Mohon tunggu...
Wida Semito
Wida Semito Mohon Tunggu... -

Work for a cause NOT for applause. Live life to express NOT to impress

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ayo Kita Pulang, Om! (Surat untuk H. Prabowo Subianto)

5 Agustus 2014   04:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:24 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Om Bowo – ijinkan saya panggil “Om” ya, agar tiada jarak memisah – kala saya menulis surat ini, saya sedang berlibur lebaran di rumah kakak saya di satu kampung – atau lebih kata ponakan saya adalah ibu kota kabupaten Tulang Bawang, Lampung.

Ini kali pertama saya kunjungi rumahya, setelah belasan tahun mereka pindah dari hiruk pikuk ibukota Jakarta. Begitu saya masuk ke pintu, di kaca jendela tepasang stiker gambar garuda merah berlatar putih – mungkin sisa-sisa kampanye Pilpres [Pemilu Pemilihan Presiden] lalu, dan setelah saya amati beberapa rumah tetangga di sekitar, ternyata hampir di setiap jendela rumah terpasang stiker garuda merah berlatar putih. Tanpa harus memiliki keahlian sebagai ekpertis di bidang politik, semua orang bisa menyimpulkan bahwa kampung kakak saya adalah basis dari pendukung Om, meski sebagian besar penduduk wilayah ini adalah pegawai negri dan entah mengapa sepertinya para abdi negara ini kelihatannya menjadi “fans” terbesar dari Om, bahkan info dari ponakan saya pun, ayahnya – kakak ipar saya – yang menjadi PNS di tempat ini pada pemilu Pilpres lalu memilih Om. PNS Om! PNS! :)

Saya jadi ingat Om, fenomena jelang Pilpres di sini ini sama persis dengan beberapa belas tahun lalu ketika Soeharto dan parpol GOLKAR menjadi penguasa di negri ini, manakala semua PNS sudah bisa dipastikan harus menjadi “kader” GOLKAR, mau tidak mau, suka tidak suka. Bahkan tidak hanya mereka yang menjadi PNS saja, Militer, ABRI, POLISI, pokoknya semua yang namanya abdi negara hukumnya adalah WAJIB,  KUDU, HARUS  dan OTOMATIS menjadi kader Golkar atau memilih parpol Golkar pada setiap pemilu 5 tahunan [dulu mah belum ada istilah pemilu legislatif ya Om, yang ada pokonya PEMILU entah pemilu apa, saya juga gak paham].

Bahkan bukan hanya PNS atau mereka yang berkarya di militer saja, mereka yang jadi buruh di perusahaan privat yang berafiliasi dengan rezim Orba pun “mewajibkan” semua pegawainya memilih parpol Golkar setiap kali pemilu tiba dan ini menjadi akar pahit tersendiri bagi banyak orang yang saya kenal, karena bertentangan dengan nuraninya dan jalan yang harus dipilih adalah mengundurkan diri dari perusahaan tersebut meski dengan resiko periuk nasinya menjadi kosong dan anak-istri atau anak-suami mereka terancam “kelaparan” demi sebuah pilihan nurani.

Menyedihkan dan mengerikan masa-masa itu Om! sungguh!

masa ketika kebebasan adalah sebuah harga mahal yang harus di tebus dengan kelaparan dan diasingkan!

dan saya berharap, masa itu JANGAN terulang kembali, dalam bentuk apapun!

Kini....semua pesta dan hiruk pikuk usai sudah Om!

Tiada lagi puja puji – dan semoga juga – tiada lagi caci maki!

Puja puji dan caci maki hanyalah sementara. Seperti sebuah siklus kehidupan; bak roda yang selalu berputar, seperti bumi yang selalu setia mengelilingi matahari tiada henti hingga tercipta siang dan malam. Seperti itulah puji dan caci maki!

Om, tahu tidak, kemarin lalu ketika penghitungan suara  nasional sedang berlangsung di KPU, tiba-tiba Om mengumumkan menarik diri dari penghitungan suara Pilpres yang sedang dilakukan KPU. Sungguh sedih sekali saya melihat Om lakukan itu, mengingatkan pada kelakuan curang saya ketika kecil, setiap kali saya tahu saya akan kalah dari permainan atas teman saya, di tengah permainan saya walk out dengan alasan teman saya bermain curang. Bahkan keesokan harinya berita tetang penarikan diri Om jadi olok-olok rekan-rekan kerja saya. Mereka katakan Om kekanak-kanakan karena tidak bisa menerima “kekalahan”, tidak berhenti di situ saja, disetiap sudut dimana saya datangi kabar pengunduran diri Om dari proses penghitungan suara menjadi bahan celaan dan gunjingan orang, bahkan hingga detik jelang lebaran pun kabar pernyataan Om itu masih jadi bahan guyonan dan celaan orang.

Itu sebabnya Om, sudahlah! mari kita pulang...

Saatnya pulang Om!

Ayok, kita PULANG!

Pulang kembali ke kehidupan kita yang dulu; damai, tenang....

Serahkan saja semua kemelut yang membelit pada hukum yang berlaku Om!

meski, kata orang di negri ini hukum bisa dibeli, kebebasan bisa di kebiri. tapi......biarlah!

jangan kita sulitkan diri dengan hal-hal remeh temeh yang tak berarti, sibuk menjadi orang lain seperti yang mulut-mulut usil inginkan. biarkan saja Om!

Jangan dengarkan mereka!

Mari, kita pulang Om! toh pesta pun sudah selesai, lampu sudah dimatikan, satu persatu tamu pun sudah beranjak berlalu, layar sudah diturunkan. Kita pulang Om!

Ayok pulang Om!; pulang ke rumah, pulang kepangkuan orang-orang tersayang, pulang ke tempat dimana kita bebas menjadi diri kita apa adanya dan mereka yang tersayang akan selalu menerima kita apa adanya BUKAN ada apanya!

Om, ada yang bilang: “Teman datang dan pergi, hanya teman sejati yang selalu ada di sisi dan jika mereka tetap di sisi, maka ini berkah yang harus dinikmati”.

Karena setelah pesta usai Om!

semua orang akan kembali pada urusannya masing-masing seperti semula. Namun....hanya teman sejatilah yang akan selalu di sisi setia menanti bersama kita.

Ayok, kita pulang Om!

pulang ke tempat, dimana tangan-tangan lembut dan hangat dari mereka yang setia mencintai kita akan selalu siap menanti kita dan memeluk kita dalam dekap hangatnya. Mari pulang, Om! Ayok kita pulang!

Tulang Bawang, 30 Juli 2014

Salam hormat & sayang selalu

Wida Semito

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun