau memelukku lalu sesaat kemudian kau berbalik badan memunggungi ku dan berlari menjauhiku. Dan, aku hanya mampu menatap punggungmu yang berguncang dan semakin lama, semakin menghilang dari pandangan.Â
"Setelah kau pergi, ruang tamu ini selalu kosong, sepi. Aku pun tak pernah ingin lagi duduk disini, mengenang-enang saat kau menemaniku duduk disini, sebab rumah ini tanpa beranda" Â
Begitu kataku kepadamu yang tiba-tiba malam itu membawakanku sederet hujan yang tak kutahu kapan mulai dan kapan berakhir. Hujan yang kurasakan malam itu seperti belum mau berhenti. Bahkan hujan yang sepertinya akan memasuki relung-relung persendian ku, lalu masuk ke dalam urat nadi. Seterusnya ke dalam bilik batinku. Yang akhirnya akan terus mengalir ke dalam pelupuk mataku, dan keluar bersama hujan malam itu. Juga hujan yang berderai dari matamu. Ah...buru-buru, aku tergesa berusaha sekuat tenaga menahan hujan itu. Dan berharap hujan dari langit semakin deras.Â