Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Pertunjukan Dramaturgi Indonesia

21 Oktober 2020   11:54 Diperbarui: 22 Oktober 2020   22:43 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini bukan tentang analisa politik, walaupun kalimat tentang politik tak terhindarkan. Namun saya tidak akan mengurai tentang analisa  kondisi perpolitikan tanah air. Hanya menyentil singkat, secuil dan sambil lalu saja. 

Dramaturgi Indonesia, melihat panggung depan dan panggung belakang pentas pertunjukan di Indonesia. Yang paling sering tampil di pentas pertunjukkan di Indonesia, pada umumnya adalah pentas perpolitikan. Itu pertunjukkan yang tampil paling dominan. Bahkan paling dihapal.  

Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul "Presentation of Self in Everyday Life" (wikipedia).

Perhelatan politik tanah air, sesekali kita lihat dalam kacamata budaya dan antropologi sosial. Oleh karena peristiwa politik juga suatu proses atau peristiwa budaya.  

Mengapa peristiwa politik di Indonesia menjadi penting untuk dilihat dari kacamata sosial budaya? Sepanjang dua musim pemilu presiden yang sudah kita lalui. Dinamika politik begitu hebatnya. 

Arusnya bukan main membuat banyak pihak seakan terbawa suasana panas pilpres. Fenomena cebpretdrun sangat hingar bingar. Ah... sudahlah kita lewati saja. Walaupun itu juga menjadi fenomena yang aktual sepanjang perdebatan politik pada perhelatan politik sejak pilpres 2014-2019 yang sudah berlalu. 

Fenomen politik yang kencang demikian, karena masyarakat melihat fenomena politik demikian lugasnya. Melihatnya hanya yang tampak di media televisi, maupun yang terpampang dalam narasi-narasi berita teks. Termasuk juga dalam berbagai opini di berbagai media. Baik media konvensional maupun media online. 

Media mainstream maupun media sosial. Bahkan kita menjadi tidak cukup peka, bahwa ada setting panggung belakang yang memang sengaja menata pentas agar dapat terlihat dari banyak sudut pandang, juga agar tumbuh perdebatan. Lalu siapa yang menata panggung belakang? Tanyakan pada rumput yang bergoyang. 

Semua itu adalah fenomena yang tampak di panggung depan. Kita tidak pernah tahu, juga tidak pernah membayangkan bagaimana yang tampak di panggung belakang. Demikian kata dramaturgi, fenomena pangung depan dan panggung belakang kehidupan. 

Keluguan kita dalam melihat suatu fenomena, membuat kita mudah terbawa arus. Perdebatan demi perdebatan dipertotontonkan. Juga dinarasikan melalui teks-teks kalimat yang sumir, karena kita melihatnya dalam potongan-potongan peristiwa di pentas panggung. Padahal semua pentas pertunjukkan itu memang demikian skenarionya, juga setting panggungnya. 

Setiap peristiwa yang kita lihat baik kita lihat secara langsung maupun di televisi, kita pahami sesuai yang terlihat secara kasat mata. Lalu beberapa orang diantaranya menuliskannya dalam berbagai opini. Lalu opini itu menyebar dan menjadi perdebatan, karena cara menerjemahkan yang berbeda.

Ada pula yang mempercakapkannya dalam berbagai diskusi dan perbincangan. Lalu timbul pula opini dan perdebatan. Bergulir terus bak bola salju, dari sebiji kelereng lalu membesar, sebesar gunung. Begitulah perdebatan diciptakan. Demikianlah pertentangan dilahirkan. 

Suatu waktu teman saya pernah mengatakan, apa yang dilakukan oleh Limbad, yang bisa membengkokkan baja, lalu dikubur hidup, juga waktu dirinya digilas buldozer. Dan Limbad tidak apa-apa, tidak cedera sama sekali. Orang mengira Limbad memang sakti atau trik sulapnya sudah dibumbui juga dengan bantuan jin dan sebagainya.

Padahal semua itu kemasan di televisi. Tidak ada satupun trik sulap Limbad, yang betul-betul murni sulap. Semua sudah disetting, bahkan dengan bantuan kamera pula. Sekali lagi itu kemasan, yang bertujuan entertainment. Demikian kata sahabat saya dengan penuh meyakinkan. 

Begitu pula perdebatan para tokoh politik di acara talk show televisi. Bahkan perdebatan yang sengit sampai mengarah ke adu jotos. Semua itu kemasan untuk jadi tontonan. 

Demikian tampaknya dramaturgi di Indonesia. Penonton kemudian larut, ikut gregetaan, ikut-ikutan emosi dan sebagainya. Lalu masing-masing orang membela salah satu pihak atau aktornya. Terjadilah kubu-kubuan. Demikian perkubuan dilahirkan. 

Perdebatan demi perdebatan itu hanya sebagian panggung muka saja dari drama politik di Indonesia. Masyarakat tidak sebenar-benarnya tahu apa yang sesungguhnya terjadi. 

Dalam kacamata antropologi sosial, fenomena itu sebenarnya masih terkait dengan soal interaksi sosial, di dalamnya dilakukan interaksi simbolik, yang pada penjabarannya terkait dengan teori dramaturgi. 

Lalu, siapa yang bermain di panggung? tentu para aktornya. Jadi dramaturgi itu mengandaikan sebuah akting para aktornya. Apa yang tampak terlihat di depan panggung, bukanlah fenomena yang sebenar-benarnya terjadi. 

Karena itu hanyalah menontotan pertunjukan yang terlihat di panggung. Panggung belakang tak terlihat, semuanya samar. Sebagai penonton, kita tidak pernah tahu, apa yang sesungguhnya terjadi. 

Jadi, kenapa saya tidak pernah berminat ikut-ikutan dalam perdebatan soal politik? Pertama, karena saya bukan pengamat politik. Kedua, karena apa yang kita baca, dan apa yang kita lihat itu hanyalah pentas pertunjukan yang hanya tampak di panggung depan. 

Saya lebih suka menikmatinya saja, menjadi penonton yang tenang. Dan saya cukup sibuk menjadi aktor untuk pentas yang lain..hehehe. 

Dramaturgi, menampilkan panggung depan dan menyembunyikan panggung belakang. Kita mengulas yang hanya tampak di depan mata. Dan semua orang tahu, apa yang terjadi, karena kita semua juga menyaksikannya. 

Jadi, sewaktu rame debat-debat pilpres yang lalu, saya malas untuk ikut nimbrung. Hanya tertawa-tertawa saja, melihat perdebatan di medsos. Dalam hati saya katakan, apakah orang-orang ini sadar dan peka, kalau yang diperdebatkan ini, memang ada yang menyiapkan. 

Bahannya memang sudah disiapkan sedemikian rupa, agar menjadi perdebatan.  Kita seperti memperdebatkan episode di pentas sinetron yang baru saja ditayangkan. Begitu kata saya dalam hati.

Kadangkala pula, untuk meramaikan panggung depan, para kru yang biasanya bekerja di belakang panggungpun, juga sengaja ditampilkan di pentas, tujuannya adalah dramatisasi, bahwa seakan-akan kejadian di pentas, itu realistis. 

Padahal memang disengajakan, atau sudah sedemikian settingannya. Kondisi demikian yang menginspirasi fenomena prank yang menjamur di tanah air. 

Karena kita hanya memperdebatkan yang memang disiapkan untuk diperdebatkan. Bahan perdebatannya memang sudah disiapkan, memang ditampilkan atau dipentaskan. Sekali lagi, demikian perdebatan diciptakan, dilahirkan. 

Para pengamat sekalipun, sepertinya hanya menerjemahkan apa yang dilihatnya melalui kalimat naratifnya. Sekali lagi hanya yang dilihat atau yang tampak di panggung depan. Semua yang sudah pasti terlihat. 

Saya membayangkan sama halnya pentas reality show di televisi. Acara yang cukup diminati para penonton televisi Indonesia. Sebagian orang sangat percaya bahwa itu semua memang nyata. Atau kenyataan yang dipentaskan. 

Padahal, semua yang dipentaskan, tentu saja ada kemasan di dalamnya. Reality show, tidak berbeda jauh dengan sinetron ataupun film. Yang membedakan hanyalah aktor-aktor dan skenarionya  saja.  

Tapi, penonton kadang terlanjur hanyut. Jangankan reality show, sedangkan sinetron aja, dibawa baper, kadang emak-emak rempong, bapak-bapak, kawula muda dan semua orang memperdebatkannya. 

Kita semua tergiring suasana, seolah-olah yang terjadi di pentas pertunjukan itu kejadian nyata. Ada yang berdebat sengit karena saling membela dan mengidolakan tokoh-tokoh pujaan dalam sinetron yang ditontonnya. 

Begitupula dramaturgi dalam pentas kehidupan nyata ditampilkan. Selalu ada panggung depan dan panggung belakang, agar para penontonnya mengambil hikmah dan memetik pelajaran dan pengalaman. 

Untuk sementara demikian, ulasan singkat yang bisa saya tampilkan. Semoga tulisan saya ini bukan bagian dari narasi dramaturgi yang baru lagi. 

Terima kasih. Salam hormat. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun