Diskusi Sambil Ngopi yang digelar oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengambil tema memerdekakan sejarah, Pembaruan Historiografi Indonesia. Diksusi bulanan itu menampilkan para narasumber yang memiliki komptensi di bidang sejarah dan arkeologi. Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, I Made Geria, bertindak sebagai narasumber sekaligus host dalam acara itu. Kemudian narasumber lainnya, Hilmar Farid yang juga Dirjen Kebudayaan Kemdikbud dan Yudi Latif, seorang penulis buku yang konsen memberi perhatian tentang Pancasila dan Keindonesiaan, serta Agustiyanto Indrajaya, Peneliti arkeologi sejarah Puslit Arkenas.Â
Kearifan Sejarah
Membuka acara diskusi, I Made Geria mengungkap bahwa penulisan sejarah sebagai penulisan yang subyektif. Namun dalam proses penulisannya, tetap mengikuti pakem keilmuan. Namun, data dan fakta yang tersandera, oleh mental-mental yang menerabas, hipokrit, memanipulasi data dan fakta untuk kepentingan tertentu, itu yang jadi problem.
Namun sejak dulu, kondite sejarah, menggunakan konsep dewaraja, yang melegitimasi kekuasaan Raja untuk mempertahankan oligarki politik, tapi itu masa feodal, namun kondisi saat ini berbeda, tidak mungkin dipaksakan dan diterapkan dalam sistem pemerintahan modern ini. Masa reformasi, adalah amsa pembaharuan, namun belum semua perspektif terwadahi. Oleh karena itu penulisan histrogorafi baru penting dicermati, dan arkeologi memiliki data-data baru, untuk menuliskan alur sejarah baru, berdasarkan data dan fakta arkeologi yang ditemukan.Â
Kearifan sejarah luar biasa, teruji ratusan tahun, tapi masih banyak masyarakat yang apriori, padahal ini penting. Sebagai contoh rempah, value standingnya sangat bergaung di dunia. Juga nilai kearifan kedaulatan pangan, seperti yang juga diwacanakan oleh Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid.
Menurut Hilmar Farid, memerdekakan sejarah, pertanyaannya adalah merdeka dari apa? Jika dirumuskan, merdeka juga merdeka dari sejarahnya sendiri. Bicara tentang rempah, kedaulatan pangan, ini adalah ranah produksi pengetahuan, sosiologi pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu dibentuk, tidak terjadi dengan sendirinya. Akan banyak pengaruh didalamnya, termasuk imbangan kekuatan di dalam masyarakat. Oleh karena itu muncul istilah, bahwa sejarah adalah sejarahnya pemenang. Bukan sesuatu yang terjadi di ruang kosong, tetapi juga tergantung dinamika masyarakat.
Menurut Hilmar Farid, historiografi modern, dalam tradisi eropa, tradisi penulsian di Indonesia termasuk lambat. Problemnya, kita mengikuti tradisi yang ditanamkan eropa, ketika menulis sejarah dalam kaidah ilmiah. Pengetahuan sejarah, yang diproduksi sebelum eropa, sebenarnya banyak sekali, seperti babad, tambo, hikayat. Masyarakat sejak dulu memiliki ingatan kolektif. Sumber-sumber sejarah kemudian tidak bisa digunakan, karena soal hikayat, babad dan sebagainya, tidak bisa dipisahkan antara fakta dan fiksi. Produksi pengetahuan non eropa, sebelum kolonial, dianggap inferior, tidak memiliki konstribusi dalam sejarah. Kitapun berjarak dengan pengetahuan itu. Kita juga kalau belajar tentang leluhur kita, bahkan belajar dari Belanda. Meskipun banyak komunitas pelestari sejarah tumbuh di masyarakat. Ini problem, jadi ketika memerdekakan sejarah, kita harus paham betul proses sejarah, produksi lahirnya pengetahuan sejarah, juga arkeologi. Sudah waktunya meninjau secara kritis, lahirnya ilmua-ilmu yang kita pelajari sejarang. Menumbuhkan kesadaran publik yang sehat tentang masa lalu.
Dengan demikian, dalam proses menumbuhkan kesadaran publik yang sehat, produksi ilmiah di perguruan tinggi punya konstribusi untuk itu, meskipun bukan satu-satunya. Fiksi, dramatisasi, romantisasi  dan keterangan masa lalu juga memiliki konstribusi dalam pengetahuan publik tentang masa lalu. Monumen, penghargaan, patung, anugerah dan sebagainya membentuk pemahaman etik tentang masa lalu, yang tidak semuanya diproduksi dari kajian pengetahuan ilmiah. Kajian ilmiah, juga memiliki batas-batas. Sebagai contoh, Amerika misalnya. pembentukan sejarah melalui kajian ilmiah, bukanlah hal yang mainstream, opsi pengetahuan sejarah di luar kajian ilmiah juga berkembang.
Lebih lanjut Dirjen Kebudayaan itu mengatakan, hari ini kita perlu cermati betul, bahwa kesadaran publik tentang sejarah masa lalu, tidak selalu diproduksi atau dihasilkan melalui kajian ilmiah. Kalau bicara tentang literasi sejarah dan keadaban, tidak hanya bisa bersandar pada kajian ilmiah. Sekarang ini terkait pedagogi, menurut Dirjen, materi sejarah yang di sekolah, pengaruh historiografi berdasarkan kajian ilmiah. Mengajak anak didik berpikir kritis dan sekarang semakin mengemuka.
Sejarah Sebagai Sebuah Kesadaran Nasionalisme
Selanjutnya menurut Yudi Latif, cara kita bergerak ke depan, tergantung dari sejarah yang kita lakukan hari ini. Dalam konteks sejarah, bukan soal mempertahankan kontinuitas, kronologis belaka, tetapi sejarah masa lalu, untuk terang kepentingan hari ini, bukan dalam pengertian manipulasi, namun untuk dilihat ulang dengan perspektif kepentingan hari ini. Â Sejarah merupakan cahaya untuk menerangi hari ini. Setiap lompatan peradaban, seringkali menafsir ulang atau menggali ulang masa lalunya. Kemajuan peradaban eropa hari ini, mundur sejenak untuk menggali ulang tradisi arkeologi yang tumbuh di Yunani dan Romawi. "Semacam ancang-ancang, untuk bergerak maju, kata Yudi Latif.Â
Masa lalu mengandung banyak pelajaran untuk hari ini. Sebagai contoh India hari ini, India mendiasporakan para doktornya. "Misalnya saja, calon wakil Joe Biden, itu juga hasil diaspora India" demikian kata terang Yudi Latif. Dalam konteks memerdekakan sejarah, contoh rewriting history India, menemukan sejarah baru India. Kemajuan India hari ini, yang tidak lagi tergantung pada sabda London, seperti di awal-awal kemerdekaan India, juga menjelaskan isi sejarahnya, tentang konstribusi India terhadap Cina. Setelah tidak bergantung lagi pada sabda India, ilmuwan India, mempunyai ikatan lagi, jadi diaspora India itu kembali lagi, dan pembangunan ekonomi di India menjadi sangat cepat.
Yudi Latif mencontohkan tentang kemajuan China hari ini. Menurutnya kondisi Cina yang sekarang berkembang sangat pesat. Kemajuan teknologi Cina yang sangat berkembang pesat, terjadi karena proses refleksi pemerintahan Cina. Dimulai dari spirit menemukan kebanggan Cina, dengan merujuk keagungan masa lalunya. Begitu muncul kebanggan terhadap masa lalunya, sejarah peradaban Cina, wajib menjadi pendidikan di semua level. Studi tentang hal-hal yang bersifat teknik dan teknologis, itu dengan sendirinya akan dikejar, ketika kebanggaan masa lalunya menjadi spirit hidupnya. Ketika rasa bangga sejarah bisa dibangkitkan, maka semua hal-hal teknis bisa dikerjakan dengan cepat. Keyakinan dan kebanggan masa lalu, merupakan energi positif yang sangat besar, yang mampu memberi energi bagi kebangkitan Cina.Â
Sesungguhnya Indonesia mempunyai kekuatan, yang menjadi rahasia dari sebuah kemajuan peradaban masa lalu, yakni kemampuan mengawinkan elemen-elemen budaya dari luar dengan cerlang kebudayan lokal, yang melahirkan sintesis yang jauh lebih tinggi dari asal usul peradaban itu. Contoh kasus Borobudur, sendra tari ramayana, meskipun ada unsur elemen dari India, namun di tangan masyarakat Jawa kuno dulu, menjadi jauh lebih advance, dari India sendiri.