Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kepada Ibu, Seorang Yang Mulia

14 September 2020   15:34 Diperbarui: 14 September 2020   16:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Rustam Awat

SEBELUM USIA USAI
Luangkan waktu untuk bersimpuh di kaki yang pernah kuat menuntun langkah-langkah kita.
Genggam tangan yang pernah menyuap makanan di mulut kita dengan penuh cinta.
Peluk erat dengan penuh kerinduan tubuh yang mulai renta.
Lalu tatap lekat-lekat wajah yang dipenuhi keriput karena telah lama bergelut dengan hidup.
Untuk sekedar bertanya "apa kabarmu, ibu". 
(Rustam Awat)

Di halaman akun Facebook (FB) sahabat saya, Rustam Awat namanya. Beliau seorang dosen dan juga fotografer yang sangat bersahaja. Mengajar di salah satu perguruan tinggi di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Saya tidak akan membahas beliau yang sangat bersahaja itu. Tapi saya tergugah dengan foto dan status di akun FBnya. 

Sengaja saya mengutip narasi pendek dalam status FBnya. Saya mengutip tulisannya, karena sangat terinspirasi dan tergugah. Kalimat sederhana yang memikat itu membuat saya tertunduk dan merenung atas perjalanan hidup saya. Juga tiba-tiba mengingat ibu saya yang telah renta. 

Terinspirasi dari sahabat saya yang dosen itu, saya ingin menulis surat melalui Kompasiana ini kepada Ibu, sebagai orang tua yang paling mulia. Tulisan ini saya persembahakan kepada Ibu saya, juga kepada semua ibu di dunia.

Saya tidak paham, tulisan saya ini bergenre apa. Sepertinya tidak begitu penting soal itu, menurut saya. Intinya, saya tergerak untuk menulis, karena inspirasi dari sahabat saya itu. Menulis sebuah surat tentang pengakuan dan pendakuan saya, terhadap sosok ibu. 

Saya menuliskan artikel ini dengan gemuruh jiwa dalam dada. Gemuruh tentang rasa yang tiba-tiba menyeruak bahwa saya bukan siapa-siapa, bukan apa-apa tanpa seorang ibu. 

Rasa yang tiba-tiba tercekat waktu, bahwa selama ini saya seperi melupakan sosok ibu, yang begitu berjasa dalam setiap perjalanan, dimana saya melangkah dengan pongah.

 Seakan semua waktu dan ruang adalah soal saya sendiri. Merencana kehadiran dan keberaradaan. Apakah anda juga merasakan seperti yang saya rasakan sekarang?. Kalau tidak,  cobalah hentikan sejenak aktivitas anda, berdiam dan tenangkan pikiran, lalu ingat-ingatlah masa kecil anda. 

Sayapun sebenarnya tidak banyak kata bisa mengalir, untuk bisa menggambarkan rasa hormat saya kepada sosok ibu. Karena begitu luas dan raya, dunia ini penuh dengan ruh ibu. 

Dunia kata, takkan pernah mampu menjangkau ruh ibu, yang demikian luas dan raya itu. Surat saya kepada Ibu, mungkin hanya sekelumit kata, yang singkat dan tak penuh makna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun