Oleh: Wulan Clarissa Meryanti Jamil
Prinsip Precautionary, Solusi Perlindungan Laut di Kepulauan Riau
Saat kita membahas laut, tidak hanya soal keindahan atau hasil laut yang melimpah, tetapi juga tanggung jawab besar untuk melindunginya. Laut bebas, seperti yang mengelilingi Kepulauan Riau, menjadi rumah bagi ekosistem yang sangat penting, termasuk terumbu karang yang tak hanya mendukung kehidupan laut tetapi juga melindungi daratan dari abrasi. Sayangnya, kerusakan lingkungan di kawasan ini terus meningkat. Bagaimana hukum laut internasional, khususnya prinsip precautionary, dapat menjadi solusi?
Prinsip precautionary adalah pedoman yang mendorong tindakan pencegahan untuk melindungi lingkungan, meskipun bukti ilmiah tentang potensi kerusakan belum sepenuhnya jelas. Nah, saya melihat bahwa prinsip precautionary dalam hukum laut internasional memiliki peran strategis dalam melindungi lingkungan laut, terutama di kawasan seperti Kepulauan Riau yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Yang mana prinsip ini berjalan dengan langkah-langkah proaktif dan juga “bermain aman” sebelum dampak negatif yang lebih besar terjadi.
Kasus di Kepulauan Riau
Kasus kerusakan terumbu karang di pesisir Natuna telah memicu abrasi pantai yang signifikan. Pada 11 Februari 2023, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mengungkapkan bahwa, abrasi ini disebabkan oleh hilangnya fungsi terumbu karang sebagai pelindung alami dari gelombang. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan di Kepulauan Riau masih menghadapi tantangan serius terkait polusi laut dan eksploitasi sumber daya itu, ancaman dari aktivitas penambangan pasir ilegal dan limbah kapal yang berlayar di Selat Malaka semakin memperburuk kualitas laut di daerah ini. Situasi ini mengilustrasikan bagaimana kerentanan lingkungan laut di Kepulauan Riau membutuhkan pendekatan lebih konkret.
Apa dampak dan bagaimana solusi yang dapat kita lakukan?
Hukum Laut Internasional (UNCLOS) mendukung prinsip precautionary untuk mendorong perlindungan lingkungan laut. Yang mana artinya prinsip ini sudah di akomodasikan dalam hukum internasional. Namun, penerapan di tingkat lokal masih sangat lemah karena kurangnya koordinasi antar-institusi dan minimnya penegakan hukum. Akibatnya, kerusakan ekosistem laut terus terjadi, memengaruhi komunitas pesisir yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian.
Kerusakan terumbu karang di Kepulauan Riau, seperti yang terjadi di Natuna, menunjukkan lemahnya penegakan perlindungan lingkungan di Kepulauan Riau. Terumbu karang yang berfungsi sebagai pelindung alami dari gelombang laut mengalami degradasi akibat aktivitas manusia, seperti pencemaran, penambangan pasir ilegal, dan kurangnya kontrol terhadap limbah kapal di jalur perdagangan internasional seperti Selat Malaka. Dampaknya tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka.
Selain itu, rusaknya ekosistem laut juga mempercepat abrasi pantai, mengancam infrastruktur di daerah pesisir, dan mengurangi potensi pariwisata berbasis kelautan. Contoh nyata adalah abrasi di pesisir Natuna yang dilaporkan pada awal 2023. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan dapat menjadi masalah berantai yang sulit dikendalikan jika tidak diatasi sejak dini.
Sehingga hal ini menunjukkan perlunya adaptasi hukum laut internasional untuk menjawab masalah spesifik di Kepulauan Riau. Dengan mengintegrasikan prinsip precautionary ke dalam kebijakan lokal, pemerintah dapat mencegah kerusakan lebih lanjut. Namun, tanpa koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, daerah, dan komunitas lokal, prinsip ini hanya akan menjadi teori tanpa dampak nyata di lapangan.