Mohon tunggu...
Wulan Purnama Sari
Wulan Purnama Sari Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang yang suka hujan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pujian Berlebihan Untuk Novel Karya ‘Dee’

29 Desember 2013   15:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:23 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Unik adalah kata yang tepat untuk Mbak Dee.

Bagi banyak orang, dia memberikan hal-hal yang tidak biasa berikut ulenan yang membuat mulut menganga ke dalam karyanya.  Buku-bukunya banyak menuai pujian dari para pembaca. Punya kesan yang kuat dan membekas. Label seperti ‘gaya penuturan tak biasa’ bahkan kata ‘futuristik’ juga disematkan ke seri buku Supernova karangannya.

Saya pribadi sangat tertarik karena kata ‘futuristik’ ini. Apa yang menjadi tema cerita dalam novel Dee? Apakah fiksi ilmiah tentang cerita yang berlatar nuansa kehidupan di masa depan? Atau cerita roman dengan bumbu potongan-potongan kerangka dari wawasan tertentu yang membuatnya manusiawi dan sentimentil namun aneh secara bersamaan karena ramuan sains, membuatnya menjadi roman yang muskil atau mujarad?

Mirip-mirip sih. Mirip sedikit. Tapi  Saya tidak seterkesan itu saat membaca novelnya.

Yang saya tangkap dari sang penulis filosofis ini adalah pernyataan sekaligus harapan sang penulis akan citra entitas dirinya yaitu dia adalah sosok unik yang barangkali ‘batu yang jatuh dari langit’. Ini keinginan dia yang paling mengganggu saat menikmati novelnya. Sering berteriak keras-keras “Saya punya hikmah dan interpretasi yang hebat soal ini”

Saya garuk-garuk kepala dengan gagasan Ruben dan Dimas soal  'sebuah tulisan yang akan menjembatani semua percabangan sains’. Status pendidikan dan pengetahuan kedua narator ini digambarkan dengan prestisius, apalagi Ruben. Ini seperti penguat rasa sintetis untuk menjaga minat pembaca saat mengikuti pembuatan ‘tulisan’ itu. Namun ini langsung longsor ke bawah karena si ‘tulisan’ yang juga menjadi cerita sentral ternyata tidak lebih dari sekumpulan analogi-analogi.

Ya, analogi.

Barang semacam itu tepatnya. Sama seperti orang mengumpamakan sayap pesawat dengan sayap burung karena kesamaan fungsi. Telapak tangan manusia dengan telapak tangan orangutan yang mirip, sama-sama berjari lima dan dekat kekerabatannya. Platipus yang seolah-olah ‘hewan khayalan’ berbadan hasil gabungan dari kaki selaput dan kepala bebek, badan anjing laut dan buntut berang-berang. Perputaran jam dan perputaran bumi mengelilingi matahari.

Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh tidak lebih dari deretan analogi yang dibuat oleh penulisnya. Dus, demonstrasi euforia sang penulis dalam ‘penyingkapan’ yang berhasil gilang-gemilang dia dapatkan.

Dalam seri pertama Supernova ini, Dee seolah-olah sedang kegirangan. Dia mengajak pembaca menengok isi buku seolah berkata, “Eh, lihat deh. Gue nemu keterangan tentang kucing Schrodinger yang bisa berada di antara dua keadaan, jadi bisa hidup sekaligus mati gitu. Persis banget ama si Fere yang lagi antara narik pelatuk pistol buat bunuh diri dan ga narik pelatuknya. Ya, ampun! Kok bisa mirip banget gitu ya!” lalu Dee berteriak histeris dan sadar bahwa dirinya mungkin akan bisa menemukan ‘kemiripan-kemiripan’ lainnya antara cerita bikinannya dengan banyak teori fisika lainnya.

Ada yang lucu di halaman Supernova di Wikipedia Bahasa Indonesia. Disitu disebut bahwa Supernova adalah novel fiksi ilmiah.  Saya kurang tahu definisi pasti fiksi ilmiah. Namun semua produk berlabel fiksi ilmiah baik itu novel, cerpen atau film memiliki sifat yang sama soal penautan keilmiahan ini, yakni sains mengambil peran secara langsung dalam cerita, bahkan menjadi subjek cerita itu sendiri. Sama seperti film Star Trek, Time Machine dan Slippery. Supernova bukanlah sebuah karya fiksi ilmiah karena segenap teori fisika hanyalah tempelan, bukan bagian langsung dalam plot. Cerita seutuhnya dari Supernova” Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh adalah roman cinta segitiga dan perselingkuhan dengan sepasang laki-laki homoseksual yang menjadi karakter sampingan dan narator. Sekali lagi, Cuma tempelan.

Dari novel ini terlihat akan ada suatu kualitas tertentu yang menjadi cap air Dee sebagai penulis untuk buku-buku seterusnya. Cerdas, filososfis, cenderung eklektik untuk menghasilkan ujung akhir yang tidak biasa.

Ini membuat cerita novelnya jadi terkatung-katung antara lurus dan ngawur. Tidak konsisten. Berkedalaman tapi anomali.

Sepasang homo, sang arsitek karakter kepanjangan tangan Dee (yang jelas sekali menjadi representasi euforia intelektual bengkok Dee yang sedang ‘bahagia’ dengan wawasan barunya) menjadikan Diva pelacur yang cerdas dan punya pikiran kompleks namun di samping itu juga  ‘bebas nilai’. Jadilah si Diva penceramah sok yang ngawur dengan buku-buku tebal yang mungkin pernah dia baca. Jual diri sambil ketus bicara soal teori ekonomi dan politik di sela-sela melayani klien. Dee mempertontonkan secara vulgar logika yang absurd namun masih tetap ingin mengkritisi nilai-nilai konvensional itu sendiri dengan logika konvensional pula! Ngakak..... Ini yang membuat Dee dengan ambisinya mesti repot-repot mendandani Diva kembali menjadi ‘lurus’ saat mengomentari kontes kecantikan anak. Karena tentu saja, orang yang cerdas dan kritis, termasuk Dee sebagai penulis, mesti punya opini yang bagus dan pedagogis’soal ini.

Dee itu unik dan filosofis.

Karena itu cerita saja tidak cukup untuk menjadi ‘unik’. Detail harus maju dan mengambil jatah sandiwara lebih besar, untuk menjadi gimmick. Karena itu Dee hampir selalu butuh elemen tambahan untuk novelnya.

Teori fisika berikut judul ala dongeng dan asosiasi judul dongeng itu kepada tiga tokoh menjadi trik untuk Supernova pertama. Di novel-novel selanjutnya silahkan cari sendiri apa gimmcik-nya

Demikian halnya dengan Partikel. Mikologi jadi elemen tambahannya. Tentu saja agar pembaca mengamini keabsahan keterangan-keterangan tentang mikologi ini, si sumber harus punya semacam legitimasi.  Ayah Zarah pun digambarkan sebagai pria ahli di bidang mikologi. Dee ingin menunjukkan keunikannya lagi. Dibuatlah keadaan tak biasa, si tokoh ini tidak disekolahkan di sekolah formal oleh si ayah.

Ini saja pendapat saya. Maaf ya, yang ngefans sama Dee...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun