Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lusy Mariana Pasaribu, Ibu Srikandi Puisi Kompasiana

12 Oktober 2020   13:59 Diperbarui: 12 Oktober 2020   14:15 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar olahan pribadi. Sumber : Kompasiana

Kenapa saya menyebut ada kedalaman, ada getaran dalam puisi LMP? Karena intuisi saya menangkap, puisi-puisi LMP lebih banyak mengungkap tentang diri. Tentang kemanusiaan diri kita. Baik diri kita yang tunggal ataupun diri kita yang mewakili diri yang lain.  Puisinya mengudar tentang alur kedirian sesesorang. Entah siapa, bisa diri sendiri, bisa juga diri orang lain. 

Getaran akan semakin terasa, seperti resonansi. Ketika seorang pembaca, memaknai puisi LMP, sebagaimana peristiwa atau kedirian yang dialaminya. Pembaca seolah-olah merupakan diri penulis. Artinya, ketika pembaca mengeja makna puisi mengikuti intuisinya dan lalu tepat si pembaca menangkap bahwa isi puisi mewakili dirinya, maka resonansi itu semakin hebat. Kata istilah sekarang, bikin baper...hehehe. Halah...mau ngomong gitu aja, pilihan kata seperti ruwet amat yak...hehehe. Jangan-jangan saya mau bilang, kalau saya ini sering baper baca puisi LMP. Weladalah, terserahlah...hehehe

Loh, kok saya jadi mengulik tentang isi konten puisi-puisi LMP ya. Ini kesalahan besar sebenarnya buat saya. Karena bagi saya ini bentuk penyimpangan. Tulisan saya sebelumnya tentang tiga srikandi Kompasiana, hampir tak terbaca saya mengulik konten puisi-puisi mereka. Karena memang tidak dan juga tidak sedang berusaha mengulik konten-konten puisi tiga srikandi sebelumnya. 

Lalu, mengapa dalam ulasan tentang LMP, saya terlihat sedang berusaha mengulik isi puisinya? Sebenarnya ini alam bawah sadar saya tergiring kesana. Bisa saya katakan, disinilah kekuatan magis puisi LMP untuk saya yang awam. Jika pada puisi Ari Budiyanti, Fatmi Sunarya, dan Hera Veronica, saya tidak terjebak untuk mengulik isi puisinya. Ya karena semua terasa gamblang, terang benderang, jelas terpampang maknanya, tersaji dengan rangkaian kata.

Agak berbeda saya kira bentuk puisi LMP. Pada umumnya rangkaian kata dalam puisi LMP seperti prosa. Bebas memainkan kata, rima dan bait yang tak baku. Tetapi rangkaian katanya memikat. Diksi-diksinya berirama, meskipun tanpa pakem rima yang ketat. Jadi kekuatan puisi LMP, itu bukan pada rima, tetapi pada irama atau ritme. Tapi yang lebih menonjol adalah rangkaian kata dan kalimat pada bait-bait puisinya. 

Bukan pada bunyi kata dalam setiap bait atau larik, tetapi lebih pada irama atau ritme. Irama kata menjadi lebih kuat bilamana kita mempertautkan dengan irama hati. Begitu kira-kira, menurut cara pandang saya yang awam, hanya sekedar mengingat-ingat pemahaman dulu dikala bermahasiswa sastra, yang hanya belajar satu semester. Dan hampir semuanya saya lupakan, karena saya menekuni dunia arkeologi, dunia karier saya sekarang.  

Jadi, apa yang uraikan dalam tulisan ini tentang puisi-puisi LMP, semata-mata mewakili pendapat saya pribadi. Dan mungkin tidak sesuai dengan apa yang ingin dimaknakan oleh penulisnya, Lusy Mariana Pasaribu. 

Setelah menayangkan artikel tentang puisi LMP ini, sepertinya saya sudahi mengudar tentang puisi-puisi Kompasiana. Selain sebenarnya, bukan keahlian saya sebagai seorang arkeolog. Rasa-rasanya juga saya tidak cukup layak untuk mengulik soal puisi. Saya takut dimarahi sama ahlinya..hehehe. 

Sekali lagi, tulisan saya ini sebenarnya adalah bentuk penyimpangan. Namun, anggap saja sebagai bentuk apresiasi saya terhadap para srikandi puisi kompasiana di bulan bahasa yang mencerahkan ini. 

Kepada para pembaca, juga terutama LMP, semoga berkenan dengan tulisan ini. Salam Puisi..Salam inspiratif...salam literasi

Salam hormat. WH

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun