Mohon tunggu...
Wulan Sari
Wulan Sari Mohon Tunggu... -

aku ini siapa ?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Senja (Cinta Pertama)

1 Februari 2014   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LELAKI SENJA

©©©

“Perkenalkan nama saya Ibnu Daud.....”

Suasana kelas hening seketika. Mata-mata tertuju lurus ke depan. Dan bibir-bibir mengatup dengan sendirinya. Seolah waktu berhenti membiarkan suara itu memenuhi telinga masing-masing. Membiarkan suara itu mainkan sihirnya. Kelas membeku sesaat. Dan aku mengetuk dadaku sekali lagi, menanyakan apa yang terjadi. Seperti ada yang lain, ada yang tiba-tiba menyeludup dalam diri. Namun, belum terlihat rupa wajahnya. Aku hanya tak mengerti.

“Saya biasa dipanggil Daud. Tapi, teman-teman juga boleh panggil saya Ibnu.. sama saja” Lalu senyumnya merekah disana.

Seperti tersetel otomatis, bibirku melengkung lebar. Dengan mata seperti di jaga oleh waktu untuk tidak berkedip. Aku rasakan sendiri hal aneh itu semakin mengusik. Aku hanya ingin tak peduli, namun rupanya ia berhasil menyita segala kendaliku. Seperti menegukkan anggur dalam gelas berkali-kali. Aku sudah mabuk bahkan sebelum tegukan pertamanya ku telan.

Aku hanya bisa diam. Yang lainnya juga mulai sibuk sendiri. Sementara yang tadi di depan sudah tak ada, kembali ke tempat duduknya. Orang selanjutnya dimulai. Dan aku mulai bosan. Aku kehilangan niat untuk tetap menatap kedepan, menyaksikan teman baruku yang lain memperkenalkan diri. Aku membuka-buka buku tulisku dengan malas.

Memalingkan wajah. Menatapnya. Aku menikmati wajahnya sesukaku. Yang lain sibuk sendiri. Tiba-tiba waktu seolah berhenti berputar. Lama mataku terpaku di matanya. Saat itu seolah aku tak ingin berakhir. Hatiku menjerit-jerit kegirangan, “tidak..jangan! Jangan berhenti menatapku.” Mungkin hanya desau angin berkelebat yang menjadi mata menyaksikannya, tapi hal aneh itu kini benar-benar terbaca sudah. Aku positif jatuh cinta!

©©©

Setiap saat, ketika kurasa hatiku buncah. Ketika segalanya tak terdefinisi, yang kurasa sebagai cinta ini mengaburkan segala resah. Terganti deru rindu. Kepala ini selalu saja merangkai wajahnya, lalu dorongan hati untuk segera bertemu. Oh, betapa menggebu-gebunya.

Cinta pertama? Ah, ini bukan kali pertama aku jatuh cinta. Menurut pandangan banyak orang, cinta yang pertama dirasakanlah yang disebut sebagai cinta pertama. Itu cinta pertama dimata banyak orang. Tapi aku punya definisi sendiri yang tak mampu ku definisikan. Bagiku, apapun namanya, yang menamainyalah yang paling mengenalnya.

Aku sudah jatuh cinta begitu pertama kali melihatnya. Tak ada yang mampu menghalanginya. Pandangan pertama itu tanpa sekat dan sukses menjadikanku perempuan paling bahagia.

Perasaan yang terpendam itu memang selalu punya sensasi sendiri setiap bertemu dengan yang dicinta. Dunia seolah mencurahkan segala energi positifnya ketika ku menatap wajahnya. Menatap matanya yang tajam, seperti mengupas jiwa perlahan-lahan. Juga bulu matanya yang senantiasa lentik menggoda. Hidungnya pun kokoh..juga bibirnya yang menjadi pacu jantung setiap kali bergerak mengucapkan sepatah kata. Ah, ingin gila rasanya.

Dengan kata lain, aku mengaguminya seperti candu yang paling berbahaya dan mematikan yang pernah ada. Setiap detik terasa seperti tarikan nafasnya menyentuh waktu dengan lembut, membuatku terlena. Melebihi yang dirasakan Laila ketika bertemu Majnun, aroma tubuhmu serupa tuangan anggur dalam piala yang tak pernah ada habisnya.

Lihat saja, keterpukauanku! Matamu, mata paling indah dengan segala warna yang pernah ada. Yang melejitkan ribuan anak panah menembus jantung. Aku terpana dalam ruang pandanganmu. Hidungmu, ingin ku berdiri disana... bibirmu, adalah muara segala tempat kecupan berada. Dan aku biduk perahu yang berlayar diatasnya.

©©©

Maafkan bila cintaku.. tak mungkin ku persembahkan seutuhnya. Maaf bila kau terluka...

Lagu Afgan Syahreza itu mengalun lembut namun seperti pisau yang memotong-motong jari. Seolah dialah yang sedang mengatakannya, seolah itulah suaranya. Aku terlalu cengeng untuk mengatakan lagu itu membuatku patah hati. Tapi, apalagi yang mampu ku tutupi, luka ini sudah menceritakan semuanya. Aku memang terluka!

“Namanya Ifah.” begitu dia memperkenalkan kekasihnya padaku.

“oh,” hanya itu yang keluar dari mulutku, meski hatiku mengecam banyak hal.

“Sekarang dia berada ditempat jauh. Tempat yang tak mungkin ku tempuh dengan berjalan kaki,” dia melanjutkan cerita seolah tak mendengar ledakan yang baru saja tuntas menghancurkan hatiku.

Ah, kenapa jadi sebegini menyakitkan. Aku mengerti kini. Bukan salahnya memang, tapi apa aku yang harus dipersalahkan. Apa cintaku ini salah. Yang mananya? Jelaskan! Aku hanya berlaku sebagaimana perempuan yang jatuh hati pada laki-laki. Hanya itu saja. Aku tak merasa ada yang salah. Bukan jua ingin ku salahkan kenapa dia sudah tak utuh lagi untuk ku miliki. Hanya kepada waktu saja,  kenapa aku mencintainya dengan kelukaan!

Senja yang sudah menguning itu tertutup burung-burung yang menari seolah sedang berada di altar punggung pentas. Pesisir rapi ditebas karangnya oleh gelombang. Pasirnya menjadi basah dijilati riak buih lautan, menghapus jejak-jejak kaki. Terkadang satu, dua, tiga ikan-ikan kecil muncul ke permukaan, memamerkan liukan tubuhnya yang seolah menggoda. Padahal tidak!

Apa istimewanya? Kenapa tempat ini dipilihnya untuk menghabiskan senja yang sudah meleleh. Sudah hampir habis menjadi malam. Apa yang ingin disaksikannya dari bagan langit yang sudah hampir gelap.

Ia menikmati suasana seindah itu bersamaku. Hanya berdua. Entah mengapa, caranya membuatku merasa diistimewakan.

“Ada apa sebenarnya?”

Dia tak menjawab. Hanya terus memandang lurus kedepan, seolah disanalah jawaban dari pertanyaanku berada. Aku ikut melihat. Tidak ada, hanya langit kusam.

“Ifah apa kabar?” tanyaku tiba-tiba.

“Baik,” jawabnya masih dengan arah pandang yang sama.

“Oh..” aku ber-oh tidak jelas. “Kau pasti merindukannya.”

“Tidak juga. Aku tidak tahu dia sedang apa disana. Komunikasi diantara kami juga tampaknya mulai merenggang.”

Aku tersenyum licik. Tak ingin kupungkiri bahwa aku senang mendengarnya. Kata-kata itu seperti membuka ruang yang sudah terisi, menjadi perlahan kosong.

Suasana membeku. Dia terdiam menatap rumpun awan di muka langit. Aku tak berani mengusik. Sepertinya dia butuh waktu sendiri untuk berdiskusi dengan hati dan pikirannya. Ah, aku jadi merasa paling tahu tentangnya.

©©©

Sejak saat itu, aku merasa ada yang berbeda. Aku dan dia menjadi lebih sering menghabiskan waktu bersama. Bukan apa-apa. Hanya bagiku, menikmati setiap waktu luang bersamanya menjadi saat-saat paling berharga. Seolah telah direncanakan, kebersamaan itu kian membengkakan harapanku. Aku semakin leluasa, seolah dia miliku. Namun, adakalanya aku merasa tak tahu diri. Merasa malu, dan seharusnya pergi! Andai saja dapat kulakukan. Tapi, tidak! Aku tidak bisa, bahkan tak pernah ingin pergi. Berulang kali ku yakinkan diriku tentangnya, tentang hatinya yang telah dimiliki, meski jauh.. aku mestinya tak begini. Tak boleh begini, harusnya. Tapi, dia menjadikan semuanya menjadi lain.

Di waktu seperti biasanya, ketika langit buncah menjadi jingga. Kaki-kaki basah membentuk jejak-jejak di atas pasir. Tangan-tangan menyatu, menari menabraki angin. Dan tawa-tawa menggelar suara bahagia di bawah langit panjang.

“Dia sudah menikah”

Aku menoleh menatapnya yang duduk disampingku dengan wajah menatap lurus ke lautan. Seperti biasa.

“Ifah?” Aku bertanya memperjelas.

Ia mengangguk pelan.

“Tak apalah. Sudah pilihannya. Mungkin itu yang membuatnya lebih bahagia” ucapnya lagi dengan senyum yang dipaksakan.

Aku tiba-tiba bingung. Aku kehabisan kata-kata, kehabisan cara. Aku tak tahu harus melakukan apa untuk meresponnya, untuk menghiburnya. Memeluknya? Ah, terkesan lancang. Menepuk pundaknya? Aku sudah kehabisan nyali. Akhirnya, aku memutuskan untuk diam saja. Ikut menatap kedepan, dengan langit yang selalu kusam.

Mendadak ia berdiri dari tempat duduknya. Menarik tanganku.

Angin masih bernafas lembut ketika aku melangkah pelan menyamai kakinya. Langkah beratnya membentuk jejak, seperti saat-saat itu tak boleh terhapuskan. Wajahnya perlahan mengedur dari ketegangan, atau mungkin lebih tepat, dari kesedihan. Aku merasakan nafasnya menarik-ulur merdu. Detik itu, aku kembali merasakan harapan itu kian menganga lebar. Semakin menarik diriku untuk memenuhinya.

Satu hal yang tak pernah ia sadari, caranya selalu membuatku teristimewakan. Selalu merasa nyaman, dan memang beginilah ketika berada dekat dengan yang dicinta. Mulutpun dibekukan oleh kata-kata. Seolah kebisuan menjadi pilihan untuk merasakan segalanya.

©©©

Ku perkenalkan lagi, laki-laki yang kucintai bernama Ibnu Daud itu adalah tipe laki-laki yang aktif dan menyenangi hal-hal baru. Ia memiliki banyak rekan dan koneksi teman yang luas. Ia menjadi begitu populer di kalangannya. Memang bukan rahasia lagi, wajah tampannya telah menyihir banyak mata. Tak perlu ditanya, kaum mana yang lebih banyak mengidolakannya.

Aku selalu hampir kehabisan nafas ketika bertemu dengan teman-temannya yang notabenenya adalah perempuan. Keakraban mereka terlihat seperti bukan antara teman. Atau hanya mataku saja yang sudah buta oleh realitas, bahkan hal begitu pun aku cemburukan. Tapi, tetap saja. Melihatnya, tak hanya membuatku tercekik, perasaankupun tergadaikan. Energiku disedot habis oleh rasa cemburu. Aku nyaris hilang kendali.

Kapan? Cinta kami tak pernah diresmikan. Tak perlu ditentukan tanggal, waktu, dan tempat, sebuah cinta dipersatukan. Karena cinta bukan persoalan hitung-menghitung. Aku dan dia hanya saling tahu, kami saling mencintai. Itu saja. Tak ada yang perlu dikatakan, karena cinta telah menuliskan segalanya. Menjadi sejarah yang tak pernah kutahu kapan akan berakhir. Untuk saat ini, hanya terus saling menjaga saja.

Menjalani semuanya seperti itu, membuatku kehabisan kata setiap kali ditanya alasan apa aku mencintainya. Semua ini bukan tanpa alasan, namun tak ada kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Alasannya bukan terletak dari kata apa yang harus diucapkan, namun... seperti yang kukatakan, bukan melalui kata pertanyaan itu terjawab.

Sebagaimana lazimnya sepasang kekasih, kami pun berlaku sebagaimana mestinya. Yang ingin seluruh dunia tahu akan kebahagiaan dan kebersamaan kami. Ingin saling menujukkan, dia milikku, dan aku miliknya. Seolah ingin membuat cemburu makhluk lainnya yang juga punya cerita yang sama. Namun, ingin sekali menegaskan bahwa aku dan dia berbeda. Kami punya cerita lain.

Ku sadari, aku dan dia bukan anak SMA lagi. Bukan masanya lagi, masih bersikap seolah dunia milik berdua. Aku punya cita-cita, dia juga. Aku punya masa depan, dia juga. Maka, dengan cinta inilah mestinya segalanya berjalan lebih mudah. Memang, dialah alasan kenapa aku menulis cerita ini.

©©©

Dari sekian banyak teman perempuannya, ada satu orang yang paling menguras perasaanku. Sebut saja namanya Nabila. Sepertinya, pikiranku masih terlalu dangkal dalam memandang sekitar. Tapi cemburu bukan persoalan akal. Karena yang ku lihat dan sepertinya sengaja diperlihatkan, sedemikian akrabnya, mereka nyaris tak terlihat sebagaimana layaknya seorang teman dengan teman yang lain. Aku tak ingin membenci, tapi situasi ini membuatku frustasi.

“Kamu terlalu berlebihan. Kami hanya teman, tidak lebih.” Begitu selalu yang dia ucapkan ketika aku melaporkan kecemburuanku.

Seperti biasa, jawabanku hanya menekuk wajah. Lalu seperti biasa pula dia datang mengelus-elus kepalaku sembari tersenyum lebar. Menganggapku hanya rengekan anak kecil yang minta disusui. Lucu sekali baginya.

Seperti sudah menjadi kebiasaan, perempuan bernama Nabila itu kian gencar menembakkan peluru yang membuatku berjaga-jaga. Sudah dari awal kutaksir, dia jatuh cinta pada kekasihku, Ibnu Daud. Karena sikapnya yang selalu berusaha terlihat manis dan terkesan cari perhatian. Keberadaanku seolah tak ada. Dia tak peduli ada yang diam-diam hatinya tersakiti. Ah, aku muak melihatnya.

Aku tak ingin diam. Aku ingin melakukan aksi protes atas sikap manis Nabila itu. Aku laporkan lagi pada kekasihku, bahwa aku terlukai. Namun, sudah dapat diduga, jawaban yang ku terima membuatku gigit jari.

“Aku tahu kok kamu cemburu,” begitu ucapnya ringan.

Aku tak menjawab. Kata-kata itu benar-benar menyakitkan. Bagaimana bisa dia yang mengetahui pasti apa yang kurasakan, malah seolah tak peduli dan membiarkannya dengan sengaja.

“Aku nggak akan macam-macam, sayang. Tak apalah, anggap saja itu sebagai ujian agar kamu lebih sabar.”

Aku langsung berteriak lantang dalam hati, “ujian agar aku lebih sabar, atau memang kamu saja yang senang berada didekat perempuan itu.” Aku jengkel setengah mati!

Tampaknya tak berakhir sampai disitu. Berikutnya lebih menyakitkan lagi bagiku. Dan reaksinya tetap sama. Aku merasa tak pernah sekuat ini, sekuat ini menahan amarahku. Meski dalam hati, aku terus meneriakkan kalimat-kalimat makian. Begitu pun tak juga membuat keadaan berubah membaik, hanya aku yang semakin tersiksa.

“Dia mengidap penyakit kanker otak”

Kata-katanya itu tak juga mampu menghentikan gelora amarah yang terus menjalar luas dihatiku. Aku tidak terima dengan jawaban itu. “Lalu kenapa? Kenapa harus kekasihku? Apa tidak ada laki-laki lain?” Aku tak habis-habisnya menggerutu dalam hati.

“Kalau memang penyakitmu itu membuatmu dekat dengan kekasihku, maka cepatlah sembuh dan kembalikan dia padaku,” ucapku dalam hati seolah sedang berhadapan dengan Nabila.

Tiba-tiba persoalan itu menjadi buah pikiranku. Aku hanya berpikir bagaimana jika hal itu terjadi padanku? Bagaimana jika penyakit ganas itu yang bersarang dikepalaku? Mendadak aku merasa ketakutan, seolah menyadari dan turut merasakan apa yang Nabila hadapi. Aku mengerti, Nabila tentu membutuhkan seseorang yang mampu lebih menguatkannya untuk tetap hidup. Ia membutuhkan orang yang tangannya dapat ia genggam kala kesakitan itu mendera tanpa ampun, dan yang tubuhnya menjadi selimut hangat ketika dunia tak lagi menginginkan-nya hadir. Tapi, tetap saja aku tidak setuju. Aku tidak rela bila laki-laki itu harus Ibnu Daud. Kenapa? Kenapa Nabila harus menginginkannya dengan cara seperti itu? Cara yang membuat siapapun tak akan tega untuk menolak. Cara paling menyakitkan dalam setiap drama kehidupan, hingga harus ada yang mengalah. Dan aku tidak ingin berada dibagian itu, ia tak ingin menjadi pengalah! Aku hanya tak ingin berbagi.

Aku salah besar. Nabila tidak jatuh cinta pada kekasihku. Aku benar-benar buruk dalam menilai keadaan.

©©©

Langit tiba-tiba berubah warna ketika mataku dibutakan airmata. Yang ada hanya cahaya samar-samar yang entah berasal. Ku ciumi selimut yang bergelut ditubuhku dengan nada syahdu seolah sedang beradegan dengan nyawa yang hampir melayang. Yah, rasanya begitu, dadaku mendadak sesak, dipenuhi jeritan-jeritan kosong tanpa suara. Lalu mataku menumpahkan airmata!

Aku tampak seperti orang gila. Yah, orang gila yang kesurupan. Suaraku tiba-tiba melejit jauh menembus langit-langit atap rumah. Seisi ruangan penuh dengan jeritan dan tangisan tertahan. Mata-mata mulai dialiri air, mulai basah rona pipi. Sementara angin membanting pintu, menutupnya dari luar. Aku tak peduli! Biarlah daku ini hempaskan segala yang sesakkan dada, segala peluh airmata yang tak semestinya. Mungkin aku harus lebih sabar. Tapi sulit menggapainya. Kesabaran itu bagiku hanya bintang-gemintang dimalam hari yang tak pernah ku mengerti bentuknya, hanya cahayanya pelitakan mata.

Sementara yang lain sibuk membereskan sisa-sisa airmata yang menggumpal dimataku, sambil bibirnya tak henti-hentinya bertasbih, menyebutkan kata ‘diam’. Kata pendek itu tiba-tiba berubah menjadi serentetan paragraf yang aku sendiri tak mengerti mana kalimat utama dan kalimat penjelasnya. Masing-masing kata membentuk kalimat yang sibuk menafsirkan makananya masing-masing, seperti aku yang sibuk dengan urusanku sendiri, dengan diriku sendiri. Tak peduli yang lain!

Tiba-tiba hening berucap. Ruangan senyap. Nafas-nafas panjang mengotori udara, dan yang terdengar hanya desahan kecil. Kami berdua diam, saling memandang, mempertemukan empat mata yang memancarkan cahayanya masing-masing, berbeda-beda. Yang aku rasa, mata sembabku terus melahirkan airmata, sementara sepasang mata lain dihadapanku mulai meredupkan cahayanya, nyaris menyerah. Hanya itu yang mampu aku baca, karena separuh mataku tersumbat air.

“Kenapa diam? Ayo tertawa!” akhirnya aku angkat bicara dengan nada bicara yang ku paksakan.

Tak ada tawaan seperti yang ku minta. Hening kembali menjadi jawaban terakhir. Suaraku tersekat ditenggorokan ketika aku ingin kembali berucap, namun gagal terpotong oleh suara laki-laki dihadapanku itu.

“Untuk apa? Tidak ada hal lucu yang perlu ditertawakan”

“Aku yang menjadi bahan tertawaan itu. Bukankah kau senang menertawaiku? Sekarang tertawalah!”

“Hei, ayolah. Kita bukan anak kecil lagi, usia kita sudah 19 tahun. Jadi berhentilah bersikap seperti anak-anak.”

Suara itu terdengar makin ketus, dan aku makin tak peduli.

“Yah inilah diriku. Dan bukannya memang ini yang kau mau, aku bertingkah seperti anak kecil yang bodoh lalu kau menertawaiku. Lalu mengelus-elus rambutku seperti bayi yang haus ingin minum ASI. Setelah aku jinak, kau kembali menertawai kebodohanku.” Aku mulai menekan nada bicaraku meski dengan dada sesak.

“Bicara apa kau ini? Jangan mengarang cerita! Aku tidak pernah menganggapmu bodoh. Kau saja yang menilai dirimu sendiri begitu.”

Aku menjawabnya dengan diam. Mencoba mengatur nafas pelan-pelan, berusaha mengelola amarah dengan baik, meski hasilnya sama saja.

“Kamu memang tidak pernah mengerti. Kamu tidak mengerti sakit ini! Kamu tidak merasakannya!” Aku hempaskan segala amarah bersama airmata dan segala hal yang tidak ku mengerti.

Langit diam tiba-tiba menyembulkan nada keras berulang-ulang. Dan awan hitam mulai merengkuh tubuh biru nan luas itu, meniup genderang bunyi menakutkan. Memekik telinga. Ketika kuncup itu mulai merekah, air mulai menetes satu demi satu, lalu tak terhitung.

Gelap bergerak perlahan dalam ruangan. Buncah hujan pecah di genteng dengan irama tak beraturan. Sementara senyap terus bergulat dalam ruangan membentuk simfoni hitam yang bisu. Kami saling bungkam, menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing. Aku tak lagi sibuk memecah airmata, sekarang mulai mengurusi imajiansi yang berhambur memenuhi kepala. Membayangkan jutaan kemungkinan yang akan terjadi. Segala hal baik, buruk, indah, dan mengerikan muncul di batok kepalaku. Mataku nanar meratapi tembok datar, sedang yang ku dapat hanya batu.

Hening masih meraja. Sedang hujan di luar sana sibuk mendendangkan nada pecah, memberi basah. Tubuh laki-laki dihadapanku itu mulai membungkuk lalu bibirnya yang kering menyambar keningku dengan kecupan kaku. Aku tak berontak!

“Maafkan aku.” Ucapnya datar lalu membalikkan badannya, dan mulai bergerak menuju pintu.

“Mau kemana? Di luar hujan!” teriakku.

Dia tak menjawab. Langkahnya terus berderap menuju pintu meninggalkan teriakan suara parauku. Gagang pintu itu digenggamnya, lalu ditariknya. Aku berlari menghambur didekatnya ketika pintu terbuka lebar.

Udara dingin bergerombolan masuk, berebut menghampiriku. Menyergapku dengan rasa beku yang mematikan langkah.

“Jangan pergi!” ucapku sendu.

Dia menoleh dan membalikkan tubuhnya menghadapku. Aku sempat mendengar bunyi desah nafas panjangnya sebelum ia mulai berucap.

“Jangan pikirkan hal-hal yang hanya membuatmu mati. Jika aku pisau bagimu, aku tidak akan menusuk jantungmu setelah selama ini aku sudah menggores luka di kakimu yang membuatmu berhenti melangkah sampai luka itu sembuh. Aku yang menjadi racun dalam makanan yang kau telan, dalam air yang kau teguk. Lupakan aku!”

Aku tidak sedih. Hanya bingung. Yah, bingung hendak mendeskripsikan perasaanku dengan kata apa, dengan bahasa yang bagaimana. Aku tak mengerti! Dan sekarang semakin banyak hal yang tak ku mengerti. Kepalaku dipenuhi tanda tanya beraneka bentuk.

“Maksudmu apa? Kau tak pernah membuatku mati!” jawabku pelan.

“Aku akan kembali” ucapnya seraya tersenyum tipis.

Lagi-lagi dia menambah bentuk tanda tanya di kepalaku dalam ukuran yang lebih besar. Tapi satu hal yang aku mengerti dari apa yang baru saja ia ucapkan, ia hanya meninggalkanku sementara, dan akan kembali. Mungkin begitu, aku juga ragu hendak menanyakan maksudnya. Lagi pula, ia dengan cepatnya menghilang dibalik wajah hujan.

©©©

Dan dia kembali...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun