Nama : Wulan LukitasariÂ
NIMÂ Â : 232111067 / HES 5CÂ
Kasus hukum yang relevan adalah pelanggaran lalu lintas, seperti mengemudi dalam keadaan mabuk. Dari perspektif positivisme hukum, kita melihat bahwa hukum yang mengatur lalu lintas, termasuk larangan mengemudi dalam keadaan mabuk, adalah produk legislatif yang sah.
Analisisnya menunjukkan bahwa pelanggar harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tanpa mempertimbangkan pertimbangan moral atau etika di luar hukum tersebut. Positivisme menekankan bahwa kepatuhan pada prosedur hukum adalah penting untuk menjaga ketertiban masyarakat. Dalam hal ini, penerapan hukum yang konsisten dan transparan mencerminkan prinsip positivisme, di mana hukum dianggap sebagai norma yang harus dipatuhi oleh semua individu, tanpa kecuali.
Mazhab hukum positivisme adalah aliran dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum hanya terdiri dari peraturan yang ditetapkan oleh otoritas resmi, terpisah dari moralitas, nilai-nilai sosial dan berpandangan bahwa hukum adalah perintah yang berdaulat dan tidak berkaitan dengan moral, etika, dan keadilan. Positivisme hukum berfokus pada hukum sebagai "perintah" yang harus dipatuhi, tanpa mempertimbangkan apakah hukum tersebut baik atau buruk. Aliran ini mengabaikan spekulasi metafisik dan menekankan data empiris sebagai dasar pengetahuan. Dalam pandangan ini, keadilan dianggap formal dan prosedural, bukan substansial.
Mazhab hukum positivisme dalam konteks hukum di Indonesia memiliki beberapa argumen penting:
1. Sumber Hukum yang Jelas: Positivisme menekankan bahwa hukum berasal dari sumber yang jelas dan sah, seperti undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Di Indonesia, UUD 1945 dan berbagai undang-undang yang ditetapkan menjadi pedoman hukum yang konkret.
2. Kepastian Hukum: Pendekatan positivis memberikan kepastian hukum, karena setiap individu dapat mengetahui norma yang berlaku dan konsekuensi dari pelanggaran. Ini penting dalam konteks hukum di Indonesia untuk menjaga stabilitas sosial.
3. Netralitas Moral: Positivisme memisahkan hukum dari moralitas, berargumen bahwa hukum harus ditegakkan sesuai aturan yang ada, tanpa campur tangan nilai-nilai pribadi atau moral. Hal ini bisa menjadi tantangan dalam konteks Indonesia yang kaya akan pluralisme budaya dan agama.
4. Penegakan Hukum yang Konsisten: Positivisme mendorong penegakan hukum yang konsisten, yang berarti semua pelanggar hukum harus diproses sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, tanpa diskriminasi. Ini penting untuk menegakkan keadilan.
5. Kritik terhadap Realitas: Meski memberikan kepastian, pendekatan positivis sering dikritik karena kadang-kadang mengabaikan aspek keadilan sosial dan kebutuhan untuk mengadaptasi hukum terhadap perubahan masyarakat. Di Indonesia, perdebatan sering muncul tentang hukum yang dianggap tidak lagi relevan atau adil.