Masyarakat Kabupaten Luwu Timur sedang gerah. Aksi penolakan terhadap Komisaris Independen PT Vale Indonesia Tbk sudah berlangsung selama 6 (enam) hari dan semakin meluas. Sejak dimulai dengan aksi blokir jalan di Wasuponda(23/5), hari ini berlangsung juga di Wawondula (Mulai 26/5) dan Malili (Mulai 28/5).
Aksi penolakan terhadap pengangkatan Komisaris Independen PT Vale Indonesia Tbk adalah satu dari sekian hal yang telah dan akan terjadi di masa depan yang menunjukkan bahwa antara PT Vale sebagai entitas modal yang menumpang operasi atas izin Pemerintah Pusat dengan masyarakat lokal/asli, ada perbedaan paradigma penting dalam mengelola berbagai isu sosial di daerah ini.
Lebih jauh berdasarkan hasil survei EMPATI, sebuah LSM lokal, demontrasi yang dilakukan secara aktiv oleh pemuda-pemuda ini bukanlah fenomena sosial yang terjadi secara acak karena dari data faktual mereka memang secara sosial terpinggirkan oleh kebutaan korporasi dan kebijakan yang kurang berpihak kepada mereka.
Beberapa titik perbedaan itu, antara lain:
1. PT Vale Indonesia Tbk (baca juga: PT Inco), memahami bahwa masyarakat asli adalah warga negara Indonesia yang lahir dan besar di wilayah kontrak karya mereka. Sementara bagi masyarakat setempat yang telah menghuni area ini sebelum PT Inco masuk, masyarakat asli adalah mereka. Mereka yang telah ada disini sejak berabad-abad silam, yang akan tetap disini meskipun korporasi itu ada atau tidak ada, terutama setelah mereka selesai menguras kekayaan bumi ‘mereka’.
Sedapat mungkin mereka tidak ingin berhubungan dengan kerumitan dan potensi konflik kepentingan, yang membuat mereka sedapat mungkin berhubungan dengan pemerintah (terutama pemerintah pusat) yang menerima semua hasil royalti produksi nikel dan pajak air, sewa tanah. “Sepanjang 2003, telah memberikan US$ 240 juta kepada Pemerintah, membayar dalam bentuk sewa sebesar US$1.00 per hektar per tahun kepada pemerintah.” Merupakan jawaban korporasi terhadap pertanyaan sumbangsih mereka. Bagi mereka, adalah kewajiban Pemerintahlah untuk mengusahakan kesejahteraan warga negaranya, terutama penduduk asli dimana mereka beroperasi. Sementara masyarakat lokal berpendapat sebaliknya. Mereka tidak tahu dan sulit memahami bahwa segala royalti hasil bumi, sewa tanah dan pajak air bukan diperuntukkan buat mereka. Yang mereka pahami bahwa korporasilah yang secara nyata telah mengeruk hasil bumi tempat mereka berpijak, tempat moyang mereka dulu hidup dengan berburu dan mengumpulkan.Korporasilah yang telah hadir namun alpa kepada mereka, bukan Pemerintah.
2. Program pemberdayaan masyarakat yang dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat lokal terdampak operasi pertambangan mereka, dilakukan seakan tanpa jiwa karena absennya alat-alat ukur kemajuan dalam pembuatan dan pelaksanaan program. Pemberdayaan kemudian hanya ditampilkan sebagai: pembuatan jalan, pembangunan puskesmas, bantuan modal kepada kelompok A, dan yang paling parah adalah kalimat “telah menghibahkan dana sebesar US$1.5 juta untuk pemberdayaan masyarakat.
”Tidak adanya acuan keberdayaan masyarakat dalam program-program yang dibuat dan dilabeli ‘pemberdayaan’ tersebut menunjukkan bahwa program-program tersebut dibuat seadanya untuk meninabobokkan masyarakat dan menentramkan masyarakat luas yang melihat dan mengevaluasi kinerja perusahaan terkait tanggung jawab sosialnya. Apakah siginifikansi dana tersebut bagi penduduk lokal/asli? Berapa besar peningkatan pendapatan mereka? Berapa persen dari masyarakat lokal yang karena program pemberdayaan menamatkan pendidikan mereka di perguruan tinggi? Bagaimana perubahan tingkat kesehatan masyarakat lokal/asli akibat pemberdayaan tersebut? Dan banyak pertanyaan terkait nilai-nilai keberdayaan yang dapat diukur dan didasarkan pada survei yang menunjukkan masalah-masalah nyata di masyarakat.
3. PT Vale Indonesia Tbk buta kondisi sosial masyarakat. Mereka tidak memahami perkembangan sosial yang terjadi bersamaan dengan pertambahan penduduk tetapi tanpa dibarengi prioritas untuk menggunakan jasa mereka.
Pada tahun 2008, EMPATI sebuah LSM lokal mengadakan survei kesehatan yang sekaligus mendata beberapa fakta sosial penduduk asli di daerah ini yang hasilnya:
A. Dari total 1397 Kepala Keluarga (KK) dan 6450 jiwa, terdapat 1797 jiwa usia 16-30 tahun, 1578 jiwa usia 31-50 tahun, 780 jiwa usia diatas 50 tahun dan 2295 jiwa usia 0-15 tahun. Dari data tersebut terdapat 3375 jiwa angkatan kerja, dengan 53% diantaranya adalah golongan pemuda. Dari seluruh angkatan kerja tersebut, yang terserap oleh aktivitas PT Inco/ PT Vale termasuk kontraktor adalah 312 jiwa (9%). Petani dan penggarap lahan sebanyak 937 jiwa (28%). PNS/TNI/POLRI sebanyak 117 jiwa (3%). Pengangguran dan buruh lepas sebanyak 679 jiwa (20%). Ibu rumah tangga sebanyak 1194 jiwa (35%) dan sisanya wiraswasta, pedagang dan lain-lain. Angkatan kerja sebanyak 679 jiwa yang tunakarya dan buruh lepas ini yang harus diperhatikan. Tidak adanya saluran bagi mereka untuk berkarya, rawan perilaku yang buruk bagi masyarakat, dan mudahnya mereka melakukan tindakan-tindakan anarkis. Untungnya kontrol sosial masyarakat asli yang baik serta kebiasaan mereka menjunjung tinggi toleransi dan persahabatan humanis belum pernah berujung tindakan-tindakan massal yang anarkis dan menyimpang. Adanya 2295 jiwa berusia 0-15 tahun harus diperhatikan masa depannya karena jika kesempatan bekerja tidak bertambah, pendidikan mereka yang terhambat faktor ekonomi, akan menambah angka pengangguran di wilayah ini.
B. Pendapatan per bulan penduduk asli (yang bekerja) hasil pendataan tersebut adalah rata-rata antara Rp 100.000 sampai Rp 500.000 per bulan. Pendapatan sebanyak itu, menunjukkan kurangnya mereka di’sentuh’. Meskipun gembar-gembor program dan lain sebagainya, data faktual di lapangan menunjukkan tingkat kemakmuran penduduk tidak beranjak dari sekadar kemampuan untuk hidup. Kesehatan, pendidikan, gizi bukan menjadi prioritas. Sementara mereka membandingkan kondisi mereka dengan kehidupan ‘pendatang’, mereka menemukan dirinya timpang secara ekonomi dan sosial. Kondisi seperti inilah yang membutuhkan program-program pencipta kesempatan seperti pengembangan masyarakat PT Vale, untuk memberi kemungkinan lain bagi pemenuhan kondisi hidup yang lebih baik dan karenanya mengurangi kemungkinan benturan sosial, baik terhadap PT Vale, pemerintah maupun horizontal.
C. Tingkat pendidikan secara umum berdasarkan data, adalah tamatan SD (termasuk mereka yang tidak bersekolah atau tdak tamat SD) sebesar 25% dari seluruh populasi dengan tamatan diploma dan S-1 sebesar 5%. Sebab utama untuk masalah tersebut adalah faktor pendapatan penduduk berdasarkan hasil rekap yang menunjukkan 50% dari seluruh populasi, pendapatannya adalah antara Rp 100.000 sampai Rp 500.000 per bulan. Hal ini mengurangi kemungkinan bersaing dengan orang lain, yang bisa dikurangi jika kebijakan merekrut mereka didahulukan agar tidak ada perpindahan penduduk tanpa skill yang merebut kesempatan mereka dan menambah rumit persoalan sosial di daerah ini, yang bisa mengurangi tingkat pengangguran yang ada dan kemungkinan masalah-masalah sosial yang timbul karenanya.
[caption id="attachment_191101" align="aligncenter" width="448" caption="Pemuda berdemo di Wasuponda, 25 Mei 2012 (Atas izin Henderson Mbotenggu)"][/caption] [caption id="attachment_191102" align="aligncenter" width="448" caption="Pemuda berdemo di Wasuponda, 25 Mei 2012 (Atas izin Henderson Mbotenggu)"]
Para pemuda yang berdemo, akan selalu ada untuk melakukannya selama hal-hal yang dianggap belum tepat dan sesuai terjadi, dalam kaitannya dengan entitas modal, pemerintah dan keberadaan mereka serta ketimpangan faktual yang terjadi. Jika nurani dipakai untuk menilai data-data survei diatas, dan dijadikan landasan untuk berbuat, pastidemonstrasi seperti ini tidak akan pernah berlarut bahkan mungkin tidak pernah terjadi.
(Wasuponda – 28/5/2012) Catatan:
Beberapa anggota Direksi PT Vale Indonesia Tbk yang dihubungi terkait demontrasi ini menyatakan tidak bisa memberikan tanggapan.
Demostrasi hari pertama: http://regional.kompasiana.com/2012/05/23/tutup-jalan-masyarakat-tolak-komisaris-independen-pt-vale-indonesia-tbk/
Demonstrasi hari kedua: http://regional.kompasiana.com/2012/05/24/demostrasi-berlanjut-masyarakat-tuntut-presiden-komisaris-minta-maaf/
Sumber data EMPATI:http://www.empati-lutim.org/category/database/
Tanya jawab dalam website PT Inco:http://www.pt-inco.co.id/new/f_community.php
Tanya: Seberapa besarkah kontribusi ekonomi kepada Indonesia sebagai hasil dari KK? PT Inco: Sepanjang tahun 2003, kami telah menyumbangkan lebih dari US$ 240 juta kepada pemerintah melalui kegiatan operasional, modal dan pengeluaran yang berhubungan dengan kemasyarakatan, royalti produksi nikel dan pajak air, sewa tanah.”
Tanya: Siapakah pemilik tanah yang berada pada wilayah kerja KK? Apakah mereka mendapatkan kompensasi? PT Inco: Tanah tersebut adalah milik pemerintah Indonesia. Ketika KK ditanda tangani, perusahaan, dalam hal ini PT Inco akan membayar dalam bentuk sewa sebesar US$1.00 per hektar per tahun kepada pemerintah atas kesempatan yang diberikan untuk mengelola wilayah dibawah KK.