Mohon tunggu...
Wulan Nurwulan
Wulan Nurwulan Mohon Tunggu... -

memanfaatkan waktu dengan menulis dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menggapai Pesona Curug Sanghyang Taraje

12 Januari 2016   16:15 Diperbarui: 12 Januari 2016   16:29 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liburan singkat pada akhir tahun terasa tak pernah cukup untuk berkumpul melepas kangen bersama keluarga terutama dengan ibunda tercinta. Ngobrol, nonton TV, kuliner, silaturahmi dengan tetangga dan keluarga lain, lalu kembali ke Bandung dan terjebak kemacetan, menjadi kegiatan utama kami di hari libur di kampung halaman seperti tahun-tahun sebelumnya. Kondisi itu terus dilakukan tiada bosannya demi memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarga tercinta.

Kali ini agak berbeda, biasanya selepas makan siang dan berkuliner kami kembali ke rumah untuk istirahat dan melakukan kegiatan rumah, namun kali ini secara tiba-tiba ingin melakukan kegiatan outdoor menikmati kecantikan kota Garut tercinta. Pilihan kami adalah menuju Curug Sanghyang Taraje atau dikenal dengan Curug Taraje yang di masa remaja kami bahkan hingga saat ini tidak begitu populer, tetapi sudah mulai tersebar dibicarakan para petualang atau pencinta alam.

[caption caption="Pesona Curug Sanghyang Taraje"][/caption]

Perjalanan dimulai pukul 13.00 WIB dari Kota Kecamatan Tarogong dengan menggunakan dua kendaraan pribadi yang menurut kami mampu mencapai tujuan. Awal perjalanan sampai ke Kota Kecamatan Pamulihan kondisi jalan mulus dan hanya sedikit kemacetan kami alami di daerah pasar tradisional dan tempat wisata lain yang kami lewati. Sepanjang jalan Kecamatan Pamulihan, mata kita dimanjakan dengan berbagai tanaman pertanian dan perkebunan teh yang hijau dan segar. Selanjutnya menuju Desa Pakenjeng jalan sudah tidak mulus lagi, setengahnya bagus dan setengahnya berlubang serta berbatu (Bhs. Sunda : garinjul ) tetapi perlahan-lahan masih bisa dilewati kendaraan city car serta tentu saja tidak lupa bertanya kepada masyarakat di setiap pertigaan jalan tentang arah yang benar menuju Curug Taraje. Pemandangan menuju Desa Pakenjeng tidak melulu perkebunan teh tetapi ada juga perkebunan karet, cengkeh, kopi bahkan ada kebun yang ditanami berbagai jenis tumbuhan. Walaupun demikian tetap terasa indah karena kita ada saatnya melewati sungai kecil yang jernih dan berbatu di sepanjang tepi kiri jalan, sedangkan di tepi kanan jalan mata kita disejukan dengan rembesan dan kucuran-kucuran air jernih yang keluar dari lubang-lubang tebing yang diselimuti tanaman-tanaman pakis yang tumbuh subur dan hijau menyegarkan udara.

[caption caption="Pelangi di Curug Sanghyang Taraje"]

[/caption]

Ketika tiba di pertigaan Desa Pakenjeng (setelah Sekolah Dasar Pakenjeng) pada pukul 15.00 WIB, kami harus memarkir kendaraan di halaman rumah penduduk setempat, karena menurut mereka jalan menuju lokasi sangat berbahaya untuk dilalui kendaraan kami. Kami ditawari naik pick up atau ojek, tapi kami akhirnya memilih mobil pick up yang mampu menampung kami semua sekaligus (12 orang) dengan ongkos Rp 100.000/mobil, sedangkan ongkos ojek Rp 10.000/motor.

“Allohu Akbar..!” itulah kata-kata yang keluar ketika melewati jalan menuju lokasi, diiringi teriakan takjub dan rasa was was anak-anak kami di setiap turunan jalan yang sangat curam, sempit dan melalui beberapa kelokan yang terbatasi dengan tebing tinggi di sisi kiri serta jurang yang dalam di sisi kanan jalan. Bersyukur saat itu tidak turun hujan bahkan mendung pun tidak, jadi kami sangat aman ber-pick up terbuka.

Setelah kurang lebih 2 KM, kami tiba di sebuah Pos kecil yang kotor tidak terawat dan dari situlah kita sudah bisa melihat sang curug atau air terjun meluncur dengan suara bergemuruh keras. Hanya sekitar 200 M dari Pos kami melewati jalan setapak yang berumput dan sedikit menurun menuju curug. Jalan setapak cukup aman dilalui dengan hanya beralas sandal jepit atau sepatu sandal biasa karena hari cerah. Tetapi jika hujan turun, harus berhati-hati karena jalan kecil menjadi licin sehingga perlu memakai sepatu kets yang aman dan nyaman.

Semakin dekat semakin jelaslah pemandangan indah air terjun kembar yang meluncur deras dan keras menghantam bumi hingga bergemuruh dan kemudian mengalirkan air jatuhan melalui parit kecil menuju lahan-lahan pertanian sekitarnya. Suasana saat itu tidak begitu banyak pengunjung meskipun hari libur dan hanya beberapa pasangan muda dan keluarga kecil yang nampak di lokasi, mungkin karena sudah sore atau karena keberadaannya kurang dikenal masyarakat. Kondisi sekitar air terjun nampak tidak terawat, tanaman perdu dan rumput-rumput tumbuh subur karena embun dan cipratan air terjun yang menurut masyarakat setempat tidak pernah surut meskipun musim kemarau. Sesekali muncul pelangi indah melengkung di sekitar air terjun ketika bulir-bulir cipratan air terjun tersinari cahaya matahari “subhanallah..indah sekali”. Ingin sekali rasanya menggapai sang pelangi, tetapi itu tidak mungkin karena selain kolam jatuhan air terjun yang nampak dalam dan keruh, sang pelangi terlukis untuk tak mudah dijamah di dinding tebing atas sekitar air terjun. Yang kami lakukan hanya jepret sana-sini ber-selfi ria dengan camera seadanya sekedar mengabadikan kenangan indah dan rasa syukur atas ciptaan Yang Maha Kuasa. Sangat disayangkan, lingkungan Curug Taraje belum secara optimal diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Garut.

Curug Sanghyang Taraje disebut juga sebagai Curug Kembar oleh masyarakat setempat karena dilihat dari jumlah dan bentuknya yaitu terdiri dari dua air terjun yang berdampingan dan membentuk seperti tangga atau dalam Bahasa Sunda disebut ‘taraje’. Konon dahulu kala tersebar cerita bahwa tangga tersebut digunakan Sangkuriang (legenda masyarakat Sunda) untuk mengambil bintang atas permintaan putri Dayang Sumbi yang kemudian disimpannya di atas sebuah batu besar yang berada tepat di bawah air terjun dan konon dijaga oleh belut raksasa. Sedangkan kata ‘Sanghyang’ kemungkinan ditambahkan oleh masyarakat karena pengaruh budaya Hindu sebagai bentuk penghormatan khusus kepada Sang Raja Sangkuriang yang memiliki kemuliaan dan kesaktian. Sesekali masyarakat setempat konon ada yang melihat belut raksasa sang penjaga dimaksud, bahkan di sekitar air terjun terdapat pula batu besar yang merupakan telapak kaki Sangkuriang. Beberapa batu besar memang nampak di sekitar lokasi, bahkan kami sempat berfoto di atasnya tetapi kami tidak yakin apakah itu batu yang dimaksud. Suasana di lokasi memang terasa agak mistis, mungkin selain karena legendanya juga karena lingkungan alamnya yang terasa sunyi sepi dan dingin. Suasana demikian akan segera hilang ketika pengunjung lebih ramai.

[caption caption="Bermain bersama pelangi di bawah curug"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun