Mohon tunggu...
Wulan Asmi Nurapipah
Wulan Asmi Nurapipah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Kp.Boregah Rt02/Rw09 Desa Cilampunghilir Kecamatan Padakembang Kabupaten Tasikmalaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Trend Generasi Sandwich di Indonesia: Antara Tradisi dan Modernitas

22 Desember 2023   08:17 Diperbarui: 22 Desember 2023   08:21 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kira-kira apa sih yang ada dipikiran kalian kalau mendengar kata sandwich generation? pasti langsung tertuju pada roti berlapis yang enak dan lezat gitu kan? Eitss tetapi bukan ya sobat. Sandwich disini gak bahas tentang makanan melainkan generasinya yang lagi hitz dimasyarakat khususnya di sosial media.

Di tarik dalam sebuah jurnal karya Dorothy A.Miller yang berjudul "The Sandwich Generation Adult a Children of Aging (1981)" sandwich generation merupakan suatu generasi yang terhimpit oleh dua lapisan yang berbeda, yakni pada lapisan atas diisi oleh generasi atas (orang tua, kakek- nenek) dan pada lapisan bawah diisi oleh generasi bawah (adik, anak,cucu). 

Seperti halnya sandwich yang berlapis-lapis, namun bedanya pada lapisan sandwich diisi oleh daging dan sayuran yang lezat. Sedangkan pada lapisan sandwich generation diisi oleh beban-beban yang sangat berat. Pasti sobat disini bertanya-tanya kan kenapa? 

Nah jadi jawabannya yaitu karena seorang sandwich generation ini ditugaskan atau bertanggungjawab untuk membantu kebutuhan finansial kedua lapisan yang tadi. Dia bekerja bukan hanya untuk membiayai kebutuhannya sendiri melainkan mereka juga. Maka dapat dikatakan bahwa sandwich generation ini menanggung 3 generasi sekaligus yakni generasi atas, generasi bawah, dan dirinya sendiri. Gak kebayang kan tuh ruwet nya jadi sandwich generation.

Generasi sandwich ini dapat dianalisis melalui teori konflik Dahredorf, menurutnya masyarakat lahir karena adanya konflik yang menghadirkan konsensus serta integrasi. Pada dasarnya konflik hadir karena adanya otoritas. Jika kita analisis teori ini dengan sandwich generation, konflik yang terjadi adalah konflik peran yang mengharuskan satu anggota keluarga membiayai keluarga yang lain sehingga ia harus mengemban 2 peran sekaligus. Konflik peran ini dipicu karena adanya otoritas dari norma sosial serta tuntutan keluarga. Meskipun ada konflik yang terjadi para sandwich generation bertujuan agar keluarganya dapat tetap terintegrasi secara finansial.

Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih terikat dengan norma adat dan norma agama, bahkan dibeberapa kalangan masyarakat, generasi sandwich masih menjadi sebuah tradisi turun temurun. Menurut KBBI, tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa membiayai keluarga terutama orang tua adalah suatu kewajiban dan tanggung jawab. 

Hal ini juga didukung oleh Pasal 46 UU Perkawinan yang berbunyi "anak yang telah mencapai usia 18 tahun atau 21 tahun menurut KUH Perdata atau sudah kawin sebelumnya dikatakan anak yang telah dewasa dan wajib memelihara orang tuanya menurut kemampuannya dan bila mereka memerlukan bantuannya". Apabila terdapat norma yang berlaku, baik itu tertulis maupun tidak tertulis sehingga menjadi suatu nilai sosial masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun