Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cicak dan Buaya Harapan Kita

7 Agustus 2012   10:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:08 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana cicak (KPK) melawan buaya (kepolisian) marak lagi akhir-akhir ini. Mantan Kepala Bareskrim Markas Besar Kepolisian, Susno Duadji yang "berjasa" mempopulerkan pertama kalinya. Di dunia nyata/riil saya yakin tidak mungkin terjadi duel antara mereka berdua. Selain ukuran tubuh yang berbeda, tempat hidupnya juga berbeda, yang satu di darat, yang lain tinggi di pohon. Yang satu di hutan/sungai/rawa, yang satunya di rumah-rumah. Juga tidak ada alasan untuk duel, mau memperebutkan apa? lha makanannya saja berbeda. Karena berada di ketinggian, maka cicak lebih awas dan mudah mengawasi buaya. Di dunia kiasan, cicak yang jumlahnya sedikit itu juga tidak mungkin melawan buaya secara fisik. Meski jumlahnya sama tetap saja kalah, karena sebagian besar tidak dididik dan dibekali ilmu bela diri, berbeda dengan buaya. Sebagian cicak ini adalah metamorfosis buaya. Meski sedang berseteru, 'cicak' dan 'buaya' itu harus tunduk kepada atasan yang sama, yaitu presiden. Sedangkan presiden adalah orang pilihan kita (rakyat). Kita menggaji mereka semuanya untuk mengurusi kepentingan kita, termasuk memerangi musuh kita yang bernama penjahat atau pelanggar hukum lainnya. Bahkan saking percayanya kita kepada presiden, sampai-sampai brankas uang kita titipkan kepadanya dan sekalian menentukan dan mengambil sendiri bayarannya. Selain cicak dan buaya, masih banyak lagi yang kita pekerjakan untuk maksud yang sama, misalnya: kejaksaan, kehakiman, MK, BPK, ABRI, Bapepam, dan PNS lainnya. Semuanya disebut aparat berwenang atau berwajib, wajib melaksanakan tugas, nurut dan mengabdi kepada rakyat. O ya, kita pun mempunyai wakil, yang disebut wakil rakyat, jumlahnya ratusan. Wakil rakyat ini kita maksudkan untuk mengawasi semua aktivitas presiden, termasuk dalam mengawasi pantasnya gaji dan brankas yang kita titipkan itu. Lagi-lagi kita sering keliru merekrut, ada yang ternyata masih TK, yang maunya bermain-main, jalan-jalan dan merengek minta jajan melulu. Jelas pendiriannya masih labil dan belum pintar hitung-hitungan, masih mudah dipengaruhi, lupa siapa yang diwakili dan lebih pro kepada pihak yang bisa menyenangkan dan lihai menyuapinya. Cicak itu juga belum lama lahirnya. Sebetulnya kita tidak butuh cicak, jika buaya dan lain-lainnya yang kita gaji itu berkelakuan dan bekerja dengan baik. Kita terpaksa merekrut cicak untuk mengawasi oknum buaya, kehakiman, kejaksaan dll. yang melanggar hukum (korupsi), sehingga korps aparat berwajib bersih dari penjahat dan mempunyai integritas tinggi. Hihihi... apa perlunya saya berceloteh kepada Anda, yang notabene kepada diri sendiri. Tapi tak apalah, siapa tahu celotehan ini bisa nyasar dan berguna untuk yang pura-pura tidak tahu, mengingatkan yang sedang lupa dan menjadi pertimbangan bagi yang sedang bimbang ingin beralih profesi menjadi oknum. Juga mohon maaf dan koreksinya jika celotehan subyektif yang didasari rasa gemas akut tanpa bisa berbuat apa-apa ini banyak ngawurnya. Cikal bakal profesi "buaya" adalah dari London, Inggris, 30 September 1829 yang dimulai dengan 3000 anggota. Karena efektif bisa diandalkan untuk memberi keamanan dan ketertiban kepada konstituen-nya sehingga langgeng sampai sekarang dan ditiru oleh hampir semua negara. Kita tidak bisa langsung merekrut "buaya", tetapi perlu mendidiknya pelan-pelan melalui pendidikan formal. Bermula dari pemuda/i yang sopan, lholak lholok, badan lemah, penakut dan tidak tahu apa-apa, kita didik mereka dengan penuh perhatian dan biaya tidak sedikit. Dalam beberapa tahun sudah menjadi buaya yang tambah sopan, kuat, berotot, gagah, berani, jagoan nembak, pintar, bisa membedakan antara kita (majikan yang perlu dijaga) dan penjahat, serta tahu cara menangani para penjahat musuh kita itu. Kita bekali pula dengan senjata mematikan. Dalam perkembangan selanjutnya, ada buaya yang tak tahu balas budi, ibarat pagar makan majikan, yaitu yang suka bergaul dan kongkalikong dengan para penjahat memusuhi rakyat, memusuhi majikannya sendiri yang notabene telah berjasa membiayai, mendidik dan bahkan yang masih menopang kebutuhan hidup keluarganya sampai detik terakhir (maaf, sebetulnya tidak baik mengingat-ingat kebaikan diri sendiri). Oknum buaya yang berubah perangainya itu biasanya berkilah saat masuk pendidikan dulu sudah menghabiskan banyak biaya untuk menyuap dan menyogok, sehingga merasa tidak bersalah mencari ganti agar bisa balik modal. Padahal biaya yang dikeluarkannya dulu itu tidak sebesar yang kita keluarkan dan lagian tidak masuk ke rekening kita, tetapi ya ke oknum buaya juga dan anehnya membalasnya kepada kita. Jadi kita yang kena getahnya, rugi dua kali deh! Syukurlah masih lebih banyak yang menjadi buaya baik. Kepadanya kita masih berharap. Sisa buaya yang masih baik ini tugasnya jelas makin berat saja, selain memerangi penjahat, juga harus menghadapi mantan atasan, dosen atau teman-teman sendiri yang masuk jajaran oknum buaya. Proses perkembangan buaya bisa dikata sama untuk beberapa aparat berwajib, yaitu melalui perintisan karir dari nol. Modus operandi oknum buaya pun sama untuk aparat berwajib lainnya. Selalu saja ada yang memiliki DNA menyimpang, lebih senang merintis karir sebagai oknum, demikian juga dengan cicak. Belum tentu semua cicak baik. Di dunia "nyata", cicak adalah kanibal, saya pernah beberapa kali melihat cicak besar makan cicak kecil yang boleh jadi anaknya sendiri. Kita prihatin bahwa para body guard yang kita andalkan malah berkelahi sendiri, dan kita jugalah yang rugi, karena menanggung segala biaya akibat perkelahian itu. Dalam kondisi demikian, jelas melengahkan dan melemahkan kekuatan, sehingga para penjahat bisa bebas bersorak dan bergembira meneruskan aksinya. Bagaimana pun adanya cicak dan buaya adalah karena ulah kita sendiri. Beberapa dari kita KURANG/TIDAK SABAR menjadi rakyat yang baik. Maunya jalan pintas dan lebih suka melanggar hukum ... menjadi oknum rakyat. Adanya oknum rakyat inilah sehingga masih perlunya cicak, buaya dan aparat lainnya dalam jumlah yang memadai. Jumlah yang sangat menguras duit kita sendiri. Banyak dari kita yang notabene majikannya ini rela lebih miskin dan menderita, asal mereka jujur dan amanah. Itu saja kok sebetulnya harapan kita eh saya yang masih tersisa! (Depok, 07 Agustus 2012) ------------------------------ Sumber Ilustrasi: http://www.merdeka.com/peristiwa/kisruh-cicak-vs-buaya-presiden-sby-kemana.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun