Mohon tunggu...
Wulan Sari
Wulan Sari Mohon Tunggu... -

aku ini siapa ?

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Pendidikan Beracun

1 Februari 2014   12:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDIDIKAN BERACUN

Panggung masih gelap. Lalu perlahan lampu-lampu dinyalakan. Dan tampaklah satu per satu bangku yang tertata rapi. Ruang itu anggap saja sebagai ruang kelas. Ruang dimana seorang yang disebut-sebut sebagai Guru mentransfer ilmunya kepada siswanya. Ah, terlalu sederhana. Lebih tepatnya, hanya sedikit memperlambat racun pendidikan itu semakin menyebar dalam setiap generasi.

Saksikan, bagaimana anak-anak kita mati satu per satu karena racun itu!!

Bunyi bel terdengar nyaring. Masuklah seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan seragam putih abu-abu—untuk tidak mengatakan secara langsung sebagai siswa SMA—

Agus                : (menguap) “wealah.. pagi-pagi sudah ngantuk. Gara-gara tugas nih. (menghadap penonton) Dosen jaman sekarang... eh, maaf-maaf, saya lupa kalau lagi main drama sebagai anak SMA. Saya copot dulu ya status mahasiswa saya. (menarik sesuatu dari kantong lalu membuangnya). Hmm.. oke, saya ulangi ya. Eh, sampai dimana tadi? Wealah, lupa kan. (garuk-garuk kepala lalu kembali ketempat duduk).”

Seorang siswa lainnya, memasuki panggung.

Sari                  : (menghadap penonton) “Kalian lihat sendiri kan. Inilah dampak buruk dari pendidikan di Negeri ini.” (menunjuk ke arah Agus)

Agus                : “Eh.. eh.. eh, maksud kamu apa bicara begitu? Apa maksudnya aku ini dampak buruk.”

Sari                  : “Lah, memang iya to? Buktinya kamu tadi mengeluh-eluh gara-gara tugas dari guru kan?”

Agus                : “Sok tahu kamu ini. Kalaupun iya aku ngeluh-eluh, memang apa hubungannya dengan dampak buruk pendidikan di Negeri kita?”

Sari                  : “Kan, akhirnya kamu mengakuinya kan? Hubungannya? Yah jelas ada hubungannya. Kita semua ini korban yang nggak tahu kapan akan ditanggulangi. Pendidikan di Negeri kita ini lucu. Tidak perlu jauh-jauh. Lihat saja, kelas macam apa ini yang hanya ada dua bangku dan meja guru dan hanya dibatasi dengan kain hitam. Seperti panggung teater saja. Dan Guru kita cuma satu yang tahunya hanya ceramah dan memberikan tugas. Kalau kita mengajukan pertanyaan, pasti ada saja retorikanya. Sekalian saja selama disekolah, cabut hak kita sebagai manusia”

Agus                : “Wealah, kamu ngomong begitu itu punya bukti apa kamu. Jangan asal nyeplos kamu. Bisa masuk penjara atas tuduhan pencemaran nama baik.”

Sari                  :”Tapi kamu juga setuju kan? Sudahlah akui saja. Kamu juga gerah kan dengan situasi ini. Jangan terlalu berlagak seperti orang buta dan tuli.”

Agus                : “Bicaramu itu seolah-olah kamu yang paling tahu segalanya.”

Sari                  : “Ya jelas. Wong aku sudah baca naskahnya kok. Lihat saja, dalam hitungan ke-5 pak Arpansyah Winata Chandrakusuma Bangsa Negara itu pasti datang.”

1..2..3..4..5

Arpan              : “Selamat Pagi, anak-anak!”

Agus & Sari    : “Pagiiii, pak!”

Agus                : “Tumben terlambat, pak.”

Arpan              : “iya, tadi saya ada urusan dengan kepala sekolah.”

Sari                  : “urusan apa, pak? Ngomongin pendidikan lagi ya?”

Arpan              : “hehe.. Tidak. Ya sudah, ayo kita lanjutkan pelajaran. Oh ya, minggu lalu saya berikan kalian tugas kan? Sudah dikerjakan?”

Tidak ada jawaban.

Arpan              : “Kok diam? Tidak mengerjakan ya?”

Sari                  : “Pak, bapak apa tidak bosan hanya mengajar dengan memberikan tugas? Saya saja merasa bosan mengerjakannya, pak.”

Agus                : “bosan bagaimana? bukannya kamu tidak pernah mengerjakannya”

Sari                  : “Kamu juga tidak pernah mengerjakan to?”

Agus                : “Setidaknya aku tidak mengatakan bosan.”

Arpan              : “Kenapa ini? Kalian bermasalah dengan metode mengajar bapak?”

Sari                  : “Tidak bermasalah. Hanya saja kurang pas buat saya pak”

Arpan              : “Di sekolah, siswa harus mengikuti aturan guru. Bukan sebaliknya. Mengerti kamu?”

Acuh. Semuanya diam.

Arpan              : “Baik, sepertinya kita hanya membuang-buang waktu. Yuk, kita lanjutkan pelajaran kita.”

Pak Guru Arpan mulai menjelaskan materi.

Sari                  : (menelungkupkan kepalanya dimeja lalu tertidur)

Agus masih antusias dimenit pertama, selanjutnya dia pun kehilangan kendali. Ia juga tertidur.

√√√

Panggung kembali gelap. Lalu perlahan lampu kembali menyala, memperlihatkan dua siswa yang duduk berhadapan dalam keadaan terikat.

Perlahan, satu per satu bangun dan mengangkat kepala. Menyadari apa yang terjadi, keduanya bingung dan panik.

Sari                  : “Agus, kita ada dimana ini?” (melihat sekitar)

Agus                : “Aku tidak tahu.” (melihat sekitar) “Tempat ini remang-remang. Terlalu absurd.”

Sari                  : “Atau mungkin kita sedang di alam gaib. Ah, tidak... aku belum mau mati.”

Agus                : “Husss... Ngomong apa kamu ini. Berhentilah berpikir yang tidak-tidak. Yang terpenting sekarang bagaimana kita keluar dari sini.”

Sari                  : “Kamu nggak mikir ya? Mau keluar lewat mana? Pintunya mana? Jendela pun tidak ada.”

Agus                : (melihat sekitar) “Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi pada kita?”

Sari                  : “Hei, sekarang bukan saatnya untuk mengeluh. Tuhan itu sudah MahaTahu, tanpa mengeluh pun Dia sudah tahu.”

Agus                : “Mungkin ini akibat dari pendidikan yang kita terima?”

Sari                  : “Tunggu dulu... apa sekarang kamu mulai sadar bahwa pendidikan di Negeri ini memang tidak beres? Ya Tuhan, terimakasih.”

Agus                : “Tapi keadaan ini jauh lebih tidak beres. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kita? Atau jangan-jangan kita diculik.”

Sari                  : “Ngawur kamu. Siapa? siapa yang mau melakukan hal konyol seperti itu. Lagipula apa untungnya. Kita lulus SMA saja belum. Hidup numpang, nggak punya kerjaan, tahunya kritik orang saja.”

Agus                : “Benar juga. Terus apa yang harus kita lakukan”

Sari                  : “Berdoa saja”

Agus                : “Hanya berdoa?”

Sari                  : “Terus, mau apalagi?”

Agus                : “Teriak minta tolong.”

Sari                  : “Kamu pikir kita ada dimana? Kamu pikir ada orang disekitar sini?”

Agus                : “Apa salahnya mencoba?”

Sari                  : “Coba saja”

Agus                : “Toloooonnngggg....!!!!”

Sari                  : “Cukup. Hentikan kebodohanmu itu. Percuma! Tidak akan ada yang datang.”

Perlahan lampu menyorot kepada sosok yang melangkah memasuki panggung. Wajahnya tidak asing. Begitu sosoknya sempurna terlihat, keterkejutan terjadi.

Agus & Sari    : “ Pak Arpan????”

Agus                : “Pak, tolong kami pak.”

Sari                  : “Bagaimana bapak bisa masuk ke dalam ruangan ini? Bukankah ruangan ini tanpa pintu dan jendela? Bahkan celah sedikitpun tidak ada, pak?”

Arpan              : “Saya memasuki ruangan ini dengan cara yang sama seperti bagaimana kalian bisa sampai disini.”

Agus                : “Maksud bapak? Bapak tahu jalan menuju tempat ini? Syukurlah kalau begitu, berarti ada harapan kita untuk keluar dari sini. Betul kan, pak?”

Sari                  : “Pak, sebenarnya apa yang terjadi pada kita, pak?”

Arpan              : (memberikan 2 gelas berisi air) “minumlah, maka kalian akan dapat keluar dari sini.”

Agus                : “Apa ini, pak”

Arpan              : “Itu adalah bentuk dari seluruh kegelisahan, kerisauan, hingga kebencian kalian terhadap pendidikan di Negeri ini. Bahkan hal-hal yang paling kalian tidaksukai dari pengajaran saya yang menurut kalian hanya selalu membebankan tugas. Semua kebencian, semua makian, semua sumpah, semua kutukan ada didalam air itu. Maka, minumlah. Hanya dengan cara itu kalian dapat keluar dari tempat ini.”

Dengan wajah ragu-ragu, kedua siswa itu meneguknya perlahan hingga tak tersisa setetes pun.

√√√

Panggung kembali diselimuti cahaya yang masih memepertontonkan anak manusia dalam kubangan ruang dikelilingi kain hitam. Hanya berbeda dari sebelumnya, kini mereka kembali dalam ruang kelas.

Guru Arpan masih sibuk berbincang dengan papan tulis. Begitu disadari, kedua siswannya sudah lama menidurkan kepalanya diatas meja.

Arpan  : “Agus.. Sari... bangun kalian!”

Tak bergeming.

Arpan              : (mendekati kedua siswanya) “hei.. bangun kalian.” (mengguncang tubuh keduanya satu per satu).

Tiba-tiba tangan Sari luruh kebawah, menjatuhkan sebuah gelas. Perlahan Guru Arpan meraihnya dan wajahnya memperlihatkan keterkejutan. Diperiksanya tangan Agus, dan ia pun menggenggam gelas yang sama.

Arpan              : (menghadap penonton dengan dua gelas ditangannya) “Akhir dari semua ini telah terlihat. Kematian mereka sebagai simbol bagaimana pendidikan di Negeri ini benar-benar racun bagi anak-anak kita. Racun yang selama ini kita biarkan membunuh setiap generasi. Maka, hentikanlah pembunuhan ini.”

(beralih menuju meja dan merogoh tas, mencari sesuatu dan menemukan botol berisi air lalu meneguknya cepat) “Maka, aku akan bersama mereka menuju keabadian. Saksikanlah akhir dari semua ini. Segalanya benar-benar berakhir. Berjanjilah untuk tidak ada deru dendam dan kemarahan. Semua ini tak lebih hanya ruang sandiwara semata... uhuk..uhuk...uhuk...

(terkulai tak berdaya di lantai)

SELESAI

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun