Mohon tunggu...
Wulan Lukitasari
Wulan Lukitasari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari'ah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Hukum Marx Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart)

29 Oktober 2024   11:04 Diperbarui: 29 Oktober 2024   11:11 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama : Wulan Lukitasari

Nim : 232111067 / HES 5C

Max Weber

Teori Tindakan Sosial:

Weber mengembangkan konsep tindakan sosial yang berfokus pada makna subjektif yang diberikan individu terhadap tindakan mereka.

Tindakan sosial dibedakan menjadi empat tipe: tindakan rasional berdasarkan tujuan, tindakan rasional berdasarkan nilai, tindakan afektif, dan tindakan tradisional.

Birokrasi:

Weber mengidentifikasi birokrasi sebagai bentuk organisasi yang paling efisien dalam masyarakat modern.

Ia menekankan pentingnya struktur hierarkis, aturan yang jelas, dan pembagian kerja dalam birokrasi.

Konsep "Verstehen":Weber memperkenalkan metode "verstehen" (pemahaman) dalam ilmu sosial, yang menekankan pentingnya memahami perspektif individu dalam konteks sosial mereka.

Etika Protestan dan Spiritualitas Kapitalisme:D alam karyanya "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism", Weber menghubungkan etika kerja Protestan dengan perkembangan kapitalisme di Eropa.

Ia berargumen bahwa nilai-nilai Protestan, seperti disiplin dan kerja keras, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

H.L.A. Hart

Teori Positivisme Hukum:

Hart adalah salah satu tokoh utama dalam positivisme hukum, yang menekankan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang ditetapkan oleh masyarakat dan tidak bergantung pada moralitas.

Konsep Hukum:

Dalam karyanya "The Concept of Law", Hart mengkritik pandangan John Austin yang menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa. Ia membedakan antara peraturan primer (yang mengatur perilaku) dan peraturan sekunder (yang mengatur cara pembuatan dan penegakan peraturan primer).

Peraturan Sekunder:

Hart membagi peraturan sekunder menjadi tiga kategori

1. Peraturan Pengakuan: Menentukan apa yang dianggap sebagai hukum dalam masyarakat.

2. Peraturan Perubahan: Mengatur proses pembuatan dan pengubahan hukum.

3. Peraturan Adjudikasi: Menetapkan prosedur untuk menyelesaikan sengketa hukum.

Kritik terhadap Teori Hukum Tradisional:

Hart menolak pandangan bahwa hukum hanya terdiri dari perintah yang diancam dengan sanksi, dan menekankan pentingnya pemahaman tentang struktur dan fungsi hukum dalam masyarakat.

Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart tetap sangat relevan di masa sekarang. Weber, dengan konsep rasionalisasi hukum dan tipologi otoritas, membantu kita memahami bagaimana hukum modern berfungsi sebagai sistem yang terstruktur dan efisien dalam masyarakat yang kompleks. Sistem hukum saat ini sering mengedepankan otoritas rasional-legal, yang memungkinkan hukum diterapkan secara konsisten dan objektif, meskipun tantangannya adalah menyeimbangkan aspek-aspek tradisional dan nilai-nilai lokal.

Sementara itu, Hart, dengan teori aturan primer dan sekunder, memberikan kerangka untuk melihat hukum sebagai sistem aturan yang lebih fleksibel dan responsif. Ini penting dalam konteks sekarang, karena hukum perlu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang cepat. Aturan sekunder memfasilitasi adaptasi hukum dengan mengatur bagaimana aturan dapat diperbarui, sehingga memungkinkan hukum tetap relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern.

Contoh Permasalahan

Analisis perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia melalui perspektif Mark Weber dan H.L.A. Hart memungkinkan kita memahami aspek sosiologis dan normatif hukum dalam konteks syariah.

1. Mark Weber -- Rasionalitas dan Tipologi Otoritas:

Weber melihat hukum dalam kerangka rasionalisasi masyarakat yang dibentuk oleh otoritas tertentu. Dalam pandangan Weber, ada tiga bentuk otoritas: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia dapat dianalisis melalui lensa otoritas tradisional dan rasional-legal.

Otoritas Tradisional: Dalam konteks ini, hukum syariah didukung oleh kepercayaan dan nilai-nilai Islam yang sudah lama diterima di masyarakat Indonesia, khususnya pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki ikatan kuat dengan norma agama.

Otoritas Rasional-Legal: Dalam era modern, hukum ekonomi syariah mulai diintegrasikan dalam sistem hukum nasional Indonesia. Hal ini terlihat dari berbagai regulasi formal, seperti UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, di mana aturan ini menjadi dasar hukum untuk transaksi ekonomi syariah dalam institusi yang diakui secara hukum. Rasionalisasi hukum ini menunjukkan bahwa hukum syariah, yang awalnya hanya diakui dalam lingkungan tradisional, telah diadopsi menjadi bagian dari sistem hukum formal di Indonesia.

Dengan pendekatan Weber, perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia menunjukkan adanya proses rasionalisasi, di mana aturan syariah diakui dan diadaptasi menjadi bagian dari kerangka hukum negara dengan legitimasi otoritas rasional-legal.


2. H.L.A. Hart -- Konsep Hukum sebagai Sistem Aturan:

Hart membedakan antara aturan primer (primary rules) dan aturan sekunder (secondary rules). Aturan primer adalah aturan yang langsung mengatur perilaku individu, sementara aturan sekunder mengatur bagaimana aturan primer dibuat, diubah, atau diterapkan.

Aturan Primer dalam Hukum Ekonomi Syariah: Dalam konteks hukum ekonomi syariah, aturan primer terdiri dari norma dan prinsip syariah yang mengatur transaksi ekonomi, seperti larangan riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi). Aturan ini mencerminkan prinsip dasar ekonomi Islam yang mempengaruhi praktik-praktik perbankan syariah, investasi, dan kontrak dalam hukum syariah.

Aturan Sekunder dalam Sistem Hukum Indonesia: Indonesia telah mengadopsi berbagai aturan sekunder yang mengakui dan memfasilitasi penerapan hukum ekonomi syariah, seperti pembentukan pengadilan khusus agama yang menangani kasus-kasus ekonomi syariah dan peraturan mengenai kepatuhan syariah dalam lembaga keuangan. Aturan sekunder ini menciptakan infrastruktur hukum yang memungkinkan hukum syariah untuk diterapkan secara sah dalam sistem hukum nasional.

Dengan pendekatan Hart, kita dapat memahami bahwa sistem hukum Indonesia, yang awalnya bersifat sekuler, telah mengakomodasi hukum syariah dengan memberikan aturan sekunder yang memungkinkan pengadopsian hukum ekonomi syariah dalam kerangka hukum formal. Perkembangan ini menunjukkan fleksibilitas sistem hukum Indonesia dalam merespons kebutuhan masyarakat terhadap aturan ekonomi yang berdasarkan prinsip syariah.

Kesimpulan

Melalui pendekatan Weber dan Hart, kita dapat melihat bahwa perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia menunjukkan proses rasionalisasi dan integrasi hukum syariah ke dalam sistem hukum nasional. Hukum syariah diakui sebagai bagian dari sistem legal yang sah dan memiliki aturan pendukung untuk mengatur penerapannya dalam ranah ekonomi. Proses ini mencerminkan dinamika antara tradisi dan modernitas, serta respons negara terhadap kebutuhan masyarakat yang menginginkan keberpihakan pada prinsip-prinsip ekonomi Islam.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun