Mohon tunggu...
Wulan Saroso
Wulan Saroso Mohon Tunggu... Lainnya - educator, mompreneur, sosio developer

istri dan ibu, pendidik informal, mompreneur, sosio developer suka membaca, menulis, bikin kue, berbagi ilmu

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bapakku Bisa Sulap

12 November 2021   17:13 Diperbarui: 12 November 2021   17:28 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Paling kuingat kisah menyenangkan dengan bapak, ketika beliau menyulap sepotong kapur kecil menjadi uang koin 25 rupiah. Kala itu, di awal tahun 1980 an, aku yang masih mengawali sekolah dasar, uang 25 rupiah sangat besar nilainya. Maish terbayang saat itu, tawa bapak kegirangan melihat mata luguku yang berbinar-binar menyaksikan sepotong kapur bisa berubah menjadi uang. 

Seketika pula awan demi awan lintasan pikiran bermunculan di kepalaku, wah bisa kaya kalo aku ngumpulin kapur gak kepake dari kelas trus jadi uang 25 rupiah. Ho ho… begitu sedehananya cara berpikir anak sekolah dasar.

Bapak orang yang jarang bicara dengan anak-anak. Disebut pendiam juga tidak. Karena kalau sudah bicara, akan bisa panjang lebar ngalor ngidul juga. Kurang lebih sama sepertiku. Pada umumnya orang yang baru pertama kali bertemu denganku, menangkap kesan sombong atau pendiam. Mungkin turunan -bukan tanjakan- dari bapak.

Bapak sering bekerja ke luar kota. Jadi jarang berada secara fisik di tengah keluarga. Ibuku empat kali melahirkan, tidak satu pun yang ditemani bapak saat melahirkan. Mungkin itu yang dinamakan jodoh, buat ibuku yang memang oke saja ketika tak didampingi saat melahirkan.

Jadi ketika ada momen bercanda dengan bapak, masih bisa kuingat jelas bagaimana ekspresi beliau. Termasuk sulapan kapur menjadi koin 25 rupiah itu, beberapa kali beliau peragakan. Kadang aku yang meminta, lalu koinnya pun kukumpulkan. Hingga akhirnya aku tahu kalau itu hanya sulapan.

Cara bapak menyenangkan keluarga dengan mengajak makan-makan di luar. Bapak termasuk orang yang royal untuk ini. Juga royal memberi ke orang lain. Menurut beliau, kerja keras dapat penghasilan, ya untuk dihabiskan untuk senang-senang, untuk keluarga. Walaupun karena kerja keras itu juga, beliau sering tak hadir secara fisik di antara kami. Tapi itulah cara untuk menyenangkan keluarga, menurut beliau.

Masih terbayang wajah kegirangan bapak melihatku berbinar menatap koin 25 rupiah.

Masih juga teringat saat aku masih SD, bapak bilang, kamu jadi diplomat aja Lan, karena nilai bahasa Inggrisku kala itu sangat bagus. Waktu itu, di sekolahku sudah diajarkan bahasa Inggris, bukan kursus. Karena ucapan bapak itu, sampai SMP aku masih punya cita-cita jadi diplomat. Walaupun ternyata hanya cita-cita, tidak jadi diplomat minimal bisa diplomasi alias ngeles….

Masih juga teringat bapak yang tersenyum lebar ketika aku kuliah di teknik sipil, sama dengan jurusan bapak waktu kuliah. Dulu aku ingin bisa kuliah di kampus tempat bapak kuliah. Tapi ternyata taqdir berkata lain.

Dan bapaklah yang mengantarku ke rumah sakit saat melahirkan anak pertama, karena suami sedang terpisah ribuan kilometer. Bapak juga yang mengantarku pertama kali kontrol bayi pertamaku ke bidan.

Sebelum beliau wafat, aku ingat kami makan berdua di restoran soto kudus. Saat itu beliau sudah sakit kanker dan kami jalan berdua tengah mencari pengobatan. Perjalanan pulang, melihat di pinggir jalan ada restoran soto kudus beliau mengajak mampir dan terlihat sangat ingin menikmati. Walaupun kata beliau saat itu rasanya asin, mungkin efek sakit sehingga indera pengecapan jadi berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun