Mohon tunggu...
wulanlailaturrohmah40123101
wulanlailaturrohmah40123101 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa yang mempunyai jhobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Impor Merajalela: Ancaman bagi Kedaulatan Ekonomi Indonesia

19 Desember 2024   15:06 Diperbarui: 19 Desember 2024   15:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah dan populasi besar, memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi mandiri. Namun, ketergantungan yang tinggi pada impor, terutama di sektor-sektor strategis seperti pangan, energi, dan manufaktur, telah menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan ekonomi Indonesia. Tingkat Impor di Indonesia pada tahun 2023 menurut Badan Pusat Statistik mencapai USD221.886,2 juta. terdiri dari impor migas USD35.830,5 juta dan nonmigas USD186.055,7 juta. Negara asal utama impor Indonesia antara lain Tiongkok USD62.880,9 juta (28,34 persen), Singapura USD18.409,6 juta (8,30 persen), dan Jepang USD16.516,9 juta (7,44 persen). Dari komposisinya impor didominasi oleh bahan baku senilai USD161.155,8 juta (72,63 persen), diikuti barang modal USD39.183,5 juta (17,66persen) dan barang konsumsi USD21.546,9 juta (9,71 persen).

Penyebab tingginya impor ini adalah ketergantungan terhadap teknologi dan barang modal yang belum sepenuhnya dapat diproduksi di dalam negeri. Banyak industri di Indonesia masih mengandalkan mesin dan peralatan dari luar negeri karena keterbatasan dalam teknologi dan kapasitas produksi lokal. Hal ini menciptakan kesenjangan antara kebutuhan industri dan kemampuan produksi domestik. Selain itu, faktor kualitas juga berperan penting. Banyak produsen lokal yang belum mampu memenuhi standar kualitas internasional, sehingga konsumen lebih memilih produk impor. Sebagai contoh, dalam sektor elektronik dan otomotif, produk luar negeri sering kali dianggap lebih unggul dari segi teknologi dan inovasi dibandingkan produk lokal.

Salah satu dampak utama dari tingginya tingkat impor adalah terjadinya defisit neraca perdagangan. Neraca perdagangan ialah suatu catatan atau ikhtisar yang merangkum semua transaksi ekspor dan transaksi impor suatu negara. Neraca perdagangan dikatakan defisit bila nilai ekspor yang lebih kecil dari impornya dan dikatakan surplus bila ekspor barang lebih besar dari impornya. Dan dikatakan neraca perdagangan yang berimbang jika nilai ekspor suatu negara sama dengan nilai impor yang dilakukan negara tersebut.(Maulana et al., 2021).  Ketika situasi ini berlangsung, negara akan mengalami tekanan pada cadangan devisa, yang dapat mengakibatkan depresiasi mata uang lokal. Depresiasi rupiah adalah penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Depresiasi ini membuat barang-barang impor menjadi semakin mahal, yang pada gilirannya dapat memicu inflasi. Kenaikan harga barang impor, terutama di sektor pangan, sangat berdampak pada daya beli masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor pangan, termasuk komoditas penting seperti beras dan gula, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun Indonesia memiliki potensi besar di sektor pertanian yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan domestik, ketergantungan pada produk impor tetap tinggi. Hal ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam kebijakan perdagangan dan pengembangan industri pertanian.

Ketergantungan pada impor tidak hanya memengaruhi neraca perdagangan, tetapi juga secara signifikan melemahkan industri lokal di Indonesia. Ketika barang-barang impor lebih murah dan lebih mudah diakses, produk lokal sering kali kalah bersaing dalam hal harga dan kualitas. Hal ini sangat berdampak pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Banyak UMKM menghadapi kesulitan besar karena mereka tidak mampu bersaing dengan produk impor yang sering kali disubsidi oleh negara asalnya. Sebagai contoh, sektor tekstil dan pakaian jadi Indonesia mengalami penurunan daya saing akibat membanjirnya produk tekstil impor dari China, yang memiliki harga lebih rendah dan kualitas yang menarik bagi konsumen. penurunan pangsa pasar produk lokal di sektor ini dapat mengakibatkan hilangnya lapangan kerja dan pendapatan bagi para pekerja lokal. Jika situasi ini dibiarkan terus berlanjut, Indonesia akan semakin kehilangan kemampuan produksi dan hanya menjadi pasar bagi produk asing. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengarah pada stagnasi ekonomi dan ketidakstabilan sosial, karena banyak pekerja yang kehilangan mata pencaharian mereka akibat penutupan industri lokal (Fizabillah et al., 2024).

Tingginya tingkat impor di Indonesia menimbulkan kerentanan ekonomi yang signifikan terhadap gejolak global. Ketika harga barang impor, seperti minyak mentah atau bahan baku industri, mengalami lonjakan akibat konflik internasional atau gangguan rantai pasok global, ekonomi domestik Indonesia turut terguncang. Ketergantungan yang tinggi pada impor energi, misalnya, telah memberikan tekanan besar pada keuangan negara karena subsidi bahan bakar yang terus membengkak. Menurut penelitian oleh Kementerian Keuangan, subsidi energi di Indonesia mencapai lebih dari Rp 100 triliun per tahun, hal tersebut menghambat upaya pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Ketika harga energi global meningkat, biaya subsidi ini akan meningkat pula, memaksa pemerintah untuk mengalihkan anggaran dari sektor-sektor penting lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, ketergantungan pada impor juga membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Sebagai contoh, ketika terjadi krisis minyak dunia, biaya impor energi melonjak tajam, menyebabkan inflasi dan merugikan daya beli masyarakat.

Ketergantungan impor menciptakan kerentanan ekonomi terhadap gejolak global yang dapat berdampak signifikan pada stabilitas keuangan negara. Contohnya, ketergantungan Indonesia pada impor energi, seperti minyak mentah dan gas alam, menyebabkan tekanan besar pada anggaran negara ketika harga energi internasional melonjak. Kenaikan harga ini tidak hanya meningkatkan biaya subsidi bahan bakar yang harus ditanggung pemerintah, tetapi juga mengalihkan anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial lainnya. Subsidi yang tinggi membebani keuangan negara dan menghambat upaya diversifikasi ekonomi yang diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor energi fosil. Selain itu, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memperburuk situasi ini; ketika rupiah melemah, biaya impor meningkat, yang berkontribusi pada inflasi domestik. Hal ini menciptakan siklus negatif di mana inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Ketergantungan Indonesia pada impor energi, terutama minyak dan gas, menjadi masalah yang semakin mendesak. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2023, total impor migas Indonesia mencapai sekitar Rp 546,59 triliun atau setara dengan US$ 35,83 miliar. Angka ini mencakup impor minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), dan gas, yang menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada pasokan energi dari luar negeri meskipun pemerintah telah berkomitmen untuk mencapai swasembada energi.

Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, telah menetapkan target ambisius untuk mencapai kemandirian energi. Salah satu kebijakan yang diusulkan adalah pengembangan industri energi terbarukan dan peningkatan produksi dalam negeri. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menekankan pentingnya membangun infrastruktur LPG domestik untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Rencana ini mencakup pemanfaatan potensi sumber daya lokal seperti propane dan butana.Namun, tantangan besar tetap ada. Saat ini, Indonesia masih mengalami defisit energi yang memaksa pemerintah untuk terus melakukan impor. Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan energi sepanjang tahun 2024, pemerintah berencana mengimpor 8 juta kiloliter LPG dengan anggaran sekitar Rp 93 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk mengurangi ketergantungan pada impor, realitas di lapangan masih menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan energi secara mandiri.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor. Namun, realisasinya masih menghadapi banyak tantangan. Beberapa kebijakan yang telah diterapkan seperti program pemerintah seperti Food Estate bertujuan untuk meningkatkan produksi lokal, terutama di sektor pertanian. Namun, pelaksanaannya masih jauh dari optimal karena minimnya teknologi modern, distribusi yang buruk, dan terbatasnya akses petani ke modal.

Dalam sektor energi, pemerintah telah memulai langkah untuk beralih ke energi terbarukan, seperti pengembangan bioenergi dan pembangkit listrik tenaga surya. Tetapi investasi di sektor ini masih kurang dibandingkan kebutuhan, sehingga ketergantungan pada impor migas tetap tinggi.  Pemerintah juga telah menerapkan kebijakan tarif impor untuk melindungi produk lokal. Namun, proteksi ini belum sepenuhnya efektif karena produk lokal sering kali kalah dalam hal kualitas dan harga dibandingkan produk impor. Sebagai tulang punggung ekonomi, UMKM telah mendapatkan berbagai dukungan pemerintah, seperti subsidi dan pelatihan. Namun, banyak UMKM yang masih kesulitan berkompetisi karena akses pasar yang terbatas dan rendahnya daya saing produk mereka.

Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk modernisasi alat pertanian, riset, dan pengembangan di sektor energi. Peningkatan efisiensi dalam produksi akan menekan kebutuhan impor dan meningkatkan daya saing produk lokal. Selain itu, pengembangan industri substitusi impor, seperti pabrik bahan baku farmasi dan energi alternatif, harus menjadi prioritas. Insentif investasi bagi sektor ini dapat menarik lebih banyak pelaku usaha untuk berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan domestik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun