Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis sebagai Kekuatan Kehendak, Mood Diciptakan Bukan Ditunggu Datang

10 Desember 2020   23:53 Diperbarui: 13 Desember 2020   20:00 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali, banyak orang menulis atau tidak menulis itu tergantung mood. Termasuk saya. Namun, mood menulis itu memang harus diciptakan, bukan ditunggu datang. 

Setelah membaca artikel yang keren dari sahabat Kompasianer Pak Ketut Suweca, sepertinya saya bisa mengambil kesimpulan sederhana soal mood menulis. 

Kita memang seharusnya menciptakan mood menulis, bukan menunggu datangnya mood, baru menulis.

Cara Menciptakan atau Menghadirkan Mood Menulis

Penulis-penulis produktif, sepertinya mampu mengatasi soal mood. Hal ini mungkin karena mereka mampu menciptakan mood, tidak sekadar menunggu datangnya mood itu, baru bisa menulis. Mood yang saya maksud tentu saja adalah good mood, bukan bad mood tentu saja. 

Pertanyaannya, bagaimana kita mampu menghadirkan mood untuk menulis? Mood atau suasana hati, adalah perasaan yang berhubungan dengan kondisi hati kita. Berarti diperlukan kemampuan mengelola suasana hati, untuk menjadikannya energi positif dalam mengalirkan tulisan. 

Bagi saya pribadi itu memang pekerjaan sulit. Jadi menulis karena mood, adalah pekerjaan berat, karena pertama, harus menciptakan mood yang menyenangkan. Kedua, mengalirkan tulisan itu sendiri. 

Pekerjaan menulis, menjadi ganda yakni, selain pekerjaan menulis itu sendiri, juga proses menghadirkan mood, atau suasana hati yang bisa mengalirkan ide dan tulisan. 

Lha, kok malah semakin berat pekerjaan menulis itu ya. Iya, benar bagi sebagian orang, termasuk saya. Jadi dalam ulasan saya ini, saya tidak bermaksud menawarkan tentang tips atau cara menulis. 

Tapi mencoba menawarkan cara bagaimana menghadirkan mood, atau suasana hati yang menyenangkan, sehingga kita mampu mengalirkan ide dan tulisan.  

Jika kita mampu menghadirkan good mood, maka otomatis kita terhindar dari bad mood, yang menghambat ide dan karya.

Lalu, bagaimana menghadirkan good mood agar senantiasa bisa mengalirkan tulisan? Saya mencobanya merangkum sebagai berikut: 

Pertama, rasakan menulis itu sebagai hiburan 

Pada saat awal-awal pandemi, beberapa bulan lamanya, saya hampir tidak pernah keluar rumah. Namun saya betah, karena apa? karena saya tetap terhibur, dengan menghabiskan waktu setiap hari untuk menulis.

Kalau sahabat menganggap bahwa menulis itu hobi. Semestinya, menulis itu menghibur dan menyenangkan. Karena menulis itu menghibur dan menyenangkan, pasti akan selalu dikerjakan atau dilakukan. 

Tidak mungkin sesuatu yang menghibur atau menyenangkan, tidak ingin sahabat lakukan. Justru anomali, jika sahabat mengaku hobi menulis, tapi tidak melakukannya atau jarang melakukannya. 

Jadi ketika kita dalam suasana galau misalnya, kita justru melarikannya dengan menulis, karena dengan menulis kita menjadi terhibur. Suasana galau pun diharapkan kabur, terhapus sejenak karena menulis adalah 'pelarian'.

Bisa jadi dengan cara ini, sahabat berpikir kita bukanlah penulis produktif, karena kita menulis hanya saat kita merasa galau. Karena pelarian menulis untuk menghibur diri. Dalam suasana nyaman, kita tidak perlu menulis. 

Lha kok malah terbalik ya. Ya, enggak juga. Saya katakan, menulis itu hiburan, 'pelarian' ketika hati galau. Nah, pada saat hati nyaman-nyaman saja, khan kita juga tetap menulis, bahkan mungkin bisa lebih produktif lagi.  

Jadi menciptakan mood menulis, dengan menganggap menulis itu hiburan, adalah 'pelarian' saat hati galau dan menulis menjadi spirit atau semangat pada saat suasana hati nyaman-nyaman saja. 

Dengan demikian, kedua hal yang bertolak belakang itu tidak menghalangi produktivitas kita dalam menulis. Dengan demikian, menulis dapat dikerjakan dalam suasana hati apapun. 

Hal ini karena kita menciptakan atau menghadirkan suasana hati, energi positif untuk mengalirkan ide dan tulisan. Atau dengan kata lain, menulis bukan karena mood, tapi kita menciptakan mood untuk menulis.

Kedua, Menulis sebagai Terapi 

Menulis itu seperti halnya, ketika seseorang dalam rasa sedih, kecewa, terluka dan segala bentuk kegundahan hati lainnya, lalu menceritakan kegundahan itu sebagai ungkapan untuk melampiaskan atau mengungkapkan isi hati Anda itu. 

Sama halnya ketika orang yang bersedih, lalu curhat kepada orang lain, untuk meringankan beban dan kesedihannya. 

Ada sebagian orang berpesan atau memberi anjuran, ketika kita sedang bersedih, bicaralah atau ceritakanlah kesedihan Anda kepada sahabat Anda, karena itu salah satu terapi untuk sedikit meringankan beban hati Anda. 

Dengan bercerita, kita akan merasa plong. Demikian pula dengan menulis, kita andaikan saja sedang curhat atau menumpahkan isi hati Anda yang galau, untuk meringankan beban hati Anda. 

Jadi menulis sebagaimana curhat, adalah sebuah terapi untuk melegakan perasaan Anda. Ada yang Anda pikirkan, lalu Anda ungkapkan apa yang Anda pikirkan melalui tulisan. Plong ! 

Jadi menulis itu bisa dilakukan kapan dan di mana saja, dalam situasi dan kondisi apapun, karena menulis itu terapi untuk membuat suasana hati kita selalu nyaman dan bahagia. Kita menciptakan suasana hati bahagia dan nyaman, dengan jalan menulis.

Ketiga, Menulis sebagai Kegiatan Memberi Nasehat

Secara batiniah, setiap orang akan lebih senang memberi nasehat daripada menerima nasehat. Setiap orang lebih nyaman menasehati daripada dinasehati. 

Oleh karena secara psikologis, menasehati itu sebagai kegiatan yang lebih aktif daripada mendengar atau menerima nasehat, sebagai kegiatan yang pasif. 

Oleh karena kegiatan aktif, maka menulis itu juga sebagai proses yang didahului oleh inisiatif. Setiap orang secara alam bawah sadar, senantiasa akan selalu berinisiatif, ketika kita dalam posisi yang aktif. 

Oleh karena itu, menulis sebagai layaknya kegiatan menasehati, adalah pekerjaan yang lebih kita inginkan, daripada menerima nasehat. Jadi siklus menulis dan membaca, akan didahului dengan menulis terlebih dulu, daripada membaca. 

Namun untuk menjadi penulis yang baik, juga adalah pembaca yang baik, pembaca yang tekun. Menulis adalah kegiatan aktif menasehati, walaupun isi tulisan tidak selalu soal menasehati, paling tidak kita aktif menyampaikan saran. 

Intinya rasakan bahwa menulis itu kegiatan aktif menasehati, bukan sekedar menerima nasehat. Kita akan lebih nyaman memberi nasehat daripada menerima nasehat bukan?

Begitu menurut saya cara menciptakan atau menghadirkan mood. Tentu apa yang saya ulas di Kompasiana ini, berisiko pada diri saya sendiri. 

Risiko yang saya maksud, mungkin sebagian besar pembaca menilai saya, bahwa seharusnya saya tidak pernah berhenti atau melakukan jeda menulis. Ya, nggak begitu juga.

Menulis sebagai Kekuatan kehendak

Menulis itu bukan sekadar mood, maka seperti Pak Ketut Suweca katakan, tidak ada salahnya kita mengambil jeda, untuk tidak menulis sejenak, kalau memang ada kesibukan lain yang tak bisa dijeda dengan menulis, apalagi kalau itu pekerjaan utama kita. 

Sebenarnya menurut saya, jeda menulis bukan hanya soal pekerjaan utama menyita waktu dan pikiran sehingga kita sementara melakukan jeda menulis. 

Bagi saya, menulis karena sebagai hiburan, maka ketika saya melakukan jeda menulis, semata-mata karena memang saya ingin mengerjakan pekerjaan lain. 

Soal menulis itu khan soal aktivitas sehari-hari, yang bisa kita jeda kapan saja, bahkan meski tanpa alasan apapun....hehehe. 

Jadi ketika saya tidak menulis, bukan karena saya sedang tidak mood, tapi karena memang saya sedang tak ingin menulis. 

Setidaknya, sekarang ini saya bisa katakan begitu, karena saya sudah bisa memahami bagaimana tentang mood menulis itu. Inspirasi yang saya saya peroleh ketika membaca ulasan Pak Ketut Suweca, beberapa waktu kemarin. 

Jadi ketika saya tidak menulis, atau melakukan jeda menulis, bukan karena saya sedang tidak mood, tapi sebaliknya, karena saya sedang tak ingin menghibur diri dengan cara menulis, saya sedang tak ingin melakukan terapi dengan menulis, dan saya sedang tak ingin menasehati. Hehehe..

Artinya, menulis adalah kehendak, kekuasaan atas kehendak adalah semata-mata otoritas tunggal kita, bukan karena kehendak dari luar diri kita. 

Menulis adalah semata-mata kekuatan atau kekuasaan berkehendak dari diri kita sendiri. Otoritas tunggal dari dalam diri kita. 

Demikian menurut pandangan saya, berlaku terbatas, bagi sahabat yang mungkin sepaham dengan saya dalam memahami kekuatan kehendak. 

Saya menulis karena saya memang mau atau ingin menulis. 

Salam Literasi...Salam Kompasiana

Salam Hormat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun