Sore ini, di hari minggu yang mendung kelabu, saya mengisi waktu muter-muter kota Manado, ditemani sahabat saya yang selalu mengantar kemana saja yang pergi, Andre Rorong namanya. Sahabat saya setelah setahun ini saya bermukim di Manado, sementara waktu sepanjang saya masih bertugas di kota ini. Saya tiba-tiba teringat ucapan Pak Johanis Malingkas, Kompasianer yang juga asal Manado, soal kopi dan pisang gorengnya. "pe sadap pisgor di kios pante malalayang bung Wuri" Â begitu kata Pak JM di kolom komentar artikel saya di Kompasiana, 29 Juni 2020 lalu. Sebenarnya saya beberapa kali lewat di Pantai Malalayang, kalau hendak keluar kota menuju wilayah Minahasa Selatan dan sekitarnya. Tapi seringkali terabaikan karena kesibukan pekerjaan. Padahal sudah setahun lebih saya tinggal di Manado. Selagi ingat, maka sore tadi saya langsung minta sahabat saya itu mengantar saya ke Pantai Malalayang, dan menemani saya meneguk kopi dan menikmati pisang gorengnya (pisgor).Â
Keindahan pantai Malalayang sebenarnya ditentukan oleh view di depannya, sepanjang dan sejauh pandangan kita, yaitu Gunung Manado Tua dan Gunung Tumpak. Gunung Manado Tua, merupakan pulau yang terpisah dengan daratan, sementara Pulau Tumbak, pulau yang juga terpisah dengan daratan Sulawesi Utara, meskipun tampak masih satu daratan. Memandang Gunung Tumpak, seakan menjadi penghujung pulau di bagian tenggara Sulawesi Utara, jika dilihat dari Pantai Malalayang. Sementara Manado Tua, tampak gunung di tengah laut yang terlihat anggun dan memiliki aura yang menawan. Anggun dan menawan, demikian tampak terlihat dari Gunung Manado Tua, yang konon, dari sana awalnya penduduk Minahasa bermukim, sebelum kemudian menempati daratan bagian utara Sulawesi, yang dikenal dengan Semenanjung Minahasa. Saya jadi ingin menginjakkan kaki di Gunung Manado Tua dan Gunung Tumpak. Catat ya...sepertinya ini perlu dijadwalkan.... hehehe...
Sore itu, tampak ramai, kendaraan baik mobil maupun motor terparkir di tepi jalan, sebagian bahkan di seberang jalannya. Saya dan sahabat saya, sejenak melihat-lihat untuk memilih tempat. Dan akhirnya kami memilih tempat yang tepat, di area bagian tengah. Di sepanjang pantai kita bisa melihat penjual makanan berjejer. Banyak ragam makanan dijajakan. Tetapi yang pasti kopi dan pisang goreng tersedia, diseluruh kios atau warung di tepi pantai Malalayang itu. Lalu lalang orang dan kendaraan hilir mudik sangat ramai, karena memang pantai terletak di jalan poros yang menghubungkan kota Manado dengan wilayah Kabupaten Minahasa Selatan dan sekitarnya. Jadi wajar, ketika sore, apalagi di hari Minggu, libur begini terlihat sangat ramai dan padat.
Saya dan sahabat saya mengambil tempat duduk di area bagian tengah, di tepi pantai itu. Sepertinya, kami sangat tepat memilih tempat itu. Kami bebas melihat jauh ke depan pandangan kami tanpa terhalang. Gunung Manado Tua dan Gunung Tumbak terhampar jelas. Dari tempat duduk kami, dapat terlihat jelas seluruh kesibukan tepi pantai itu. Para pengunjung dan para penjual, juga beberapa pemusik jalanan.Â
Namun, beberapa pengunjung tetap memilih tempat itu. Bahkan tampak kami lihat pula, dua orang muda-mudi duduk ditepi pantai itu. Saling berhadapan, ditengahnya terhidang makanan dan minuman di atas meja. Sesekali debur ombaknya, melepas buihnya ke atas dan memancar ke tubuh dua muda-mudi itu. Mereka riang, mereka senang, tertawa bahagia, melepas rasa ceria bersama. Sepasang muda mudi, yang tampaknya sedang melabuhkan cinta. Saya tertegun dibuatnya. Kenangan masa lalu tiba-tiba menyeruak. Ingin pula kembali ke masa muda dulu.
 Pantai Malalayang, kulabuhkan cinta di tepi kota...suatu saat nanti...mungkin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H