Perjalanan ke sebuah pulau kecil dan terpencil di sebalah selatan Pulau Kei Kecil Maluku Tenggara, terasa amat jauh. Saya yakin, jangankan pulau kecil terpencil di selatan Pulau Kei, Maluku Tenggara, Pulau Kei Kecil-nya saja, mungkin banyak orang juga belum kenal. Kalau saya sebut Kota Tual, di Maluku Tenggara, mungkin baru banyak yang paham.Â
Nah, perjalanan saya dan tim ke pulau kecil bagian selatan, Kota Tual di Pulau Kei Kecil adalah, perjalanan yang cukup menantang. Pulau itu dikenal dengan nama Pulau Tayando. Jika dilihat di peta Indonesia, dengan skala yang standar, sepertinya pulau itu tidak akan tampak di peta.Â
Kalau melihatnya di peta khusus Maluku, Pulau Tayando, tampak sangt kecil di tengah laut, yang menghubungkan antara wilayah perairan di Maluku bagian tenggara, dengan wilayah Nusa Tenggara Timur.Â
Bisa dibayangkan bagaimana jauhnya bukan. Jika dari Kota Tual, Pulau Kei, maka letak Pulau Tayando, berada di sebelah barat agak ke selatannya. Namun jika melihatnya secara keseluruhan wilayah Maluku, pulau ini terletak di bagian timur tenggara.Â
Maka jika melihat secara keseluruhan dari wilayah Indonesia, maka pulau ini berada di ujung timur Nusantara, meskipun letaknya di bagian barat daratan Pulau Papua. Sebutan ini karena saking jauh dan terpencilnya Pulau Tayando ini.Â
Sebelumnya, kita tidak pernah bayangkan, bahwa di pulau kecil dan terpencil itu, ada jejak peradaban masa lampau yang masih misterius. Sebuah kampung kuno, yang berkembang pada abad 17M, saat pengaruh Islam pertama kalinya masuk ke wilayah itu. Namun tidak seberapa lama, pengaruh kolonial awal Portugis dan diikuti Belanda juga masuk ke wilayah itu.Â
Pulau terpencil itu, dulu menjadi salah satu rantai perdagangan, yang menghubungkan wilayah Kepulauan Maluku bagian tenggara, dengan wilayah Papua di sebelah timurnya. Juga menghbungkan antara wilayah-wilayah Kepulauan Sunda Kecil, Bali dan Jawa melalui jalur laut sebelah selatannya.
Pulau itu juga menjadi salah satu pintu masuk perdagangan, dengan wilayah Pulau Banda dan Maluku Tengah, di sebelah baratnya. Juga dengan pusat kekuasaan Islam masa itu, yakni Ternate dan Tidore.Â
Di kalangan peneliti dan arkeolog, sepertinya saya dan tim adalah yang pertama kali, berkesempatan mengunjungi kampung kuno dan menelitinya. Tentu menjadi prestise sendiri, karena selama ini tampaknya Kampung Kuno itu menjadi misteri yang tidak banyak diketahui oleh para arkeolog. Kampung kuno itu juga sepi dari publikasi. Selain tentu juga sepi dari kegiatan-kegiatan riset.Â
Perjalanan ke Pulau Tayando, dimana Kampung kuno itu berada, menjadi tantangan sendiri. Dari kota Tual menuju Pulau Tayando, hanya ada kapal feri, yang berlayar tak tentu waktu.
Jika beruntung, kita bisa menyebrang kesana dengan kapal perintis, yang tidak punya jadwal tetap. Maka, bisa dibayangkan juga khan, bagaimana sekembalinya dari Pulau Tayando itu. Beruntung wilayah Pulau Tayando, itu sekarang menjadi kecamatan dan ada sekitar lima desa di Pulau itu.Â