Setelah melakukan survey terbatas, pada lokasi Minawanua Linekapan, saya cenderung bersetuju, dengan pendapat tentang arti Linekepan, sebagai kampung tua yang tenggelam atau terendam.Â
Melihat lanskap kampung tua, di dataran rendah di tepi bantaran sungai, rasa-rasanya lebih mudah diterima dan dikenali, jika masa lampau, kampung ini pernah tenggelam, karena meluapnya sungai.
Adapun nama perkampungan ini awalnya oleh para Dotu disebut Minawanua Linekepan. Likupang saat itu merupakan suatu wilayah yang terletak di paling ujung utara tanah Tounsea, salah satu suku yang mendiami tanah Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
Lokasi awal mula pemukiman diperkirakan ada di Desa Likupang Satu, cukup dekat dengan sungai besar yang masih ada sampai saat ini dan disini terdapat banyak waruga baik yang masih nampak maupun yang diduga sudah tertimbun dalam tanah.
Saya dan beberapa teman Balai Arkeologi Utara ditemani para penggiat budaya, Adat Doyot Likupang (ADL) sebuah organisasi masyarakat yang peduli terhadap warisan budaya, pimpinan Tonaas Wangko, James Lengkong dan dua orang anggotanya Pak Toni dan Pak Maybi. Kami bergerak menyusuri sungai besar yang sedang dibangun taludnya, agar air sungai tak meluap di waktu musim hujan.
Ketua Adat Doyot Linekepan, saat saya temui, cukup banyak memahami tentang informasi dan makna waruga sebagai warisan budaya.
Beliau katakan suatu pemukiman (wanua, kampung, desa) di tanah Minahasa dikatakan telah lama didiami (tua) ditandai dengan adanya banyak waruga atau suatu lokasi yang tidak didiami tetapi banyak terdapat waruga, baik yang masih berada diatas tanah, tertimbun maupun yang sudah dibawah tanah.
Lokasi yang sudah tidak didiami ini disebut Minawanua (kampung tua), Waruga (sarcophagus) adalah kuburan Tou Malesung (nenek moyang orang Minahasa) yang hidup pada masa peradaban megalithikum (batu besar).Â
Diwilayah Linekepan Tounsea Minahasa Utara terdapat beberapa lokasi waruga, yaitu: lokasi di desa Likupang Satu dan desa Likupang Dua, Sarawet Ure dan Sosolongan (desa Paslaten sekarang), Tula tula (desa Sarawet sekarang), Kokoleh Satu (Kamanga), Kokoleh Dua (Papanaan), desa Batu, desa Werot yang tersebar dipekarangan pekarangan rumah maupun di perkebunan, baik yang diatas tanah maupun yang telah tertimbun.
Pada saat melakukan survey terbatas, saya dan tim dari Balai Arkeologi Sulawesi Utara, didampingi para pengurus Ormas Adat Doyot Likupang (ADL) menyaksikan masih banyak waruga-waruga yang berada di pemukiman warga, yang dikhawatirkan lambat laun akan hilang, jika ada perluasan bangunan rumah ataupun perluasan permukiman.Â
Bagi pemilik rumah saat ini, kesadaran untuk tetap melestarikan waruga di halaman atau pekarangan rumahnya masih terjaga, namun tidak ada jaminan di masa yang akan datang.