Mohon tunggu...
Wulandari Nurfitriani
Wulandari Nurfitriani Mohon Tunggu... -

Sembilan Belas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Sehangat Peluk dalam Langkahku

22 Desember 2013   09:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh Wulandari Nurfitriani(248)



Meskipun temaram sisimu selalu menyala terang

Meskipun sejuk membunuh sisimu selalu hangat membungkus

Dalam sepi aku merindumu

Berharap sangat akan dirimu

Coba meraup arti dirimu

Menyematkannya dalam jiwa teduh

Agar menjadi satu titik dimana aku tahu kau ada

Bersama langkahku... Ibu

“Ya Allah jika saja kelak dia besar, izinkan aku tetap menuntunnya meskipun tak banyak yang bisa ku lakukan. Ya Allah, ampuni semua dosanya karena hambaMu ini belum benar mendidiknya, belum benar menjalankan tugas sebagai seorang ibu yang baik. Ya Allah, hamba memang bukan ibu yang baik, tapi bantulah hambaMu ini mencapainya. Izinkan dia hidup bahagia ya Allah, izinkan dia menjadi anak yang berbakti, baik, taat beribadah, dan dermawan ya Allah. Hamba adalah orang pertama dan terakhir yang selalu ada untuk memeluknya dari segala kesulitan yang dia hadapi. Terima kasih atas rezeki yang telah Kau bagikan pada kami hingga kini, terima kasih karena telah membuatnya lahir sempurna Ya Allah. Terima kasih...”

Aku mendekap guling lebih kencang. Menahan tiap isakan yang rentan terdengar oleh ibuku. Selalu begitu. Jam yang sama dalam malam-malam yang berbeda, beliau bangun. Mengambil wudhu dan menjalankan sholat malamnya dan mengakhirinya dengan doa yang sama. Doa yang selalu membuatku tersadar bahwa aku punya wanita paling hebat di sisiku. Doa yang selalu menuntunku kembali saat aku sempat berpikir untuk meninggalkannya sendiri. Ya Allah dia ibu yang baik, izinkan dia bahagia Ya Allah..

Tiga belas tahun hidupku ku jalani bersamanya. Ada hari dimana aku bahagia masih memilikinya. Ada hari dimana aku ingin memeluknya lebih erat. Ada hari dimana kami menangis atau tertawa bersama. Ada juga hari dimana aku membencinya, menyesali akan hadirnya. Ada pula hari dimana aku ingin meninggalkannya sendiri, membuangnya dalam hidupku. Dan aku bersyukur hari mengerikan dimana aku ingin membuangnya itu tak pernah terjadi. Karena beliau benar. Selalu benar. Pelukannya saat aku terjebak dalam keputusasaanku membuatku tercerah sekaligus membuatku menyesali betapa buruknya diriku. Betapa tidak beruntungnya ibuku memiliki anak sepertiku.

Jelas ku ingat bagaimana hari itu pernah terjadi. Mataku sembap. Bahuku terkulai turun mendengar semua ejekan anak-anak di sekolahku akan kondisi ibuku. Betapa malangnya beliau dengan segala keterbatasannya yang hanya terlahir dengan kedua lengan yang tinggal setengahnya. Anak-anak di sekolahku yang mengetahui kondisi ibuku dengan tidak beradab menghinanya. Dan bodohnya aku kala itu yang ikut terpancing dengan sekitar. Diriku yang masih labil bukannya malah membela ibuku, aku malah pulang dengan sepuncak rasa marah dan penyesalan.

“Yaya sudah pulang, Nak? Masih ada nasi dengan tempe potong di atas meja. Makan dulu sana.” Ku dengar suara ibu begitu aku masuk ke dalam rumah.

Aku bergeming. Ibuku berhenti dari kerjanya memotong kayu dengan kedua kakinya sebai pengganti tangan.

“Kenapa?” tanyanya seraya berjalan mendekatiku. Rumah kami kecil saja. Kelewat kecil hingga hanya memiliki satu ruangan serbaguna.

Ibu tersenyum kepadaku. Butiran peluh ibu jatuh bersamaan dengan air mataku.

“Aku benci ibu! Aku ga mau lagi tinggal sama ibu cacat!”

Masih jelas terpeta di benakku bagaimana rupa ibu saat itu. Meskipun begitu aku tak sanggup membayangkan sakit hati yang luar biasa. Hanya ibu yang tahu bagaimana rasanya. Ibu juga yang hanya mampu menahan semuanya.

Aku pergi setelah berteriak seperti itu pada beliau.

Cukup lama aku berlari hingga akhirnya kuputuskan berhenti. Aku duduk. Diam. Dan merenung. Melintaslah sepiring nasi dengan potongan tempe di atas meja rumah kami tadi. Tangisku pecah. Bukan karena aku lapar. Bagaimana mungkin aku tega melukainya sementara dia mati-matian mengalah tidak makan demi aku. Bukannya aku tidak tahu kalau beliau sengaja tidak makan untuk aku. Bagaimana bisa aku sejahat itu. aku sama tidak beradabnya dengan mereka yang menghinanya.

Aku menangis. Aku tidak marah. Aku bahkan tidak pantas marah. Bukan salah ibu dia terlahir begitu. Bukan pula ingin ibu. Aku membenci diriku mulai saat itu!

Hujan turun. Seluruh tubuhku seketika kuyup. Langit yang tadinya sudah beranjak gelap, kini semakin gelap.

Aku tidak tahu mesti kemana. Aku tidak mau pulang. Aku malu pada ibu.

Kepalaku sakit. Tubuhku serasa akan melayang saking lemahnya. Lalu kuputuskan untuk beranjak menghindari hujan meski ku tahu ini terlambat. Begitu tubuhku menumpahkan bebannya pada kedua kakiku, ku rasa tubuhku lumer begitu saja.

Aku memejamkan mata begitu ku tahu aku akan terjerembab ke tanah yang keras. Tapi semua tidak terjadi. Ku rasakan tubuh empuk menopangku, dan hujan berhenti di sekitarku. Aku berbalik. Mendapati ibuku dengan wajah khawatir klimaks.

Ibuku mendudukkan aku kembali pada bangku yang tadinya ingin ku tinggali. Dia menggeser diri, membagi payung yang diselipkan susah payah di ketiaknya.

“Yaya tidak papa? Kenapa hujan-hujanan?” aku menunduk tak sanggup menatap wajah khawatirnya. Mendengar bisikannya saja membuatku sakit. Ku cengkeram rok biruku erat-erat, menahan air mata yang tak sanggup lagi berdiam diri. Kemudian, terlihatlah siku ibu yang menjadi ujung lengannya. Aku tergugu menatap bungkusan itu. Itu nasi yang sama dengan yang tadi.

“Ibu...”

Detik beikutnya aku telah menangis dalam pelukannya.

Ibuku selalu benar. Ibuku selalu menepati kata-katanya. Ibuku adalah ibu terhebat yang aku miliki. Ibu satu-satunya yang paling terhebat.

Memang benar ibuku tidak seperti ibu yang lain. Beliau memang tidak terlihat normal dengan kedua tangannya yang tinggal setengah, tapi beliau adalah ibu dengan kasih sayang yang berjuta.

Aku tidak menyesal terlahir darinya. Tidak akan pernah lagi!

Dalam keterbatasannya sekalipun beliau bisa membesarkan aku hingga kini. Kami memang hidup dalam belas kasihan orang lain. Tapi ibu tak pernah terlihat mengasihani dimata orang lain. Tidak saat ibu dengan sungguh-sungguh melakukan yang terbaik. Mencari uang dengan segala kekuatannya. Orang lain yang semula iba dengan kondisi ibuku berubah takjub saat melihat beliau bekerja keras dalam keterbatasannya.

Jangan biarkan keterbatasanmu membatasi hidupmu. Itu adalah kata-kata terkeren dari ibuku yang selalu ku ingat. Meskipun aku tahu bahwa beliau menirunya dari buku pelajaranku.

Sudah cukup aku membebaninya selama ini. sekarang setidaknya beliau bisa makan tanpa mengalah lagi. Aku berhasil meraih beasiswa untuk masa SMA ku, dengan begitu ibu tidak perlu lagi bekerja kelewat keras untuk membiayainya. Dan aku juga mendapat kerja paruh waktu di sebuah rumah makan. Berhentilah sudah aku menjual kue keliling. Ibu begitu bahagia mendengarnya. Aku harap aku bisa terus membahagiakannya seperti ini.

Di sekitarku banyak terdapat anak-anak pintar. Aku memang tidak diwarisi kepintaran seperti mereka. Tapi ibuku yang terhebat itu mewarisiku semangatnya, kerja kerasnya. Dan aku sangat-sangat bersyukur untuk itu.

Orang hebat adalah orang dengan 1% bakat dan 99% kerja keras. Aku harap aku salah satu dari mereka. Beasiswa yang ku dapatkan bukanlah beasiswa kurang mampu, melainkan beasiswa prestasi. Aku bertekad lebih agar bisa mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi nanti. Ibuku senang sekali pada dokter. Matanya berbinar ketika beliau melihat dokter dengan seragam putih kebanggaan mereka. Dan aku akan bekerja berkali-kali lebih keras lagi untuk mewujudkan cita-cita ibu yang juga menjadi cita-citaku itu. Selalu ku simpan wajah bahagia ibu saat aku berhasil menjadi dokter nanti dalam bayangku. Itu adalah penyemangatku setiap waktu.

Apapun yang terjadi aku akan berusaha semaksimal yang aku bisa. Kerja keras dan kerja lebih keras lagi. Kerja keras untuk orang paling hebat dalam hidupku. Ibu...

Tiga tahun ku lewati sudah bersama ibu dalam hari-hariku. Masa penantian dan hari kerja kerasku terbayar sudah. Aku berhasil menjadi siswa peraih nilai UN tertinggi se-provinsiku. Dan aku berhak mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi yang aku inginkan. Air mata haru menitik. Ku bayangkan wajah bahagia ibu saat ku beritakan pada beliau nanti.

Tidak sabar aku untuk pulang. Aku akan menjemput ibuku di tempat Mang Kaba. Tengah hari begini ibu pasti ada di sana menjual kayu bakarnya.

Aku melangkah tidak sabaran menemui ibu. Aku hanya melempar senyum terburu-buru pada semua teman yang menyelamatiku. Tidak sabar benar hatiku ingin melihat wajah bahagia ibu.

Ibu tunggulah...

“Ibuuu!” aku berteriak dari seberang jalan. Ibu menoleh setelah teriakanku yang ketiga kalinya. Aku melambaikan piagam penghargaan yang tadinya ku terima. Tak ku hiraukan pandangan orang-orang akan hebohnya aku.

Aku berlari menyeberang untuk sampai ke ibu. Ku lihat ibu sudah menitikkan air mata bahagianya. Aku tahu ibu pasti sudah mengetahuinya. Tapi aku akan tetap mengatakannya. Akhirnya aku berhasil melihat wajah bahagia ibu. Wajah bahagia ibu saat aku berhasil kesekian kalinya. Dan itu adalah wajah bahagia ibu yang terakhir.

Sebuah mobil sedan tak jauh dari ibu melayang begitu terhantam sebuah truk pasir yang oleng. Truk pasir itu sendiri setelah mengenai mobil sedan tersebut lalu menghantam tiang listrik dan menjatuhkannya. Si sopir tewas tertimpa tiang listrik. Sementara sedan tadi... badan meobilnya sempat mengenai ibuku sebelum akhirnya terbalik.

Aku berlari gemetar pada tubuh ibu yang terbaring nyaris tak bergerak.

“i-ibuu...”

“ibuu..”

“ibu”

“ibu”

“ibu”

Aku terduduk di sebelah ibu yang diam dengan mata tertutup. Ibu...

Menangislah aku di samping ibu. Aku hancur. Tak ada lagi yang tersisa hari itu. Bagaimana mungkin mobil sialan itu merenggut nyawa ibuku. Aku saja belum sempat mengatakn semuanya. Ibuuu...

Dan lalu ku rasakan tangan lemah mencoba merangkulku. Aku melihat ibu dengan sisa tenaganya mencoba meraihku dalam pelukannya. Ku tatap ibu. Beliau tersenyum bahagia. Senyum terakhir yang tak akan pernah ku lupakan.

“Ibu... aku berhasil.” Ibu masih tersenyum.

“Aku berhasil Bu. Aku akan jadi dokter seperti cita-cita ibu. Aku berhasil, Bu.”

Aku berhasil!!

Ibu masih tersenyum hingga akhir hidupnya. Dia pergi setelah memelukku. Setelah tersenyum bahagia untukku.

Menit berikutnya ku dengar sirine ambulan membelah jalan. Dan kepala ku terasa ringan. Kemudian semua gelap.

Kecelakaan itu tidak hanya menjemput nyawa ibuku. Ada sembilan orang lainnya yang turut meninggal hari itu.

Ibu... aku akan bekerja jauh lebih keras lagi untukmu.

Bahkan saat beliau telah pergi masih ku rasa hangat peluknya. Lembut kasihnya. Indah senyumnya. Merdu nasehatnya. Sejuk tatapannya. Semua itu selalu ada dalam hariku. Menemaniku dalam tiap detak waktuku.

Aku tahu ibu selalu bersama langkahku. Terima kasih ibu...

***

Minggu, 22 Desember 2013

Selamat Hari Ibu :)))

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun