Air mata itu menetes tak hentinya. Ia menghancurkan sebongkah
batu dalam hatiku. Dalam waktu yang tak ada hentinya. Seperti
air sungai kepedihan yang menggenangi tanah yang menganga
Tempat luka mengendap waktu yang tak ada hentinya. Lalu menjadi
telaga yang menampung air mata. Hingga menjadi kesejukan, yang
tak ada hentinya. Menyelami air matamu adalah keikhlasan, kataku
Telaga kejernihan air matamu. Menganak sungai yang deras ke muara
Mengalir, yang tak hentinya. Di muara, kubendung dengan tangan
yang kubalut cinta, kasih dan sayang. Tak ada hentinya.Â
Jernihnya air mata dalam telagamu. Setia pada kesejukan asalnya
Tak sampai ke laut yang airnya payau. Sebab laut tak mengerti
tentang mengalirnya air matamu.Â
Aku adalah batu, yang menyimpan rindu untukmu. Membendung
air matamu. Aku adalah batu, yang mengendapkan lukamu,
agar larut di dasar telaga. Dan airnya jernih dengan tak ada hentinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H