Inilah aku si Noceng. Aku bukan yang paling bontot, namun aku sering terlihat di kotak-kotak amal, di tangan tukang parkir dan tukang gorengan, di genggaman anak SD yg gemar jajan di sekolahnya, atau diberikan kepada pak ogah di jalan. Ah, apalah aku ini. Sekedar menjadi uang receh. Bahkan pernah pula diinjak di trotoar yang becek.
Tahun terbitku 2011, walau tahun emisiku dari 2009, selama 6 tahun aku melanglang buana di seantero Indonesia. Dari Jakarta aku sudah terlipat di dompet kenek bus AKAP, kembalian uang rokok katanya. Selepas itu aku mampir di dalam kantong plastik bekas permen milik pengamen tua di Purwokerto. Keesokan harinya, si noceng ini sudah diikat menggunakan karet untuk kembalian retribusi di terminal bus Bulupitu. Ah, tak terbayangkan. Meskipun si noceng ini bukan travel blogger papan atas Indonesia, sudah banyak tempat disinggahi.
Aku tak akan lama berada di dalam dompet yang isinya ceban, noban, cepek ceng dan goban. Paling cepat aku berpisah dengan mereka dan kemudian bergabung dengan sesama noceng lainnya. Istilah kata orang Batam, kembali ke puaknya. Beda dengan uang lainnya, misalkan goban, kehidupan mereka tidak bervariasi. Begitu keluar dari ATM, dibelanjakan ke gerai cepat saji yang banyak kelas menengah ngeheknya, disimpan di sana semalam, disetorkan lagi ke bank, esoknya beredar lagi di ATM. Begitu seterusnya, tidak menarik.
Bericara Kebhinekaan yang sedang hangat-hangatnya nih, aku, si Noceng ini, kadang ingin tertawa. Walaupun aku sudah banyak mengenal berbagai suku, agama, ras dan antar (golongan), tetap saja tidak ada yang memberikanku gelar S3 macam si nganu itu. Siapa yang ada di dalam saku baju si Ambon itu ketika dia di dalam jamban? Atau tebaklah isi amplop si Abdul setiap kali kondangan ke tetangganya?Dan berapalah yang diberikan oleh bule-bule yang suka jalan kaki itu kepada pengamen bersuara serak-serak banjir itu? Paling miris ketika aku juga, si Noceng ini, yang harus berhadapan dengan anak jalanan yang berjualan koran “lampu merah”. Tambahin kek gitu.
Si Noceng yang bukan paling ganteng ini, dengan segala kode pengaman dan warna abu-abu tua bergambar Pangeran Antasari yang muslim itu, Alhamdulillah, belakangan ini merasa was-was. Sudah lebih dari tujuh tahun si Noceng ini beredar. Baru tahun ini merasa takut di sweeping. Takut masuk lokap, wak. Gara-gara rektoverso itu. Mirip tanda kuminis, katanya si nganu. Sialnya di Noceng yang baru juga tetap ada. Alamakjang, masuk barang tuh.
Belum lagi kalau nyucinya pakai mesin cuci. Diputar-putarlah kami selama lima belas menit. Pusing, wak. Belum lagi kalau diputarnya sama sprei bekas ngompol atau muntah. Aarrgghhh. Deritanya. Sudah selesai? Belum, wak. Setelah itu dibilas dan dikeringkan. Kalau pakai mesin sih mending. Kalau pakai tangan? Diperasnya Noceng ini macam peras jeruk. Belibat jadinya. Bukan kek peras susu sapi yang dielus-elus dulu. Trus di jemur seharian di bawah sinar matahari. Matang kali barang tuh. Sesudah itu digosok. Keringlah, awak ini.
Apakah kejadian ini cukup sekali? Tidak, wak. Selama si Noceng ini beredar, sudah berkali-kali mengalaminya. Bukan hanya kecuci, buat ganjal meja makan yang miring pun pernah. Sadis kali orang Indonesia ini terhadap si Noceng ini. Kalau hanya di streples masih mending. Pernah juga si Noceng ini dikoyak. Terpaksalah kami operasi plastik. Bukan yang mahal kayak artis pelakor itu, wak. (Lem) plastik seharga noceng juga.
Tak terbayangkan kalau nanti kami ini dirazia macam PKI jaman dulu. Apalah yang akan kalian lakukan terhadap si Noceng ini? Ditusuk? Dibakar? Asal jangan dicuci ajah lagih.
Do’aku buat kalian, akur-akurlah sesama anak bangsa. Peace.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H