Mohon tunggu...
Wukufiatul Arafah
Wukufiatul Arafah Mohon Tunggu... -

Kugantungkan cita-citaku setinggi, siapa tahu mimpiku bisa menggapainya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ngeblog Sahur Ibuku Menangis...

15 Agustus 2012   18:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:42 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dua hari terakhir ini, Ibuku kerap menangis sendirian di kamar, di dapur, dan kadang saat nonton bareng acara televisi. Matanya sembab dengan air mata. Kita sebagai anaknya merasa heran kenapa ibunya menangis. Inikan tidak tahu sebab-musababnya.

Saya bertanya kepada Papa juga tidak bisa memberikan detail penjelasan. Saat ibu penyiakan menu untuk berbuka, kembali saya melihat air mata ibu menetes pelan pada kedua pipinya. “Ibu, kenapa menangis?” tanyaku penasaran. Nanda kan sudah berada di sini, tidak jauh lagi dengan ibu.

Mungkin ibu cekcok dengan Papa ya. Jelasin dong bu,” desakku ingin mengorek masalah yang dihadapi ibunya.

Ibu, jangan seperti itu, nanda jadi ikut sedih menyaksikan ibu seperti itu. Ibu minta nanda pulang dari Lombok, kini sedang mendamping ibu, nyiapin makanan sahur dan berbuka. “Ada apa sebenarnya bu...?” tanyaku kian penasaran.

Spontan ibuku memelukku dan menumpahkan segala kesedihannya. Ibuku menangis tersedu-sedu. Saya jadi ikut-ikutan menangis tanpa tahu masalah yang sebenarnya. “Nak, saya sedih karena sebentar lagi bulan puasa meninggalkan kita,” ujarnya dengan deraian air mata. Ibuku mengaku belum tahun apakah tahun depan masih bisa bersama seperti ini, berbuka bareng. Saling maaf-memaafkan, bisa saling menyayangi. Bisa menyiapkan segalanya untuk makan sahur dan berbuka.

Tiga tahun lalu kakekmu berpuasa bareng dan berbuka bareng dengan semua anak dan cucunya, tetapi kini sudah tiada. “Nak, maafkan ibu yang sering marah padamu,” ucapnya seraya tangannya kembali memelukku, mencium keningku dengan kecupan manis seperti saat aku masih kecil.

Menyaksikan peristiwa itu, tangisanku pecah, Ibuuuu, teriakku. Saya banyak berdosa pada ibu, banyak membiki ibu susah, sering bikin ibu nangis. “Maaf nanda bu...jangan dulu tinggalkan kita sebelum nanda mengabdi dengan baik pada ibu dan bapak,” ucapku dan tanganku kian erat memeluk ibuku.

Segala puji bagi-Mu wahai Rabb-ku yang menghadirkan bulan yang mulia, menyadarkan hamba yang lalai menyayangi satu dengan lain, saling maaf-memaafkan. Semoga kita bisa meraih kemenangan atas fitra kemanusiaan di bulan yang mulia ini.

Medio Ramadhan 1433 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun