Keberadaan benda-benda peninggalan masa lampau yang tersebar diberbagai daerah memang menjadi masalah tersendiri, khususnya bagi pelestarian sejarah dan budaya.
Bagaimana tidak, benda-benda kuno tersebut (artefak) memiliki harga jual yang lumayan tinggi di pasar barang antik. Tingginya permintaan dan rendahnya stok menyebabkan harga artefak cukup mahal untuk kalangan menengah kebawah. Hal tersebut juga memicu maraknya penjarahan diberbagai daerah di Indonesia.Â
Tidak tanggung-tanggung, para penjarah artefak ini menyasar mulai dari desa-desa yang terkenal memiliki artefak kuno, makam-makam lama yang berada di tengah hutan, hingga sungai-sungai besar yang dahulu pernah menjadi jalur transportasi di masanya.
Dalam jangka waktu yang berdekatan, penulis mendapatkan beberapa informasi mengenai penjarahan, penggalian liar dan juga jual beli artefak di masyarakat yang notabene masih awam terhadap pelestarian sejarah dan budaya.Â
Salah satu kasus yang terjadi di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah penjarahan atau penggalian liar terhadap makam suku kalang. Penggalian liar dan penjarahan yang dilakukan di makam-makam kuno seolah sudah menjadi isu lama.Â
Bukan hanya di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, hal serupa juga banyak di temui di Bondowoso yang memiliki banyak sekali temun kubur batu. Alasan dari penjarahan dan penggalian ini sangat sederhana yaitu makam lama selalu memilki jumlah bekal kubur yang melimpah.
Kasus lain terjadi di lereng Gunung Semeru, di Kab. Lumajang. Berawal dari postingan slaah seorang masyarakat di grup jual beli barang antik di Facebook. Diketahui bahwa yang bersangkutan menemukan sejumlah batu bertulis di ladang miliknya.Â
Temuan tersebut kemudian dipasarkan dengan harga sekitar 2juta-an. 2 temuan pertama berhasil diselamatkan oleh pihak Museum Lumajang. 2 temuan berikutnya diselamatkan oleh LSM yang bekerja sama dengan pengusaha Lumajang sehingga 2 prasasti tersebut bisa dibeli dan disimpan oleh putra Lumajang sendiri.
Kasus berikutnya adalah persoalan penjarahan oknum yang mengatasnamakan pemerintah. Banyak juga dijumpai oknum-oknum yang datang ke desa-desa dengan memakai seragam pemerintah, kemudian mengambil artefak-artefak tersebut dengan dalih akan di bawa ke museum atau dengan dalih bahwa benda temuan tersebut adalah milik pemerintah.Â
Hal ini kemudian menimbulkan suatu permasalahan baru, yaitu munculnya rasa tidak percaya terhadap pemerintah dalam diri masyarakat yang merasa telah ditipu. Ketika masyarakat kemudian mendapatkan temuan baru, muncul rasa enggan untuk melakukan laporan kepada aparat pemerintah karena muncul anggapan bahwa benda temuan tersebut akan diminta oleh pemerintah
Dari sekian banyak masalah, bisa disimpulkan bahwa titik utama dari permasalahan pelestarian sejarah dan budaya di masyarakat adalah kurangnya sosialisasi hingga ke tingkat bawah. Terkadang, sosialisasi sudah dilakukan tetapi masyarakat bawah kurang bisa memahami apa yang dimaksudkan dalam sosialisasi tersebut.Â