Mohon tunggu...
Wulandari Cantik
Wulandari Cantik Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Wulan lahir di maros, saya mempunyai hobi bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Suara Korban Kekerasan Seksual di Kampus Sering Diabaikan?

13 Oktober 2024   21:20 Diperbarui: 13 Oktober 2024   21:46 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan seksual di lingkungan kampus kian menjadi sorotan publik, salah satunya di Universitas Hasanuddin (Unhas) pada tahun 2024. Kasus ini melibatkan beberapa mahasiswi yang melaporkan dugaan pelecehan oleh Ketua Departemen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 

Meski sejumlah korban berani melapor, suara mereka sering kali diabaikan atau dianggap kurang penting oleh institusi kampus. Fenomena ini memperlihatkan pola sosial dan struktural yang menyulitkan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan.


Ketakutan, Stigma, dan Pilihan untuk Diam
Survei yang dilakukan Komnas Perempuan pada 661 perguruan tinggi di Indonesia mengungkapkan adanya 1.133 kasus kekerasan seksual, di mana 94% korbannya adalah perempuan. 

Namun, ini hanya permukaan dari masalah yang lebih dalam. Data menunjukkan bahwa sekitar 80% korban memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami. 

Angka ini mencerminkan "fenomena gunung es," di mana hanya sebagian kecil kasus yang terlihat, sedangkan sisanya tersembunyi karena ketakutan, rasa malu, atau ketidakpercayaan terhadap mekanisme penyelesaian di kampus.


Di masyarakat, korban sering kali berhadapan dengan pertanyaan menyudutkan yang memicu rasa takut atau rasa bersalah. 

Narasi yang menyalahkan korban menyebabkan banyak dari mereka memilih untuk tetap diam, dan ketika mereka mencoba untuk berbicara, suara mereka sering kali diabaikan atau diremehkan. Situasi ini semakin memperparah ketidakadilan yang dialami oleh korban, yang seharusnya mendapatkan dukungan penuh dalam mencari keadilan.


Dinamika Kekuasaan
Kuasa yang sering kali tidak seimbang antara pelaku dan korban seperti kasus di Unhas, di mana pelaku adalah figur otoritas seperti dosen atau staf senior, menunjukkan bagaimana posisi kekuasaan dapat digunakan untuk menekan atau bahkan mengintimidasi korban yang lebih rentan. Ketakutan akan dampak yang risakan korban bagi studi atau karier akademik menjadi salah satu alasan utama mengapa korban enggan melapor.


Bahkan, meskipun ada kebijakan seperti Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan kekerasan seksual di kampus, implementasinya di lapangan sering kali lambat dan tidak berpihak pada korban. Ketiadaan tindakan tegas dan perlindungan yang memadai bagi korban memperkuat rasa tidak aman dan ketidakpercayaan terhadap institusi kampus.


Proses Pelaporan yang Tidak Ramah Korban
Prosedur pelaporan kekerasan seksual di banyak kampus sering kali berbelit-belit dan membuat korban semakin merasa frustrasi. Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ada di beberapa kampus, termasuk Unhas, belum sepenuhnya mampu memberikan kenyamanan bagi korban dalam melaporkan kasus. 

Waktu yang panjang untuk investigasi dan proses penanganan kasus yang tidak efektif menambah beban psikologis bagi korban. Banyak kampus juga masih belum menyediakan layanan dukungan psikologis yang memadai, sehingga korban merasa tidak memiliki tempat yang aman untuk mendapatkan bantuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun