Sejauh mata memandang, selayang pandang yang dari dekat hingga jauh, mata dunia disuguhi pesona Indonesia yang kaya budaya. Di Indonesia, banyak kita temui rekayasa ruang sedemikian rupa menjadi pesona alam sekaligus budaya yang menarik pandangan mata.
Pesona alam menjadi daya tarik yang diproduksi oleh laku budaya. Itulah saujana budaya, sebuah bentang alam, sekaligus bentang budaya sekaligus. Di bentangan ruang yang sama kita bisa melihat bentang alam dan budaya berjumpa.
Saujana, kata yang masih asing terdengar ini adalah kata asli bahasa Indonesia, yang secara harfiah menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti “sejauh mata memandang”.
Kata saujana kemudian disepakati dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tahun 2003 untuk digunakan sebagai terjemahan dari ‘cultural landscape’ atau bentang alam budaya. Saujana merupakan refleksi hubungan antara manusia dengan budayanya dan lingkungan alamnya dalam kesatuan ruang dan waktu yang luas.
Saujana merefleksikan tata cara masyarakat dalam mengolah lahan dan sumber daya alam yang berkelanjutan. Banyak saujana merefleksikan keberadaan dan perkembangan masyarakat lokal dalam mengelola sistem lingkungannya dalam waktu yang lama, sehingga tercapai keharmonisan hidup dengan alam dan terpeliharanya identitas budaya masyarakat.
Saujana merupakan fenomena komplek dengan identitas pusaka yang ragawi, budaya benda (tangible) dan budaya tak benda atau budaya bukan ragawi (intangible). (Arsitektur dan Lingkungan UGM).
Dalam bentang alam, kita menyaksikan pula tindakan kebudayaan. Hubungan antara manusia dengan budayanya dengan alamnya sebagai satu kesatuan. Juga bagaimana cara manusia memperlakukan atau merekayasa ruang untuk laku budayanya. Kedua hal yang saling berjumpa berpadu sebagai satu kesatuan.
Jadi dalam saujana budaya, kita tidak melihatnya terpisah-pisah, hanya data budayanya saja atau data lingkungan alamnya saja. Namun keduanya sebagai satu kesatuan dalam ruang, sebagai hubungan antara alam dan budaya masyarakatnya yang saling mempengaruhi, juga saling melengkapi.
Saujana budaya itu bentang alam, sekaligus bentang budaya dalam satu kesatuan ruang, alam dan lingkungan berupa area atau kawasan, dimana warisan budaya itu ada.
Candi Borobudur sebagai budaya benda (tangible) dengan lingkungannya, dimana rekayasa ruang pada masa lampau, lingkungan di sekitar Candi Borobudur berkaitan langsung dengan fungsi Candi Borobudur dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Itu adalah salah satu contoh saujana budaya. Juga berbagai kawasan tempat dimana kebudayaan dibangun dengan cara memperlakukan alamnya menjadi satu kesatuan.
Di mana manusia zaman dulu, memilih tempat itu, sebagai tempat bermukim juga tempat beraktivitas lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Alam dan budaya berpadu, demikianlah saujana budaya Kawasan Megalitik Lore Lindu (KMLL) di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
Indonesia Kaya Saujana Budaya
Indonesia kaya akan saujana budaya, namun hanya sebagian kecil yang sudah dikelola dengan baik, sudah tertata dengan optimal. Dari yang masih sebagian kecil itu, hanya segelintir saja yang sudah diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco, salah satunya Subak di Bali.
Ada rekayasa ruang, dengan pertimbangan budaya dan alam, sehingga sawah dibuat terasering dengan sistem pengairan yang diatur sedemikian rupa menurut cara pandang kearifan lokal masyarakat Bali.
Demikian pula terasering di Jawa, walaupun sistem pengairannya, tidak seperti di Bali. Terasering bentangan lahan sawah, hingga kini bertahan, baik alam maupun budayanya. Salah satu yang menjadi ciri khas alam di Bali, dan menjadi daya tarik wisata.
Di kawasan barat Indonesia, saujana budaya Pulau Nias, adalah contoh saujana budaya yang sangat menarik, namun sepertinya masih kurang diberdayakan dan diangkat dalam kancah perbincangan budaya secara nasional dan juga internasional. Padahal dunia juga sudah mengenal.
Di kawasan Danau Toba, saujana Toba adalah suatu kawasan bentukan letusan gunung purba yang meliputi kawasan budaya Batak dengan ruang fisik bentang alam geopark Toba dan sistem sosial yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu (BPPI).
Di Jawa Barat ada situs Gunung Padang, itu juga bisa dikategorikan sebagai saujana budaya. Jadi tidak hanya melihatnya sebagai kawasan situs dengan artefak batu-batu megalit yang berserak, namun melihatnya sebagai satu kesatuan ruang, antara gunung atau bukit dengan rekayasa ruang oleh manusia masa lampau sebagai kawasan bermukim ataupun sebagai situs pemujaan.
Sayangnya, perhatian kita lebih banyak kepada situs atau warisan budayanya semata, atau sebaliknya hanya perhatian pada lingkungan alamnya semata. Melihatnya masih dalam pandangan yang terpisah-pisah.
Jadi ketika ada usaha penataan, perhatian masih melihat dalam porsi yang setengah-setengah atau terpisah-pisah.
Penataan kawasan Megalitik Lore Lindu, misalnya, yang ditata, yang dipugar, direstorasi atau dibenahi hanya obyek megalitiknya semata, sementara lingkungan alam sekitar tidak menjadi perhatian. Kondisi ini tentu bisa mengurasi nilai 'heritage' nya. Mengurangi nilai penting 'warisan' nya.
Subak Bali sudah diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco. Pengakuan tersebut terwujud setelah perjuangan pemerintah Indonesia selama 12 tahun. Pengusulan untuk kategori ini bukanlah perkara yang mudah karena diperlukan penelitian mendalam melalui pendekatan multi disiplin ilmu seperti arkeologi, antropologi, arsitektur lansekap, geografi, ilmu lingkungan, dan beberapa ilmu terkait lainnya (Kemdikbud).
Pengakuan Unesco itu tentu saja, karena dalam pengelolaan Subak di Bali, tidak hanya menata kawasan terasiring persawahannya saja, tetapi juga mengelola dan mempertahankan sistem rekayasa ruangnya, sistem budaya. Mempertahankan sistem pengairan tradisional yang diatur dalam kacamata adat, kearifan tradisional Bali.
Berkaca pada Subak Bali, maka kawasan saujana-saujana budaya di wilayah Indonesia lainnya, semestinya juga memperhatikan, apa yang sudah dikerjakan pada Subak di Bali.
Di Maluku, Banda Naira, sudah diusulkan sebagai warisan dunia sejak tahun 2005, namun hingga kini masih belum jelas kabarnya, bahkan semakin kabur kejelasannya. Namun memang kita perlu evaluasi.
Menata Kawasan kota Kolonial Banda Naira, jika melihatnya sebagai sebuah saujana budaya, maka pengelolaan bukan hanya pada bangunan-bangunan tinggalan kolonialnya. Itupun juga belum seluruhnya dilakukan secara optimal. Namun yang perlu dikelola, ditata juga lingkungannya dan bentang alamnya.
Secara menyeluruh melingkupi seluruh kawasan kota, buka hanya sebagaian-sebagian tinggalan bangunan kolonialnya saja. Jika kawasan saujana budaya, bentang budaya kota Kolonial Banda Naira, bisa dilahirkan kembali sangat besar kemungkinannya Banda Naira bisa diakui sebagai warisan dunia.
Memang perlu dibuat kawasan khusus untuk di Pulau Nias, mewakili saujana budaya pada masa kehidupan megalitik. Jadi tidak bercampur antara obyek dan lingkungan megalitik dengan pemukiman-pemukiman warga yang sudah terlihat modern.
Maksud saya, perlu dipertimbangkan, jika ingin menjadikan saujana budaya di Pulau Banda, yakni bentang budaya Kota Kolonial Banda Naira, perhatian pengelolaan dan pembangunan seluruhnya difokuskan untuk Banda Naira, secara bertahap dan terfokus.
Tidak bangun di sana, bangun di sini, sedikit-sedikit namun hasilnya tidak begitu tampak dan durasi waktu yang seakan berjalan pelan.
Demikian juga potensi saujana budaya di wilayah lain. Artinya memang dibutuhkan skala prioritas. Pemerintahlah yang menyusun renstra dan skala prioritas dalam membuat program pengelolaan warisan budaya.
Namun intinya, berbagai warisan budaya dalam bentang alam yang potensial sebagai saujana budaya perlu mendapat perhatian serius dan fokus dalam pelaksanaan pembangunannya.
Salam Budaya...salam lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H