Mohon tunggu...
Wesly Sinulingga
Wesly Sinulingga Mohon Tunggu... -

Cuma ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesenjangan Pendapatan: Fenomena di Tengah Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

8 Desember 2014   16:19 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14180050912104903202

Majalah Forbes baru saja merilis daftar orang terkaya di Indonesia pada tahun 2014. Orang terkaya di Indonesia berturut-turut adalah Budi dan Michael Hartono ($16,5 miliar), Susilo Wonowidjojo ($8 miliar), dan Anthoni Salim ($5,9 miliar). Total kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia tersebut adalah sebesar $102 miliar atau setara dengan 12 persen PDB nasional tahun 2013. Para investor properti Indonesia merupakan investor asing ketiga terbesar untuk kepemilikan apartemen mewah di Singapura (Detik Finance, 2013). Di sisi lain, Azahra Wulandari, 1 tahun, meninggal di rumahnya di Kabupaten Bekasi akibat kurang gizi (under nutrition) setelah terpaksa keluar dari rumah sakit karena orang tuanya tidak memiliki dana untuk biaya pengobatan.

Gambaran di atas merupakan potret kesenjangan di Indonesia. Tingkat kesenjangan pendapatan di Indonesia mencapai level tertinggi sejak setengah abad terakhir (OECD, 2014). Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, menyampaikan bahwa pendapatan per kapita, baik golongan kaya maupun miskin, sama-sama meningkat. Namun ketimpangan pendapatan yang semakin lebar terjadi karena laju kenaikan pendapatan golongan kaya lebih cepat daripada golongan miskin.

Kesenjangan Pendapatan Semakin Lebar

Indonesia memiliki catatan yang cukup baik dalam hal pertumbuhan ekonomi setelah terpuruk akibat krisis keuangan pada tahun 1997-1998. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen per tahun dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi idola baru yang diperhitungkan secara global. Lebih lanjut, kondisi politik dan makro ekonomi yang relatif stabil membuat Indonesia mampu menarik investor asing untuk masuk ke pasar nasional. Melihat pesatnya pertumbuhan ini, Indonesia bersama dengan Meksiko, Nigeria, dan Turki (MINT) pun diperkirakan menjadi kekuatan ekonomi masa depan.

Namun, pertumbuhan ekonomi nasional yang terus meningkat dibarengi dengan semakin lebarnya perbedaan pendapatan antara golongan kaya dan miskin. Kesenjangan, yang diukur dengan koefisien GINI, menunjukkan adanya tren kenaikan dalam kurun waktu 27 tahun belakangan ini, baik skala nasional maupun lokal.

Perbedaan cukup mencolok antara si kaya dan si miskin terlihat sangat jelas di daerah perkotaan. Masyarakat dan pekerjaan yang heterogen menimbulkan perbedaan pendapatan yang signifikan di perkotaan. Dari manajer dan CEO dengan gaji puluhan juta rupiah sebulan sampai dengan pemulung dengan penghasilan kurang dari lima ratus ribu rupiah dapat ditemui dengan mudah di kota-kota besar, seperti Jakarta. Sedangkan masyarakat di pedesaan cenderung lebih homogen sehingga kesenjangan pendapatan tidak terlalu lebar.

Sumber: Badan Pusat Statistik dan World Bank (diolah)

Bank Dunia mencatat 20 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 43,7 persen pendapatan nasional pada tahun 2010 sedangkan 20 persen masyarakat termiskin hanya menguasai 7,6 persen. Tren kesenjangan pendapatan berbeda-beda di antara negara-negara ASEAN. Jika Indonesia dan Malaysia mengalami kenaikan kesenjangan pendapatan, sebaliknya dengan Filipina dan Thailand. Sedangkan koefisien GINI di Singapura relatif stabil sejak tahun 2005.

Pertumbuhan untuk Semua Lapisan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan dalam satu dekade terakhir seharusnya meningkatkan taraf hidup semua lapisan ekonomi. Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan yang signifikan. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen, persentase penduduk miskin di Indonesia turun kurang dari 1 persen dalam 5 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi belum mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh penduduk Indonesia.

Dari sisi geografis, pembangunan lebih banyak diinvestasikan di pulau Jawa. Badan Koordinasi Penanaman Pasar Modal mencatat sebanyak 52 persen realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan  61 persen dari total PMA didistribusikan di pulau Jawa pada tahun 2013. Besarnya investasi, baik asing maupun swasta nasional, yang masuk ke pulau Jawa disebabkan infrastruktur yang lebih baik di pulau Jawa dibandingkan dengan daerah-daerah di luar Jawa.

Pemerintah tentunya tidak dapat membatasi jumlah investasi swasta nasional dan asing untuk provinsi atau pulau tertentu. Peran pemerintah untuk mewujudkan pemerataan pembangunan nasional dapat dilakukan dengan menyediakan infrastuktur yang lebih baik di luar Jawa sehingga merangsang masuknya investasi asing dan swasta nasional. Infrastruktur yang baik dapat mengurangi transaction costs perusahaan. Anggaran infrastruktur pada APBN-P 2014 tercatat sebesar 177,9 triliun rupiah, meningkat 14 persen dari APBN 2013.

Selain permasalahan infrastruktur, masalah sumber daya manusia merupakan isu yang harus diatasi untuk mempersempit kesenjangan pendapatan. Penanaman Modal Asing (PMA), misalnya, sering kali ditujukan untuk industri-industri padat modal dengan menerapkan teknologi canggih sehingga memerlukan pekerja dengan level pendidikan dan keahlian tertentu dengan gaji yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lokal. Mereka yang tidak mampu bersaing akan tetap bertahan dengan tingkat pendapatan yang naik secara proporsional dengan kenaikan inflasi atau bahkan cenderung tetap.

Ketidakmerataan akses, terutama ke fasilitas pendidikan dan kesehatan, merupakan faktor penyebab makin meningkatnya kesenjangan pendapatan. Golongan menengah ke atas dianggap memiliki keleluasaan untuk memilih jenis pendidikan dan level rumah sakit yang lebih baik dibandingkan mereka yang tergolong dalam masyarakat menengah ke bawah. Jangankan dapat memilih, mampu untuk bersekolah dan berobat ke rumah sakit seringkali merupakan “barang mewah” bagi masyarakat miskin.

Jenis bantuan pemerintah untuk masyarakat miskin perlu dipertimbangkan secara lebih hati-hati. Batuan pemerintah sebaiknya dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dalam jangka panjang, bukan hanya sebagai “angin segar” sesaat. Bantuan sosial sejenis Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya, merupakan salah satu contoh instrumen temporer yang digunakan pemerintah untuk menolong masyarakat miskin sebagai akibat  kenaikan harga bahan bakar minyak. Dalam jangka panjang, peningkatan produktivitas pekerja dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas pendidikan, pelatihan dan kesehatan yang memadai.

Dengan hampir 50 persen pekerja di Indonesia berpendidikan SD ke bawah, sektor pendidikan memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas pekerja di Indonesia. Dengan pendidikan lebih tinggi, keahlian individu diharapkan meningkat dan bisa mendapatkan pekerjaan yang memberi return yang lebih baik.

Sebenarnya pemerintah sudah mengalokasikan dana yang cukup dalam APBN. Sebanyak 375,4 triliun rupiah (20 persen dari total belanja negara) dialokasikan untuk anggaran pendidikan dan 67,5 triliun rupiah (3,7 persen dari total belanja negara) untuk kesehatan. Alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan yang relatif besar harus lebih dapat dirasakan oleh masyarakat golongan miskin. Target penerima dana bantuan pendidikan dan subsidi kesehatan untuk masyarakat miskin sebaiknya disusun dengan akurat sehingga fasilitas-fasilitas tidak menjadi fasilitas gratis bagi “orang-orang berduit”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun