Begini, ketika membaca berbagai tanggapan tentang narasi soal Klepon yang tidak Islami, saya melihatnya banyak cara pandang para penanggap narasi itu terlalu serius yang tidak pada proporsinya. Atau tidak tepat paham. Maaf, ini kata isi kepala saya. Kadang terlalu serius, cara menanggapinya. Soal kata tidak Islami, menurut saya itu seperti jebakan batman.Â
Coba pahami teks dan konteksnya. Kalimat tidak Islami itu lucu, tetapi lucu juga kalau kita menanggapinya dengan sangat tekstual. Lupa konteks. Atau bisa jadi yang membuat narasi soal klepon itu juga lupa konteks. Kalau tidak, dia memang sengaja menggiring opini kita untuk menanggapinya dalam kebingungan paham. Sengaja sebagai jebakan batman, supaya opini berkembang mengikuti seperti yang sudah dibayangkan, atau diharapkan si pembuat narasi klepon. Inilah yang saya pernah tuliskan di Kompasiana beberapa waktu lalu tentang Belantara Kata. Kita terjebak untuk tidak mengatakannya tersesat dalam belantara kata.Â
Katakanlah si pembuat narasi itu memang sudah merancang, agar narasinya jadi polemik dan aktual dalam perbincangan publik, lalu diperdebatkan. Ini bahaya kalau opini semakin meruncing dan dihubung-hubungkan dengan soal narasi agama. Padahal kalau kita perhatikan dengan seksama, si pembuat narasi sengaja memilih teks itu untuk mengecoh atau menggiring publik agar memperdebatkannya.
Saya sendiri, menanggapi soal narasi klepon dengan santuy. Kenapa, karena saya tidak mau terjebak dengan narasi yang dibangun oleh si pembuat narasi klepon. Kok begitu...ayolah, coba kita berpikir lebih jernih soal itu. Jelas sekali, narasi itu sudah disetting sedemikian rupa, dari pemilihan kata dan kira-kira akan seperti apa opini tanggapan yang akan berkembang.Â
Baiklah, supaya tidak bertele-tele, saya akan uraikan, kenapa saya tidak mau terjebak dalam narasi klepon yang sengaja dirancang si pembuat narasi. Begini, coba perhatikan teks "Klepon yang tidak islami". Secara teks, kita akan terjebak, seolah-olah kue klepon itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal secara konteks, mari kita kaji seksama, apakah memang ada aturan atau ajaran Islam itu mengatur soal bagaimana membuat dan menghidangkan kue klepon itu? Gak ada khan. Nah klo gak ada, apakah berarti tidak Islami. Nah konteks ini yang menjadi jebakan batman. Ya, makanya kita santuy aja soal itu. Â
Kalau mau sedikit berbelit-belit, ngutak atik isi kepala, ayo kita lihat...Si pembuat narasi klepon juga khan tidak secara konkret mengungkap bagaimana konsep atau pandangannya soal klepon tidak Islami. Iya khan? Baik, sekarang bagaimana kalau kita hubungkan konteksnya dengan soal tradisi kue klepon. Artinya konteksnya dengan budaya di Nusantara. Saya tidak terlalu paham dengan tradisi dan budaya soal klepon. Tapi saya akan ceritakan pengalaman saya sebagai seorang yang lahir dari tradisi dan budaya orang Jawa.Â
Sepanjang yang pernah saya alami, kue klepon biasanya dan saya sendiri pernah lakukan, dihidangkan saat kita akan memasuki rumah baru atau pindah rumah. Suatu ketika, saya mau masuk rumah kontrakan saya yang baru di lingkungan permukiman muslim di Ambon. Waktu itu saya  dianjurkan untuk berdoa bersama dan menyediakan kue klepon. Waktu itu, tidak ada pikiran saya bertanya atau menghubungkan antara pindah rumah dan doa bersama dengan urusan klepon. Klepon dihidangkan, ya semata-mata karena untuk hidangan tamu yang ikut berdoa bersama sembari minum kopi atau teh, sambil bercengkrama selepas berdoa bersama. Itu saja pikiran saya.  Apakah yang dimaksud si pembuat narasi klepon itu dalam konteks soal yang saya ceritakan tadi? Nah ini yang saya maksud jebakan batman.Â
Konteks dalam narasi si pembuat narasi klepon itu tidak jelas. Kalaupun yang dimaksudkan konteksnya seperti soal akomodasi tradisi dan budaya. Apa urusannya dengan klepon tidak Islami. Teksnya tidak menerjemahkan konteks sama sekali. Jadi santuy lah, jangan terbawa jebakan batman si pembuat narasi itu.Â
Baiklah...sekarang coba kita tanggapi secara agak lebih serius dalam kacamata ilmu bahasa dan budaya. Makna teks, kita lihatnya secara heurmenetik. Waah, saya takut kalau bahas pakai cara pandang heurmenetik. Sudah pasti saya tidak paham, kecuali hanya tahu, bahwa heurmenetik itu sebagai teori interpretasi makna teks. Okelah, saya akan terjemahkan secara sederhana saja soal heurmenetik sebagai pendekatan interpretasi atau manafsirkan makna teks. Narasi klepon tidak Islami, makna teksnya seperti apa? Maaf sulit sekali kalau saya terjemahkan soal ini, karena menerjemahkan teks, seperti itu mencoba mengorek isi kepala si pembuat atau penulis teks. Benar-benar Belantara Kata. Sudahlah, sementara kita tinggalkan saja soal menafsirkan teksnya dari si pembuat narasi klepon secara heurmenetik. Saya tidak sanggup menjelaskannya.Â
Sekarang coba, saya terjemahkan saja secara arkeologi. Kalau saya andaikan klepon itu benda, yang memang benda. saya deskripsikan secara sederhana, benda itu terdiri bagian luar, serutan kelapa, terus bagian inti atau utamanya bagian yang berbentuk bulat sebesar biji bakso, terbuat dari tepung beras dan berasa kenyal, lalu bagian dalamnya terdapat gula merah atau aren. Deskripsi bendanya secara singkat seperti itu. Kita telisik lagi makna budaya dari struktur benda dari klepon. Semua terbuat dari bahan yang halal, dalam kacamata agama Islam. Jadi kalau dimakan, tidak masalah atau tidak melanggar aturan. Jadi dalam konteks ini klepon baik-baik saja, sangat bisa dimakan. Lalu, si pembuat narasi klepon, mengatakan bahwa klepon tidak Islami, dalam konteks apa? Menurut saya tidak usah ditanggapi dengan serius. Saya sendiri menolak terjebak klepon. Dengan penjelasan isi kepala yang sudah saya tuliskan di atas.Â