Hiruk pikuk pesta Demokrasi telah dimulai lagi. Event lima tahunan yang menelan anggaran biaya milyaran rupiah, kembali menyita perhatian semua komponen bangsa. dimulai dari Pemilihan Gubernur, Walikota, Bupati, sampai dengan Presiden. Sebagai sebuah komponen bangsa, Umat Islam bangsa Indonesia juga ikut ambil bagian didalamnya. Kehadiranya diwakili oleh beberapa Partai Islam yang ikut ambil bagian dalam tata kelola bangsa melalui sistem demokrasi-nya. Seolah tidak ada kata jera dengan pengalaman dan evaluasi hasil Pesta Demokrasi tahun lalu, Umat islam masih saja memiliki Harapan, akan lahir melalui pesta demokrasi tahun ini, seorang Pemimpin yang Amanah, Jujur, Adil, dan Peduli dengan urusan penegakan Syariat Islam di Negara Indonesia.
Sejarah Politik Umat islam dan Demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah berjalan cukup panjang. Bahkan sejak sebelum bangsa indonesia lahir di tahun 1945. Perkumpulan Syarekat islam (SI) telah mengawalinya. Akan tetapi kemudian, kegagalan-kegagalan secara beruntun menghiasi perjalanan sejarah ini. Sekedar melawan lupa, mungkin kita semua masih ingat dengan fenomena “POROS TENGAH” di tahun 1999 s/d 2001-an dengan tokoh sentral Prof. Dr. Amien Rais (Ketua MPR) dan juga tokoh utama salah satu organisasi islam (Muhammadiyah) di Indonesia. Banyak orang menilai POROS TENGAH adalah salah satu puncak prestasi politik umat islam, dengan keberhasilanya menaikan KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seorang Tokoh Organisasi islam terkemuka (Nahdatul Ulama/NU) di Indonesia sebagai Presiden. Akan tetapi dikemudian hari, keberhasilan ini tidaklah berarti apa-apa, bahkan seolah menjadi musibah bagi umat islam Indonesia. Kenapa bisa begitu, adakah yang salah ??
Fenomena menarik ditahun ini, adalah hadirnya sosok calon pemimpin daerah dari kalangan non muslim. Setelah beberapa periode sebelumnya para Politikus Partai Islam dibuat “keki” dengan calon Presiden dari kalangan Wanita. Dalam beberapa hal, Fenomena ini “MENGUNTUNGKAN” bagi Partai Islam. Mereka para Politikus Muslim bisa menjadikan hal ini sebagai “magnet” untuk meraih simpati masyarakat muslim seluas-luasnya. maka tak heran slogan semisal “HARAM PEMIMPIN KAFIR” banyak dijadikan sebagai isue hangat dalam kampanye-kampanye Partai Islam. Dan memang isu/tema Agama seringkali dijadikan sebuah “komoditi” dalam kampanye-kampanye Partai Islam. Ayat-ayat Qur’an dan Hadist Nabi diambil sebagai dalil dan landasan untuk mendukung langkah politiknya.
Ada satu kesimpulan lucu dan menggemaskan yang digagas oleh beberapa sahabat yang memilih jalur Demokrasi sebagai jalan Perjuangannya untuk IQOMATUDDIEN, Bahwa hikmah adanya calon Gubernur KAFIR adalah umat islam bisa “BERSATU”. Untuk selanjutnya kesimpulan ini digunakan untuk menyerang orang-orang islam yang tidak mau memberikan dukungan kepada calon gubernur muslim dengan tuduhan tidak peduli dengan problem umat islam, sampai dengan tuduhan extrim sebagai pengkhianat umat. Benarkah demikian ?? Terus kalau ada 2 calon gubernur Muslim, mesti milih yang mana? mari kita melihat persoalan ini dengan pikiran yang jernih, hati yang jujur serta hanya berharap keridhoanNya.
Islam sebagai sebuah sistem, Ia berdiri diatas prinsip dasar TAUHID. Yaitu menolak segala sesuatu yang datang dari hasil olah pikir manusia (Ro’yu), untuk kemudian menerima seutuhnya segala sesuatu yang berasal dari Allah (Wahyu). Maka adalah sesuatu yang aneh, jika umat islam mencoba untuk memadukan antara sistem Islam dengan sistem Demokrasi untuk menata kelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang pastinya akan ada benturan prinsip, yang tidak mungkin bisa dibuat kompromi, kecuali dengan mengorbankan prinsip-prinsip islam. Di titik inilah Umat Islam akan selamanya menjadi pecundang kalau tidak segera menentukan sikap yang tepat.
Sebagai satu contoh kasus, Bagaimana status pencalonan GUBERNUR NON MUSLIM hari ini ? kalau dilihat dari kacamata Demokrasi sebagai sistem, sangat jelas, bahwa pencalonan AHOK adalah sah menurut aturan sistem Demokrasi. Kecuali ada undang-undang yang menyebutkan bahwa calon Gubernur haruslah seorang yang beragama Islam. Akan tetapi kalau dilihat dari aturan Islam, pastinya, ada larangan mutlak dari Allah SWT untuk mengambil orang-orang NON MUSLIM sebagai Pemimpin, Penolong dan Teman dekat. Lantas bagaimana solusinya? Itulah mengapa Allah melarang umat islam untuk berislam setengah-setengah, tanggung dan talbis. Hati-hati, Ini adalah karakter orang-orang munafik. Mungkin Umat islam sedang tidak sadar. Atau mungkin tidak mengetahuinya, tapi begitulah, kebenaran mesti diungkap. Penjelasan mesti disampaikan dengan sejelas-jelasnya. Untuk kemudian silahkan mengambil sikap.
Islam sebagai sebuah “dien” telah Allah maklumkan kesempurnaanya. Maka mustahil tidak ada solusi yang Allah berikan untuk kondisi hari ini, jika memang umat islam benar-benar menginginkan kesejahteraan lahir bathin melalui penerapan aturan Allah. Bahkan insyaallah, ini menjadi solusi atas problematika bangsa Indonesia secara umum. Umat Islam harus memiliki keberanian untuk menyatakan ketidak-setujuannya dengan sistem bukan islam. Untuk kemudian, dengan hati legowo, semata-mata berharap ridho Allah, Umat islam kembali kepada sistem islam itu sendiri yaitu kekhalifahan kaum Muslimin (Khilafatul Muslimin) dengan kholifahnya.
Dengan Umat islam menarik diri dari kancah pesta demokrasi, penulis memiliki keyakinan, hasil dari Pemilu dan Pilkada, tidak lagi memiliki legitimasi dari rakyat, sebab sebagian besar rakyat (umat Islam) tidak berpartisipasi di dalamnya. Selanjutnya setelah tidak legitimate, ya tinggal ganti dengan sistem islam. Insyaallah mudah. Wallahu’alam
Wuri Handoyo
Amir Wilayah Khilafatul Muslimin – Bekasi Raya
wuri.handoyo@gmail.com - 081380770389