Serat Pararaton atau yang terkadang disebut juga dengan Katuturanira Ken Angrok sering sekali digunakan sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia masa klasik Hindu -- Budha. Selama ini banyak pendapat yang simpang siur tentang Serat Pararaton. Beberapa golongan menganggap Serat Pararaton merupakan karya sastra yang ditulis oleh anonim dari masa ke masa melihat dari betapa rincinya kisah peristiwa yang ditulis. Pihak lain menganggap Serat Pararaton hanya sekedar fiksi atau karangan belaka karena angka tahun penulisannya jauh setelah peristiwa tersebut terjadi.
Tahukah kalian bahwa sebenarnya jumlah manuskrip Serat Pararaton yang ditemukan itu tidak hanya satu jenis saja? Nah, sebelum membahas jenis -- jenis manuskrip Serat Pararaton yang pernah ditemukan, terlebih dahulu akan penulis jelaskan apa sih Serat Pararaton itu? isinya tentang apa kok sampai fenomenal sekali?
Untuk kalian yang masih baru dengan dunia penulisan sejarah, sebutan Serat Pararaton mungkin lebih familiar dibanding dengan Katuturanira Ken Angrok. Nama Pararaton berasal dari kata : para-ratu-an, sesuai dengan namanya, keseluruhan cerita yang tercantum di dalamnya adalah kisah -- kisah tentang para ratu atau raja dari kerajaan Singhasari dan Majapahit.Â
Sedangkan untuk sebutan Katuturanira Ken Angrok, kata yang harus digaris bawahi adalah kata Ken Angrok. Hal ini dikarenakan isi dari serat ini memang sebagian besar mengkisahkan perjalanan hidup seorang tokoh yang bernama Ken Angrok yang dikemudian hari menjadi raja di kerajaan Singhasari dan sekaligus pendiri dinasti Rajasa.
Sarjana yang pertama kali menaruh perhatian lebih terhadap Serat Pararaton adalah Dr. J.L.A Brandes, yang kemudian menerbitkan karyanya dengan judul Verhandeling van het Bataviaasch Genootschap deel XLIV, 1896 dengan judul: Pararaton (Ken Angrok) of het Boek der Koningin van Tumapel en Madjapahit.Â
Setelah Brandes meninggal dunia, karya tersebut diterbitkan lagi oleh Dr.N.J.Krom dengan bantuan Prof.Mr.Dr.C.G.Jonker, H. Kraemer, dan R.M.Ng. Poerbotjaroko. Bedanya, Serat Pararaton yang diterbitkan oleh N.J.Krom dkk ini berdasarkan 3 buah manuskrip yang seluruhnya merupakan koleksi Lembaga Bataviaasch Genootcschap. Nah, dari sini ketahuan kan kalau Serat Pararaton itu lebih dari 1 jenis manuskrip. Ketiga manuskrip ini adalah sebagai berikut :
- Kropak no. 377, sejumlah 17 halaman dengan panjang lontar 52 cm.
- Kropak no. 550, sejumlah 47 halaman, panjang lontar 47 cm. Dalam kolophon kropak B tercantum angka tahun 1525 Caka (1613 Masehi) penanggalanya Sabtu Pahing, wuku Warigadyan, kedua (2) panglong (krsnapaksa), bulannya mangsakaro, waktu bertepatan dengan 3 Agustus 1613 Masehi.
- Kropak no.600, sejumlah 58 halaman, panjang lontar 50 cm. Masing -- masing terdapat 3 baris; pada kolophonnya tercantum angka tahun 1522 Caka (1600 Masehi).
Dari sini ketahuan kan walaupun namanya sama-sama Serat Pararaton tapi angka tahunnya berbeda. Apakah manuskrip Serat Pararaton hanya 3 itu saja? Jawabannya adalah tidak. Di Bibliothek Universitas Leiden, masih tersimpan delapan naskah Serat Pararaton. Naskah tersebut merupakan warisan koleksi dari Dr. H. N. Van der Tuuk. Kita sebut saja naskah ini dengan sebutan naskah kelompok D karena belum diteliti lebih lanjut kecuali dalam satu tulisan yaitu Manuscript Bibliothek Universitas Leiden yang disusun oleh Dr. H. H. Juynboll pada tahun 1907. Naskah -- naskah manuskrip Serat Pararaton lainnya yaitu :
- Naskah dengan kode 4410, tersimpan di Bibliothek Univesitas Leiden; pada kolophonnya tercantum candrasengkala; cakakalaning sinurat larapaksamisayeku, 1522 caka (1600 Masehi). Jadi sama dengan naskah kelompok C.
- Naskah dengan kode 4402, pada kolophonnya terdapat angka tahun penuturannya yaitu 1764 caka (1842 Masehi), inilah naskah yang berhuruf Jawa. Lainnya ditulis dalam aksara Bali.
- Naskah dengan kode 4403, naskah ini diturun sendiri oleh can der Tuuk dengan aksara latin, berasal dari suatu turunan dari tahun 1673 caka (1751 Masehi).
- Naskah dengan kode 4404, pada halaman terakhir yaitu halaman 31 baris ke 2 terdapat keterangan, bahwa naskah ini merupakan edisi salinan.
- Naskah dengan kode 4405. Naskah ini tidak lengkap. Dimulai dengan sejarah Bhatara Ciwa Budha, diakhiri dengan kalimat"... sira aduwe suta stri roro juga temokena ring raden Wijayakrama...".
- Naskah bagian kedua dari naskah dengan kode 3865. Pada bagian akhirnya tertulis ; wus sinurat ing dina 6 cakra wara manahil, tanggal 12, kasih rapa, rah 4 tanggal 7.
- Naskah yang merupakan cakupan yang dibentuk dari beberapa halaman dengan kode naskah 3124 b.
Nah, sesuai dengan uraian Brandes bahwa naskah A, B, dan C adalah naskah yang tertua dan terlengkap yang menjadi pokok kajian dari edisi Serat Pararaton yang selama ini kalian baca. Naskah -- naskah tersebut masing -- masing berkode; 337, 550, dan 600. Naskah -- naskah tersebut ditulis dengan aksara Bali, kecuali naskah C. Adapun bahasa lain yang dipakai adalah bahasa Jawa Madya, yaitu peralihan dari bahasa Jawa Kuna ke bahasa Jawa Baru.
Jadi kesimpulannya adalah Serat Pararaton itu bukanlah sebuah karya yang ditulis pada tahun -- tahun yang disebutkan diatas. Penemuan berbagai angka tahun di berbagai manuskrip menunjukkan sebuah perilaku menyalin Serat Pararaton dari masa ke masa. Kebiasan menyalin naskah yang terbuat dari daun lontar memang masih bertahan hingga sekarang.
Kalau seperti itu, apakah Serat Pararaton masih valid untuk dijadikan sumber sejarah? Nah, dalam sebuah penelitian sejarah itu ada sebuah metode yang disebut dengan kritik sumber. Menggunakan Serat Pararaton yang notabene adalah sumber sekunder tidak dilarang asalkan diimbangi dengan kritik sumber yang benar, yaitu dengan membandingkan Serat Pararaton dengan sumber lain yang sejaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H