Yang terjadi sekarang, anak-anak kita seperti terlena menikmati konten aplikasi, yang konten-kontennya itu entah berasal dari mana saja dan lebih banyak lepas dari konteks kebudayaan kita.Â
Saya kira ini yang perlu dipikirkan, bukan soal regulasi membatasi anak-anak generasi kita menikmati konten aplikasi, tetapi bagaimana ada batasan soal konten-konten yang bisa di-filter, lalu memanfaatkan aplikasi untuk menyebarluaskan konten-konten yang mendidik, mencerdaskan dan menguatkan karakter anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa.Â
Saya sebenarnya miris, dengan semakin merebak dan banjirnya fenomena "prank" di tanah air kita, yang pada umumnya dilakukan oleh perilaku generasi milenial.Â
Tanpa bermaksud menyalahkan siapa-siapa, dan juga tanpa bermaksud menuding siapa-siapa atau menganggap saya benar sendiri. Namun fenomena "prank" sebenarnya gejala yang tidak sehat dan cenderung mengarah patologis.Â
Mungkin pernyataan saya ini dianggap mengada-ada, tidak gaul, norak dan sebagainya. Silakan saja, tapi fenomena "prank" yang tidak sehat, cenderung merusak mentalitas generasi milenial.Â
Bagi sebagian orang, fenomena "prank" bisa jadi hanya lucu-lucuan, seru-seruan. Tapi lihat, demikian masifnya fenomena "prank" dan sedemikian parah dampaknya.Â
Para sahabat bisa mencari informasi-informasi aktual seputaran dampak "prank", para korban dan semua peristiwa dan percakapan yang berkembang, buntut masifnya "prank" yang tak terkendali. Masih ingat khan pelaku "prank" yang dibully dan dibui?
Sebagai orangtua, kita tentu punya tugas berat, tapi jangan jadikan beban yang sarat. Kita memang harus sadari mendidik anak melalui budi pekerti adalah tugas berat, ditengah menjamurnya fenomena budaya asing yang kian merebak.Â
Fenomena "prank" yang seakan menjadi budaya baru, hampir tidak kita ketahui asal usulnya, tiba-tiba menyeruak menjadi kebiasaan baru, bahkan menjadi tingkah laku sehari-hari.Â
Sebenarnya, dalam kondisi patologis, fenomena budaya "'prank" bisa jadi juga karena fenomena halusinasi. Kita pasti tidak mau khan, kalau kita hidup di zaman halu? Kita tidak mau khan kalau generasi kita disebut generasi halu?
Sudah saatnya memang kita memikirkan kembali, pembelajaran dan pendidikan budi pekerti semakin diperkaya, baik melalui sekolah formal maupun melalui sekolah-sekolah informal, termasuk pendidikan di rumah.Â