Mohon tunggu...
Dwi Wulandari
Dwi Wulandari Mohon Tunggu... -

I'm muslim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pernikahan: Titik Balik

22 April 2013   23:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:46 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepertinya, dalam tubuh setiap orang mengalir darah 'seni'. "Saya suka nyanyi," pengakuan pak Ali Afandi pagi ini. "Saya sering melukis," kata pak Joko Sutejo.Sebenarnya aku lebih percaya kalau pak Ali yang suka melukis, sesuai nama 'Afandi', semua orang juga tahu. Tapi, tak masalah. Tidak perlu diperdebatkan. Nyanyi dan melukis sama-sama seni, kan? Hanya masalah 'cara' pengungkapannya saja. Pak Tejo lebih suka melukis dalam keheningan malam. Saat istri dan anaknya sudah tidur, ia mulai mengisahkan banyak hal pada sehelai kanvas. Garis-garis sederhana, bidang-bidang warna, langit, laut, dan seberkas cahaya mendatar, lalu diberinya judul: Horizon. "Saya lebih suka menceritakan maknanya. Meskipun digoda langit yang indah dan laut yang beriak kita harus tetap menjadi garis yang lurus, manusia yang lurus." ungkapnya. Kurang lebih, aku jadi lebih paham karakter pak Tejo seperti apa. Pak Ali, saat bujangnya suka nyanyi. Tapi pekerjaannya sebagai polisi hanya memungkinkan dia menyanyi sebagai hiburan semata. Menghabiskan waktu luang dengan karaokean.  Setiap malamnya ia mengaku bisa menghabiskan uang hingga delapan ratus ribu. Sewa tempat dengan hitungan perjam, sewa 'teman' yang bisa jadi lebih mahal kalau diajak 'kencan', beli minuman yang jelas bukan air putih: sebotol vodka seharga empat botol yang sama jika dibeli di warung pinggir jalan. Ya, harga yang sangat mahal untuk sekedar menyalurkan hobi. Ah, Tapi seni itu bahasa, kan? Bahasa mengungkapkan makna yang sejatinya lebih luas dari sekedar kata atau goresan warna. Mereka sebenarnya tidak sedang menceritakan hobi, tapi ini tentang hidup. Dua jam di sana, berbincang, tidak jauh dari tema 'perjalanan hidup', masalahnya: hidup butuh teman. Dan lima kali mereka menyinggung 'teman perjalananku', lima kali pula aku berkata "belum ada, Pak." Mereka selalu tertawa mendengar jawabanku. Sejenis menertawakan hidup. Maka obrolanpun berlanjut. Di tanah rantau harus bisa jaga diri. Apalagi perempuan. Perempuan selalu menjadi pihak yang rugi duluan.Begitulah topik awal yang cukup klise, tapi tidak ada salahnya memulai percakapan dengan hal-hal yang sebenarnya klise sebagai pemancing. Pak Ali menunjukkan foto istrinya. Cantik, masih terlihat muda meski hanya berjarak usia lima tahun dengan pak Ali. Dia pun menceritakan kisah 'Gadisnya' yang selama pacaran selalu ditinggal pergi dinas. Bahkan saat dinas di Aceh, sebenarnya pak Ali sudah menemukan gadis lain yang menarik hati, tapi sejatinya hati akan selalu luluh dengan sebuah kata: kesetiaan. Maka setelah tiga tahun menggantungkan harapan, pak Ali kembali ke Jogja untuk menunaikan janjinya. Menikahi sang Bidadari. Menunaikan janji yang kemudian merubah nyaris seluruh hidupnya. "Jika saya diberi kesempatan untuk menjadi muda lagi..." kata pak Ali, "...saya mau. La iya. Bujang itu bebas, bisa kemana-mana. Nggak kayak sekarang, pikirannya udah beda. Kalau dulu nyanyi habis delapan ratus ribu semalem sante aja, yang penting senang. Tapi sekarang kok berasa mubazir banget, mending kalo ada waktu luang dipake buat nyari kegiatan yang pulangnya bisa bawa uang. Dulu mikirnya yang penting senang sendiri, tapi sekarang mikir gimana caranya bisa seneng bareng, istri anak. Ya, kalo diinget, emang saya berubah 90% sejak nikah." Pernikahan: Titik Balik Kagum. Begitukah pernikahan bisa merubah seseorang? Persis kata seorang teman (sebut saja namanya Anta), yang terkagum melihat kakaknya berubah drastis semenjak menikah. Begitupun pak Tejo, yang jiwanya selalu mengajak raga untuk melukis, menuangkan imaji ke dalam garis dan warna, harus menahan keinginannya karena alasan materi. "Harga kanvas dan cat mahal, lebih baik untuk kebutuhan dapur." Hingga hampir lima tahun, dia tidak pernah melukis lagi. Lagi-lagi ada tanggung jawab di sana. Perubahan pola pikir. "Jangan nyari pacar, tapi nyari tu suami." tegas pak Tejo. Beliau pun mulai bercerita tantang kisah pernikahannya. Kenal dua minggu dengan sang Tulang Rusuk kemudian memberanikan diri melamar ke orang tuanya. "Kok bapak bisa yakin gitu? baru kenal dua minggu?" aku penasaran. Mungkin sejenis insting, sejak pertama kali bertemu sang Kekasih, pak Tejo sudah merasakan kesiapan untuk menjatuhkan cintanya. "Cinta itu bisa tumbuh. Seiring perjalanan waktu kan saya semakin kenal dia." Dia menegaskan bahwa ini sebenarnya adalah tanggung jawab. Yang kita pegang adalah kesanggupan bertanggung jawab, bukan janji atau angan kosong. Aku jadi ingat sebuah paragraf panjang: Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian disitu. "Aku mencintaimu," adalah ungkapan lain dari, "Aku ingin memberimu sesuatu." Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari , "Aku akan memperhatika dirimu dan segala situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku akan juga melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu..." Taruhannya adalah kepercayaan  orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, "Aku mencintaimu," kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.(Anis Matta_Serial Cinta) Ya ya. Imajinasiku langsung terbang ke sosok-sosok di sekitarku: yang masih suka main gak jelas, yang masih suka minum-minuman, yang masih suka 'kencan' tak berstatus, yang masih suka bersenang-senang, suatu hari nanti mereka berubah menjadi sosok yang jauh berbeda. Sosok yang tunduk pada figur agung yang bernama: 'Cinta'. Perubahan. Titik Balik. Begitulah hidup. Menjadi obrolan yang selalu seru untuk dibahas. Bahkan topik tentang kasus penembakan antara polisi dan tentara yang kusulut tak mampu bertahan lebih dari sepuluh menit. Tapi tentang 'hidup' dan 'teman perjalanan' selalu punya porsi lebih untuk dinikmati. Saat pamit, pak Tejo berjanji suatu saat akan menunjukkan beberapa lukisannya padaku.Dan menceritakan makna-makna tersirat dalam lukisannya itu. Makna hidup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun