Sebagai seorang arkeolog, tentu cara berpikir saya adalah memetik pelajaran masa lalu untuk membangun pola hidup di masa kini dan masa depan. Masa kini, tak pernah ada tanpa masa lalu, dan masa depan ditentukan sejak hari ini. Jadi rangkaian waktu itu selalu memberikan pelajaran. Demikian cara seorang arkeolog melandasi cara berpikirnya. Pada prinsipnya kembali lagi ke soal belajar dari masa lalu untuk masa depan gemilang.
Saat ini, adalah era teknologi digital. Maka mau tidak mau, suka tidak suka kita juga beradaptasi dengan perkembangan teknologi saat ini. Suka tidak suka, kita akan berkejaran dengan waktu untuk menguasai teknologi. Jika kita bicara teknologi, maka Indonesia dihadapkan pada fenomena tuntutan untuk menguasai teknologi, salah satunya adalah teknologi industri.Â
Kita tahu, Indonesia kaya akan sumberdaya mineral, contohnya sumberdaya mineral logam dan sumberdaya mineral minyak dan gas alam. Sumberdaya mineral tidak terbaharui itu, tentu saja terbatas, pada masanya nanti akan habis. Oleh karena itu kita perlu memikirkan strategi untuk membajak waktu, sesegara mungkin bisa menguasai teknologi industri itu. Sementara, berkejaran dengan waktu, kita juga harus bisa membajak pengetahuan tentang teknologi dari negara-negara yang maju teknologi industrinya untuk bisa menggerakkan proses produksi sendiri, tanpa ketergantungan dengan pihak luar.
Tentu saja, kita semua paham, mengapa indutri pertambangan dikuasai bangsa luar, padahal kita yang memiliki sumberdaya alamnya. Itu semua karena kita tidak memiliki kemampuan mengolahnya. Artinya kita tidak cukup memiliki kemampuan teknologi industri yang dibutuhkan. Freeport, yang menguasai sumberdaya mineral di wilayah Provinsi Papua, contoh yang sangat nyata. Puluhan tahun, sejak berdirinya PT. Freeport di tahun 1967, sumberdaya mineral logam di Timika, yang menghasilkan logam emas, dikuasai oleh perusahaan asing, itu karena infrastruktur dan teknologi mereka kuasai.Â
Kita tahu, 2018 lalu Pemerintah Indonesia, mengakuisisi kepemilikan saham milik Freeport MacMoran, induk dari PT. Freeport Indonesia,
sebesar 51% melalui PT. Inalum, BUMN Indonesia. Meski demikian, selain proses transisi akuisisi juga memerlukan proses panjang dan memakan waktu, yang lebih jelasnya lagi, infrastruktur dan teknologinya masih dikuasai oleh Freeport MacMoran, sehingga Freeport tetap menguasai 49 % sahamnya.Â
Tentu saja, keuntungan pemberian deviden, pajak dan royalti memang lebih besar. Namun, bagaimanapun Inalum, BUMN sebagai pemegang saham terbesar, memiliki ketergantungan pengembalian peminjaman atas upaya mengakuisisi saham Freeport itu. Selain itu, Â memiliki beban hutang, investasi Inalum, kemungkinan akan memetik hasilnya baru di tahun 2021Â (cnbcindonesia.com).Â
Artinya, ada konsekwensi dan biaya yang sangat mahal dari proses divestasi saham Freeport tersebut. Meski demikian, upaya 'membajak' saham itu lompatan yang patut diapresiasi, meskipun banyak pernak-pernik dampak beban yang harus ditanggung.Â
Bagaimanapun, tanpa penguasaan teknologi yang dimiliki Indonesia, suka tidak suka, memang membutuhkan tenaga dari luar untuk bisa menjalankan industri logam tersebut. Sebuah investasi, tentu membutuhkan banyak instrumen untuk menggerakkannya, selain penguasaan teknologi, sumberdaya manusia, infrastruktur, regulasi dan sebagainya.Â
Berkaca pada situasi demikian, memang kita membutuhkan lompatan berpikir, dalam rentang waktu yang kita miliki ini, sambil belajar dalam proses bekerja dalam pengolahan sumberdaya mineral dan logam yang dikelola oleh negara-negara luar, dibutuhkan strategi membajak waktu secara cepat. Kemampuan alih teknologi sesegera mungkin dikuasai para anak bangsa. Selanjutnya Indonesia, perlu membangun infrastruktur yang dinamis, yang menggerakan roda industri secara terus menerus.Â
Lagi-lagi, jika belajar dari masa lalu, hasil riset arkeologi sesungguhnya mengabarkan banyak informasi penting, yang selama ini tidak atau jarang ditengok oleh generasi bangsa ini. Tentu pelajaran dari masa lampau itu, yang kita petik adalah soal nilai penting budayanya, yang bisa menjadi spirit dan filosofi bangsa.Â