Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ospek Virtual: Stop Kekerasan Verbal!

17 September 2020   11:08 Diperbarui: 17 September 2020   20:53 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pacitannews.com/

Menurut saya, ospek virtual itu momentum awal, untuk mengembalikan makna ospek itu sendiri. Orientasi dan sosialisasi pengenalan kampus. Jadi ada proses pencerahan dan membangun sikap mental, sebenarnya. Dengan cara virtual, maka bobot materi bisa lebih banyak memberikan pencerdasan dan pencerahan mental. 

Prakteknya, salah memahami makna ospek , menjadi  tradisi buruk, menjadi perpeloncoan. Padahal, pembinaan mental tidak harus dengan praktek perpeloncoan. Dulu, sudah banyak korban ospek konvensional dalam prakteknya. Bahkan beberapa kasus mahasiswa yang tewas mengenaskan, karena ospek. 

Belum lagi kasus perpeloncoan di STPDN, beberapa waktu lalu, mencoreng nama baik kampusnya itu sendiri. Seharusnya itu menjadi pelajaran. Jadi ospek virtual, seharusnya bisa menjadi momentum awal, untuk melakukan praktek ospek yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan.

Mahasiswa, bukanlah militer. Didikan militer yang keras, itu mungkin wajar, tapi itupun dilakukan secara proporsional. Artinya, sudah ada perhitungan tingkat kemampuan taruna baru. Sudah ada standarnya. Tapi di tingkat mahasiswa, tidak ada standar yang jelas bagaimana memperlakukan mahasiswa dalam praktek ospek yang menjurus ke praktek perpeloncoan. Ngerjain mahasiswa baru, dengan dalih ospek. Itu yang dulu terjadi.

Ospek  Bukan Perpeloncoan

Pasti diantara kita paham betul, bagaimana praktek ospek yang jadul. Saya sendiri, pernah menjadi junior yang dipelonco sewaktu menjadi mahasiswa baru. Tapi juga pernah menjadi mahasiswa senior yang mempelonco mahasiswa baru. 

Pengalaman itu, akhirnya membuat saya bisa mengambil kesimpulan. Pada prakteknya, ospek itu unfaedah, kalau tidak dilakukan dengan cara proporsional. 

Diakui atau tidak, kebanyakan terjadi, ospek hanya menjadi ajang balas dendam senior kepada yunior. Tahun sebelumnya, senior yang kini mempelonco juniornya sekarang, adalah sebagai korban perpeloncoan. Tahun berikutnya mereka balas dendam. Ini adalah tradisi buruk dalam sistem pendidikan kita, terutama di kampus atau di perguruan tinggi. 

Pada prakteknya, banyak tidak mendidiknya. Karena tidak dilakukan dengan pertimbangan dan konsep yang jelas dan matang.  Sebenarnya ada tindakan disorientasi dalam praktek Ospek. Ospek, sebenarnya adalah orientasi dan sosialisasi pengenalan kampus. Namun pelaksanaannya menjadi melenceng, berubah menjadi praktek perpeloncoan. 

Perpeloncoan sendiri, mengandung pengertian praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok (wikipedia). 

Mengapa praktek Ospek menjadi perpeloncoan? Panjang kalau saya mau jawab dengan detil. Tapi pada intinya, karena praktek Ospek tidak jelas konsepnya. Mungkin saja, pihak kampus sudah membuat juknis tentang pelaksanaan Ospek, tapi di tingkat penyelenggara, dari Himpunan Mahasiswa, hingga Senat Mahasiswa Fakultas atau Senat Mahasiswa Universitas tidak menyusun pedoman yang baku tentang Ospek. Jadi jalannya ospek, tergantung otoritas senior saja. Artinya, berdasarkan isi kepala masing-masing mahasiswa senior. Begitu kelihatannya. Itu yang terlihat dari prakteknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun