Mohon tunggu...
Wida Semito
Wida Semito Mohon Tunggu... -

Work for a cause NOT for applause. Live life to express NOT to impress

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penghukuman Tanpa Proses Peradilan - Belajar dari tragedi 1965

20 September 2015   12:15 Diperbarui: 24 November 2015   13:52 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2015 ini genap setengah abad genosida pada anak-anak bangsa; kelompok ataupun simpatisan yg dianggap  "merah" 

Peristiwa 30 September 1965 merenggut tak sedikit nyawa manusia bahkan tak sedikit yang dipenjarakan di siksa tanpa suatu proses peradilan. Sebuah peristiwa yang bahkan oleh rezim orde baru di politisir sedemikian rupa dengan menghembuskan isu coup de tat; perebutan kekuasaan dengan cara yang tidak sah yang akan dilakukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia terhadap pemerintahan Soekarno.

Terlepas dari banyaknya versi tentang peristiwa 65 yang ada, bahwa pembunuhan manusia secara terorganisir, sistematis dan massif itu benar terjadi di negri ini dan berbagai usaha untuk menegaskan bahwa telah terjadi pembunuhan massal (genosida) lima puluh tahun yang lalu kini sedang di upayakan, salah satunya melalui Pengadilan Rakyat Internasional atau International People Tribunal di kota Den Haag Belanda bulan Nopember yang akan datang.

Bicara tentang penghukuman tanpa peradilan di Indonesia ini bukan hanya terjadi untuk kasus 65 saja, bahkan untuk kasus lainnya seperti kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan itu juga terjadi terutama pada masa rezim orde baru.

Tapi saya kira kasus penghukuman tanpa peradilan juga terjadi pada beberapa negara di belahan dunia lainnya, bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Mungkin ini terkait zona aman seseorang yang mulai terusik oleh tingkah laku seseorang atau kelompok, apalagi jika si empunya zona nyaman tersebut adalah mereka yang memiliki kuasa, mampu membeli hukum dan sedang bermain peran untuk menjadi Tuhan atas manusia lainnya. Wallahualam bishawab hanya Tuhan yang tahu.[]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun