Suatu hari, tanggal 9 Mei 2014, setelah mengurus suatu keperluan di Kota Depok, saya meniatkan diri untuk mengunjungi ibu saya di Banten. Saya ingat penanggalan hari itu, karena hari itu adalah hari di mana hasil rekapitulasi suara pileg diumumkan oleh KPU.
Namun di sini, saya tidak bermaksud membahas mengenai pemilu legislatif. Di sini, saya ingin berbagi pengalaman tentang kejadian yang saya alami, saat saya berada dalam perjalanan menuju rumah ibu saya.
Setelah beberapa jam dari Kota Depok, akhirnya saya tiba di Banten setelah Isya. Di perjalanan, saya memutuskan berhenti sejenak, sekedar untuk beristirahat sambil mengisi perut yang kosong. Seperti biasa, saya memesan nasi goreng plus telur dadar, yang semuanya diolah tanpa menggunakan vetsin. Begitulah selalu permintaan saya kepada penjaja nasi goreng, manakala saya memesan makanan tersebut.
Tatkala saya menunggu pesanan yang masih diolah, saya mengajak si penjaja ngobrol-ngobrol. Meski bagi saya hal itu hanyalah basa-basi. Namun tiba-tiba saja saya sedikit terheran-heran, lantaran si penjaja seperti terisak-isak. Saya bertanya kepadanya apakah ia sedang sakit. Si penjaja menjawab, "Ibu saya meninggal!". Agak terkejut juga saya mendengarnya, sebab semula saya menyangka dia sedang flu. Saya bertanya kembali, di mana ibunya tinggal dan mengapa dia tidak segera mengurus pemakaman ibunya. Si penjaja menjawab bahwa ibunya tinggal di kampung yang letaknya berbeda dengan tempat dia bekerja. Ibunya baru saja meninggal, diketahui olehnya melalui pesan singkat yang diterimanya via handphone. Dia tidak dapat langsung pulang ke kampungnya lantaran harus berjualan untuk menyambung hidup. Di kampungnya, masih ada bibinya yang ia harapkan dapat mengurus pemakaman ibunya.
Saya kemudian menasehati si penjaja supaya sebisa mungkin melakukan sholat ghaib, dan mendoakan ibunya meski dari jauh, sebab itu adalah cara yang paling mungkin dia lakukan dalam waktu dekat ini, lantaran tidak mungkin bagi dirinya untuk segera pulang ke kampungnya.
Dari pengalaman tersebut, saya merasa yakin, bahwa si penjaja nasi goreng itu, bukanlah satu-satunya orang yang mengalami nasib di mana ia tidak dapat berkumpul bersama keluarganya, di saat-saat anggota keluarganya membutuhkan kehadirannya. Maka bersyukurlah kita semua, manakala masih diberi nikmat untuk berkumpul bersama keluarga. Sebab tidak semua orang dianugerahi kenikmatan tersebut.
Banyak orang senang memperbincangkan masalah besar, seperti memperbincangkan hal-hal yang berkaitan dengan negara. Namun kebanyakan mereka lupa, bahwa soko guru dari suatu negara, adalah keluarga. Sehingga mereka pun akhirnya lupa untuk mensyukuri nikmat yang sesungguhnya sangat penting bagi mereka dan bagi tanah airnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H