Mohon tunggu...
D Wuala Tanggopu
D Wuala Tanggopu Mohon Tunggu... Administrasi - Murid

Murid kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Semoga Kita Tidak Membenarkan Munarman!

30 Juni 2013   18:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:12 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_271448" align="alignnone" width="532" caption="Diskusi (Sumber: http://intisari-online.com//media/images/1950_diskusi_bukan_debat_kusir.jpg)"][/caption]

Munarman menyiram Prof  Thamrin Amal Tomagola dengan air teh. Sebuah diskusi, acara televisi disiarkan langsung yang diakhiri dengan siraman air teh bukanlah tontonan berintelektual yang diharapkan pada sebuah pagi, hari Jumat, 28 Juni 2013.

Biasanya main fisik dalam debat, seperti yang dilakukan Munarman, hanya terjadi pada mereka yang tidak terbiasa dengan iklim berintelektual. Hal-hal terkait intelektualitas biasanya diasosiasikan dengan tingkat pendidikan, yaitu usaha mendidik yang melaluinya terjadi interaksi antara pemberi didikan dengan penerima didikan dan antara penerima didik yang satu dengan yang lain. Dalam proses tersebut akan timbul reaksi yang berbeda-beda, proses mempertanyakan, proses memahami dan menerima atau menolak, yang melalui repetisi membuat orang paham betul bagaimana menyikapi perbedaan dan bagaimana berdiskusi.

Karena itulah kita sulit menerima apa yang dilakukan Munarman terjadi dalam sebuah diskusi, saat-saat dimana intelektualitas dirayakan. Saat dimana otot-otot fisik dikendurkan, gagasan-gagasan dilempar-lemparkan ke udara yang sarat logika, dan kata-kata berurat-berakar menjadi otot, dibentur-benturkan, berpilin-pilin menjelma sebuah mahluk hidup “kebenaran saat itu” yang dipahami oleh semua pihak, yang otot-ototnya adalah ratusan, ribuan urat-urat argumen dari semua pihak yang terlibat didalamnya.

Sayangnya, diskusi dan debat juga melibatkan menang-kalah dan karena itu kuasa, dan karena itu fisik. Kadang terjadi, ada gelintir orang yang karena paham situasi diskusi menempatkan posisi yang dibelanya lemah dan secara intelek sedang dihancurkan, sementara senjata untuk memertahankan diri sudah habis, akan mengambil langkah-langkah drastis untuk memaksakan kondisi tidak menang maupun kalah. Biasanya dengan melakukan manuver-manuver fallacy seperti menyerang pribadi lawan, memutar-mutar pembicaraan dengan alur tanpa logika yang membuat lawan bingung dengan tujuan untuk memancing emosi pihak lain agar dapat  diakhiri dengan pertengkaran bukan soal apa yang dibicarakan tetapi tentang hal lain yang tidak berhubungan seperti cara-cara berpendapat, logika yang digunakan, pribadi masing-masing dan sebagainya.

Jika cara-cara lain tidak berhasil, senjata paling akhir adalah serangan fisik. Seperti yang dilakukan Munarman, dengan sebelumnya memberi penyampaian panjang lebar, dengan membandingkan/ menyebut pendapat Prof Thamrin sebagai salah atau tidak bisa diterapkan, yang memancing sang Profesor untuk menyela karena berniat meluruskan argumennya yang menurutnya disitir oleh Munarman secara salah. Saat itulah serangan fisik itu terjadi. Diskusi berakhir dengan orang-orang hanya berdebat soal sopan santun, dan aksi siraman, bukan soal isi diskusi:  aksesibilitas tempat hiburan malam selama bulan Ramadan dan sweeping-sweeping ormas terkait hal tersebut.

Peristiwa ini akan terus diingat orang terkait Munarman, setinggi dan serendah apapun dia akan terbang nantinya. Sebuah cara yang tidak mendidik masyarakat Indonesia, terutama anak-anak, bahwa kegiatan berintelektual adalah soal gagasan (ide, pikiran, logika) dan tidak melibatkan fisik sama sekali; bahwa serangan fisik untuk menghentikan diskusi, untuk memberangus perbedaan adalah sebuah degradasi yang hanya akan mendidik orang soal kuasa dalam hubungannya dengan menang-kalah, bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan sebuah masalah adalah cara-cara fisik yang hanya akan melatih otot-otot fisikal tetapi melemahkan otot-otot mental kognitif kita.

Semoga kita sedang tidak membenarkan apa yang dilakukan Munarman!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun