bau tubuhnya sudah menyengat sampai beberapa meter jauhnya. Rambutnya terlihat sangat kumal, mungkin sudah tak dikeramas dalam beberapa hari ini. Di kakinya, lumpur yang melengket sudah kering, maklum beberapa hari ini cuaca sedang tak menentu di kota Kendari, kadang hujan deras berjaam-jam, kadang juga tiba-tiba panas datang sangat menyengat. Sehingga di mana-mana jalanan becek dan berlumpur. Bahkansebagian jalanan masih ada yang terendam banjir. Aku sangat bosan dengan cuaca seperti ini, dan aku kira, semua orang juga tak suka dengan keadaan yang seperti ini. Kecuali, ya kecuali pengantin baru tentunya. Jika aku saja tak suka dengan hal ini, apalagi bagi perempuan itu yang pekerjaan keseharianya menjual jamu keliling, tentu cuaca yang tak bersahabat ini sangattak nyaman untuknya. bahkan akan menghalanginya untuk mendapatkan rejeki yang lebih banyak. Aku kasihan melihatnya. Ia harus berkeliling kota seharian demi menghidupi keluarganya.
seperti hari ini, setelah tadi subuh hujan sangat deras, siang ini justru panas sangat terik. Di sekeliling jalanan kuamati seluruh bagian-bagian kota. Mataku menjelajah seluk-seluk kota yang masih terlihat sangat jorok dan penuh sampah. Ya, bagian kota lama ini, tepat di depan kios-kios perhiasan sangat kotor, mungkin sudah di bersihkan oleh pemerintah daerah, dalam rangka memenangkan piala Adipura, tapi tetap saja got-gotnya mengeluarkan bau yang sangat tak sedap dan merusak pemandangan.
di antara bangunan-bangunan tua kota ini, kulihat perempuan itu tengah menawarkan dagangannya. Seharusnya di hari yang sesiang ini jamunya sudah habis. Dan dia sudah bisa pulang ke rumah dengan membawa sayur yang akan dimakan siang ini. Jikadia belum pulang, berarti di rumah belum ada makanan dong. Hmm… salahku juga, tadi aku tak sarapan, jadi siang ini aku harus puasa. Aku tak bisa mengharapkan akan cepat makan siang ini, karna jika perempuan itu belum habis dagangannya, tentu ia akan menunggu dagangannya habis baru Ia akan pulang. Aku tau betul sifatnya, pekerja keras yang sangat pantang menyerah. Dan karna sifatnya itulah aku sangat bangga kepadanya. Walaupun dia hanya penjual jamu, aku tau itu pekerjaan yang halal. Sudah lebih dari puluhan tahun dia menekuni pekerjaanya sebagai tukang jamu, mungkin sudah bermil-mil jarak yang ditempuh jika saja dikumpulkan dari waktu ke waktu sejak aku kecil dulu. Tapi, betis perempuan itu mungkin betis ciptaan Tuhan yang sangat spesial, sehingga masih mampu menopang badan ibu selama bertahun-tahun. Walaupun badannya kian ringkih, keriput-keriput di wajahnya kian rapat,matanya kian sayu, dan tak sedikit mulai ditumbuhi katarak yang berseliweran di kelopak matanya. Namun ia tetap tersenyum bangga kepaku, menyunggingkan senyum setiap pulang. Dan selalu memberi semangat padakuketika pagi datang, agar tak bernasib sama sepertinya.
Perempuan itu selalu mengatakan, ” kamu harus bias jadi orang, walaupun pekerjan Ibu jadi penjual jamu, namun nasib bisa saja berubah, dan Tuhan tak akan mengubah nasib manusia kecuali manusia itu sendiri yang mengubahnya. Makanya sekarang kamu harus sekolah biar gak kayak ibu” itu adalah kata-kata perempuan itu yang sudah entah keberapa kalinya aku dengarkan. Jika sudah begini, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Aku memang sangat menyayanginya, dan aku ingin membantunya jika aku bisa. Tapi ibu tak menginginkannya. Dia selalu mangatakan bahwa dia masih mampu.
Aku kasihan. Aku ingin membantunya, tapi katanya aku harus sekolah. Aku harus bisa menyelesaikan dan tamat minimal SMA. Dan kini aku sudah kelas tiga. Walaupun tentunya tak jelas aku akan bisa melanjutkan kuliah atau tidak. Tapi, setidaknya jika aku sudah lulus SMA, kapan saja aku sudah bisa kulaih. Itu kata Ibuku.
