Mohon tunggu...
Wulan setyawati
Wulan setyawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik STIA LAN Jakarta

saya Mahasiswa Politeknik STIA LAN Jakarta Prodi Administrasi Pembangunan Negara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membangun Ekonomi melalui Ekspor Pasir Laut: Harapan atau Mimpi Buruk Lingkungan?

3 Oktober 2024   09:00 Diperbarui: 3 Oktober 2024   09:03 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada 15 Mei 2023, membuka kembali ekspor pasir laut setelah dilarang selama dua puluh tahun. Tujuan kebijakan ini adalah untuk memanfaatkan hasil sedimentasi laut untuk pembangunan dan reklamasi. Namun demikian, banyak perselisihan telah terjadi mengenai keputusan ini, terutama mengenai konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya bagi lingkungan.

Sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, ekspor pasir laut ini telah dilarang karena telah terbukti merusak ekosistem pesisir dan menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Penambangan pasir laut yang dilakukan secara besar-besaran untuk memenuhi permintaan di luar negeri, terutama Singapura, dan telah menyebabkan kerusakan besar terhadap wilayah perairan Indonesia. Untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan infrastruktur nasional, pemerintah mengatur kembali pemanfaatan pasir laut dengan menerbitkan PP Nomor 26 Tahun 2023.

Kekhawatiran tentang dampak lingkungan yang signifikan muncul sebagai akibat dari pembukaan kembali ekspor pasir laut. Penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem pesisir, membuat perairan lebih kotor, dan membuat terumbu karang dalam bahaya. Hal ini menunjukkan bahwa penambangan pasir laut dapat mempercepat abrasi pantai dan intrusi air laut, berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir dan keberlangsungan ekosistem laut. 

Penambangan pasir laut yang tidak terkendali juga dapat mengubah kontur dasar laut serta pola arus dan gelombang laut. Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan yang cukup signifikan pada struktur pesisir, seperti penurunan garis pantai. Selain itu, para nelayan yang bergantung pada sumber daya laut akan mengalami dampak langsung dari penambangan tersebut. Kerugian habitat juga dapat mengancam mata pencaharian ikan, yang dapat mengakibatkan kekurangan pasokan ikan lokal, sehingga dari terancamnya mata pencaharian ikan tersebut dapat mengakibatkan kurangnya pasokan ikan sebagai sumber pangan utama bagi masyarakat lokal.

Pemerintah mengklaim bahwa ekspor pasir laut dapat meningkatkan pendapatan negara dan membantu pembangunan infrastruktur. Namun, klaim ini dapat menyebabkan kerugian jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat kota kecil, jadi banyak masyarakat yang menentangnya. Sebagai pengamat Ekonomi dan Energi UGM, Dr. Fahmy Raddhi, M.B.A., berpendapat bahwa keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari eskpor tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Selain itu, akademisi dan aktivis lingkungan Pamekasan, Slaman, menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan ini. Diharapkan pemerintah dapat mengkaji kembali kebijakan tersebut, karena jika tidak kebijakan ini dapat memperburuk ketimpangan sosial di daerah pesisir dan hanya menguntungkan segelintir pengusaha daripada masyarakat luas.

Meskipun pemerintah akan melakukan pengawasan ketat dengan membentuk tim khusus nantinya, tapi hal tersebut masih menunjukkan bahwa pengawasan seringkali tidak efektif. Tidak adanya peraturan menyebabkan banyak penambangan illegal. Kebijakan ini dapat berdampak negativ pada masyarakat dan lingkungan jika tidak dikelola dengan benar. Banyak pihak sudut pandang politik ekonomi mempertanyakan transparansi proses pengambilan keputusan kebijakan ini. Keyakinan, publik terhadap pemerintah semakin berkurang karena adanya dugaan kepentingan bisnis di balik kebijakan tersebut.

Kebijakan pembukaan kembali ekspor pasir laut adalah langkah kontroversial yang menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa pengelolaan yang ketat dan transparan, langkah ini bisa berujung pada kerusakan lingkungan yang lebih parah dan konflik sosial di daerah pesisir. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini agar tidak merugikan generasi mendatang. Diperlukan dialog terbuka antara pemerintah, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek tetapi juga menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir Indonesia. 

Dengan demikian, pertanyaan besar tetap ada: Apakah kebijakan ini akan membawa harapan bagi pembangunan ekonomi atau justru menjadi mimpi buruk bagi lingkungan? Hasil dari kebijakan tersebut akan terlihat seiring dengan berjalannya waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun