Pada dasarnya manusia itu memiliki hak dan wewenang untuk menentukan cara berpikir dan bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun jangan sampai para pelaksana pelayanan publik menggunakan serta memanfaatkan hal tersebut dengan cara merampas dan menghambat hak-hak masyarakat kecil. Untuk mengantisipasi timbulnya hal-hal demikian, maka para pelaksana pelayanan publik diwajibkan untuk memiliki etika dalam proses pelayanan publik. Ensiklopedia Indonesia menyebutkan bahwa etika merupakan ilmu kesusilaan yang dapat menentukan bagaimana selayaknya manusia hidup dalam lingkungan masyarakat; apa yang baik atau apa yang buruk (Holilah, 2013). Menurut Pasolong dalam (Holilah, 2013) etika administrasi publik dalam lingkup pelayanan publik dapat dimaknai sebagai suatu filsafat dan profesional standar (kode etik) atau aturan berperilaku yang benar dan harus dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik.
Pada hakikatnya, seorang pejabat publik harus memiliki nilai etika yang wajib dipatuhi selama masih menjabat. Dalam hal tersebut, etika administrasi publik berperan sebagai suatu alat kontrol para administrator dan hal-hal yang terkait dengan tugas pokok, fungsi, serta kewenangannya. Salah satu etika administrasi yang harus dimiliki oleh seorang pejabat publik adalah sikap toleransi. Sikap toleransi merupakan sikap saling menghargai dan saling menghormati antar individu, kelompok, dan golongan.Â
Di balik sikap toleransi yang ada ternyata ada sikap yang bertentangan dengan sikap tersebut, sikap yang dimaksud bernama sikap intoleransi. Sikap intoleransi merupakan suatu tindakan maladministrasi, sebab intoleransi menghasilkan perbuatan-perbuatan yang tidak menjunjung tinggi adanya rasa saling menghormati dan hal ini bertentangan dengan etika administrasi publik yang ada.Â
Flippo (1983) dalam kumparan.com berpendapat bahwa maladministrasi atau sering disebut sebagai penyalahgunaan wewenang yang sering dilakukan oleh seorang pejabat publik maupun administrator berupa ketidakjujuran, perilaku yang buruk, melanggar peraturan perundang-undangan, perlakuan yang tidak adil terhadap bawahan, tidak menghormati kehendak pembuat peraturan perundangan, melakukan pelanggaran terhadap prosedur dan sebagainya.
Dari laman joglo.suara.com, Diketahui, Anne Ratna segel rumah ibadah di Desa Cigelam, Kecamatan Babakancikao, Purwakarta.
Anne Ratna Mustika sebagai Bupati Purwakarta atau seorang pejabat publik menurut etika administrasi telah melakukan perilaku yang buruk atau termasuk dalam maladministrasi, sebab telah melakukan penyegelan terhadap gereja yang merupakan tempat ibadah bagi umat  beragama Kristen. Hal itu mencerminkan sikap intoleransi terhadap jemaat GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) karena sudah menutup atau menyegel tempat ibadahnya dengan alasan bangunan tersebut tidak memiliki surat izin. Walaupun penutupan atau penyegelan bangunan itu bersifat sementara sampai semua proses perizinan terpenuhi, penutupan tersebut dilakukan tanpa adanya pemberitahuan resmi kepada pemilik tanah dan bangunan. Selain itu, dalam proses penyegelannya pun tidak mengikutsertakan perwakilan dari pihak Gereja. Dalam kasus ini, Bupati Anne juga telah melanggar Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam pasal ini disebutkan jika negara mewajibkan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk selalu menyediakan sarana dan prasarana ibadah bagi semua agama. Seharusnya Bupati Anne menyediakan sarana dan prasarana ibadah untuk umat GKPS dengan mempermudah perizinan IMB jika persyaratan pembangunannya belum terpenuhi.
Meskipun Bupati Anne memberikan solusi kepada jemaat GPKS agar dapat beribadah ke Gereja lain untuk sementara. Akan tetapi, solusi tersebut dinilai sangat menyedihkan apalagi penutupan tersebut mendekati perayaan hari paskah, karena tidak mudah menggabungkan atau memindahkan ibadah ke gereja lain, sebab secara tradisi memang sudah berbeda cara beribadahnya. Seharusnya, Bupati Anne memberikan kesempatan dan membiarkan jemaat untuk beribadah di gereja mereka sendiri sembari memberikan waktu untuk GKPS mengurus IMB.
Kesimpulan
Dari informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa selama ini pemerintah selalu saja bersikap gegabah dalam menangani permasalahan-permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Memang betul menggunakan bangunan tanpa izin untuk kegiatan apa pun merupakan tindakan yang salah dan penutupan atas bangunan tersebut merupakan salah satu tindakan yang harus diterapkan oleh pemerintah setempat. Akan tetapi, sebelum dilakukannya penyegelan tersebut, perlu adanya pertimbangan-pertimbangan lain yang memperhatikan dan memahami dengan seksama bagaimana kondisi dari masyarakat saat itu. Sikap pemerintah yang gegabah dalam mengambil suatu keputusan ini bisa berakibat pada timbulnya pelanggaran terhadap etika administrasi yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H