***
Aku tidak tau yang sebenarnyaa. Jika pelajaran di SD, Ibu itu adalah orang tua perempuan kita. Tapi aku tak tau yang sebenarnya, apakah perempuan itu memang ibuku atau bukan, aku tak paham. Teman-temanku juga memiliki ibu, dan mereka sangat dekat dengan ibunya, seperti yang di keluarga cemara itu. Tapi aku tak pernah seperti itu, kedekatanku pada Ibu hanya sebatas ia memberiku naafkah dan menasehatiku. Itu pun hanya sedikit saja, dan hanya itu-itu saja. Hari-hariku lebih banyak diisi kekosongan dan kebisuan. Perempuan itu tak pernah memanggilku “nak”, tak pernah memelukku seingatku, apalagi menciumku seperti yang dikatakan teman-temanku, ketika mereka berangkat sekolah, mereka pasti akan mencium tangan ibunya, dan ibunya pun akan mencium pipi anaknya. Oh… indahnya jika itu juga terjadi padaaku. Dunia ini terasa sangat sepi. Tapiaku hanya punya Dia.
Mungkin benar kata perempuan ini, dan mungkin juga memang benar dia adalah ibuku. Semenjak aku bisa membuka mata. Dialah yang aku panggil Ibu, walaupun sering jika aku memanggilnya tak menggunakan sebutan Ibu. Dan aku tau dia tulus memenuhi segala kebutuhanku walaupun aku tak pernah memintanya. Dantentu seorang Ibu ingin anaknya hidup bahagia seperti yang dia inginkan. Itu memang keinginan mulia darinya, walaupun hanya bekarja sebagai tukang jamu namun perempuan yang biasa dipanggil Patonah ini tak pernah putus asa, dan selalu berusaha bagaimana agar anaknya dapat bersekolah dengan baik.
Akuanak semata wayang di rumah perempuan ini, namun aku tak pernah mendapatkan kasih sayang sebagai seorang anak. Apa mungkin karna ibuku ini sudah capek atau apa, yang pastinya sejak ayahku tak pernah lagi muncul di rumahku ini, ibu pun juga tak pernah menganggapku ada. Betahun-tahun aku didiamkannya, hingga suatu hari, aku ingat ibu membawaku ke suatu tempat dan ibuku mengatakan bahwa itu adalah sekolah, aku harus belajar di tempat itu dan tak boleh nakal. Itulah yang ku ingat ibuku pertama kali mengucapkan kata-katanya setelah Ayah menghilang.
***
Aku masih ingat, dulu aku sangat bahagia tinggal di rumah yang sangat sempit ini. Rumah kos-kosan papan sederhana yang hanya terdiri dari satu kamar utama, satu ruang tamu, dan satu ruangan lagi yang disekat dari ruang tamuyang ditempati oleh seorang perempuan yang aku sebut “tante’. Aku biasa bermain-main dengan Ayahku,dan perempuan itu sementara ibuku memasak. Dapurku hanyalah halaman belakang yang ditutup dengan papan-papan rusak sebagai dindingnya.
Ayahku bekerja sebagai sopir mobil angkot jurusan kota-kampus. Sebagai seorang sopir, gaji Ayah mungkin sangat pas-pasanuntuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Karna aku sering mandengar Ibuku kekurangan uang belanja dan bertengkar dengan ayah. Tapi pertengkaran Ibu sangat santun. Tak pernah Ibu membentak-bentak ayah hingga terjadi insiden keributan atau bahkan kekerasan.
Ketika ibu menjual jamunya, aku tinggal berdua bersama tanteku. Dia perempuan yang baik padaku. Jika aku ingin makan atau pipis, tante yang selalu melayaniku. Dia juga baik pada ayahku, dia biasa menyiapkan makanan sisa sarapaan pagi untuk Ayah ketika pulang sebentar sewaktu bawa mobil. Dan ayah juga baik padanya, dia sering membelikan sesuatu yang diberikan kepada tanteku. Hingga tante dapat tertawa dengan sangat senang dikamarnya.
Walaupun ibu sering bertengkar dengan ayah, namun ibu tetap sabar dan berusaha untuk mencukupi kebutuhannya dari jualan jamu keliling. Adik ibuku yang hanya tamatan SMP sangat susah mencari pekerjaan yang hanya sekedar cukup untuk memenuhi keutuhannya sendiri. Jika ada, itu pun hanya sebagai pembantu rumah tangga. Dan ayahku, tak setuju jika adik iparnya itu harus dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Ia berjanji untuk mencarikan pekerjaan yang lebih baik selain pembantu rumah tangga. Sehingga tanteku hanya menganggur luntang luntung tak jelas karuannya.
Walaupun ibuku sering merasa kurang dengan penghasilan ayahku, dan biasa hidup dengan serba kekurangan. Tapinyatanya, tetap saja ia tak bisa berbuat apa-apa dan ibukulah yang terpaksa harus mancukupinya. Tapi walaupun ibu dengan susah payah sudah mambantu ayah, sepertinya ayah tepat santai-santai saja, dan ia masih bisa membelikan barang-barang yang disukai tante, bedak, jam tangan, dan pernak-pernik lainnya yan tentunya tak diketahui oleh ibuku. Sementara ibu harus menambah jam berjualannya agar menambah penghasilan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami
***
Suatu pagi, aku heran, ketika aku bangun pagi biasanya ibu sudah tidak ada. Tapi, pagi ini ibu ada di rumah. Atau barangkali ibu belum berangkat. Tapi, tak ada juga barang-barang yang biasa di bawa ibu ketika menjual jamu keliling. Tanpa bicara dan masih dalam diam, aku berlari ke dapur, dan ternyata, oh… barang-barang bawaannya ibu masih tersusun rapi. Takada warna-warna merahbekas kunyit yang biasa berceceran di lantai tanah belakang tempat memasakku ini, dan semuanya masih terlihat sangat rapi.
Kulihat mata ibu merah dan sangat sembab. Aku tak pernah melihat hal aneh ini sebelumnya. Apa yang telah terjadi aku pun tak paham, yang aku lihat pagi ini terbalik. Ayah tak ada di rumah, dan ibu ada di rumah dalam tatapan kosong, bengong dengan mata sembab, dan membiarkanku kelaparan. Untung ada tanteku yang menyendokkanku nasi, sehingga aku tak kelaparan. Kulihat tante berperilaku aneh hari ini. Tak ada lagi senyum renyahnya bersama ayahku. Dia sangat pediam dan tak berani manatap ibuku.
***
Hari itu adalah hari terakhir ketika kulihat ayahku pulang siang, yang kemudian disiapkan makan siang oleh tanteku. Ayah hari itu sangat bahagia. Ayah memeluk tanteku dn menggendong ke kamarnya, aku sudah biasa melihat hal ini terjadi berulang-ulang. Dan aku juga sering di gendong oleh ayahku. Aku tak heran jika ayah juga selalu menggendong tanteku. Ayah hanya menggendongku ketika menunggui ibuku memasak atau menunggu sarapan.Tapi, jika Ayah sudah menggendong tanteku, ayah selalu membawa tanteku di kamar. Danpintu kamar tanteku akan tertutup.Akudisuruhnya main-main sendiri di sekitar rumahku. walaupun aku tak punya teman di sekeliling rumahku. Sehingga aku hanya berdiam diri di rumah. Aku tak tau apa yang dilakukan tante dan ayahku. Aku selalu mendengar suara yang aneh-aneh. Hingga suatu hari, ayah tak kunjung keluar-keluar dari kamar tanteku. Aku sangat kesepian. Aku ingin makan, tapi tante tak kunjung keluar-keluar juga. Dari kejauhan aku melihat ibu pulang dengan membawa sayur yang agak banyak dibanding hari-hari sebelumya. Tumben ibu membawa sayur yang cukup banyak. Mungkin uang yang diperoleh ibu hari inibanyak. Dari kejauhan, aku mengejar ibu dan berlari menjemput ibu:
“ibu, ibu, aku ingin makan, Santi lapar bu,,,” aku merengek pada ibuku
“loh, memangnya mana tantemu?”
“tante masih di kamarnya dengan ayah”
Sejenak ibu berhenti, dia melihat mataku. Ada pertanyaan di sana. Namun ibu hanya diam, dan bergegas menuju rumahnya. Dan semuanya disaksikan sendiri oleh ibu ketika ia membuka paksa kamar tante.
***
Jika kini ibuku mampu untuk menopang semua kebutuhanku, aku sudah yakin ibu dapat melakukannya dengan mudah tanpa harus bergantung pada laki-laki lain. Jika sekarang ibuku pendiam, mungkin itu dikarenakan akibat luka masa lalu ibu. Kini aku sudah bisa berpikir, dan menerka apa yang terjadi pada perempuan ini. Tapi aku tak pernah mengungkit hal ini. Aku sudah cukup paham. Aku tak ingin menambah luka hati perempuan yang sudah semakin tua ini.
Aku kini tak punya lagi teman selain dia. Orang tua keriput yang katanya ibuku. Aku juga tak lagi mengetahui di mana tanteku sekarang. Katanya ibuku, tante kini telah mempunyai keluarga sendiri. Yah… mungkin itu benar, karena tak lama setelah ayah pergi. Tante punya anak, dan aku memiliki adik sepupu dari tanteku. Sayang tak lama setelah itu tante tak lagi tinggal di rumahku. Padahal aku sangat bahagia mempunyai teman baru yang lucu. Aku masih ingat waktu itu tante sempat mencium pipiku. Aku juga tak pernah melihat, mana yang disebut suami tanteku itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H